Mohon tunggu...
Nanang Hermawan
Nanang Hermawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Karyawan sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian di bidang pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, pernah ngangsu kawruh di Fakultas Teknik "Sastra" Nuklir Kampus Biru Bulaksumur, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tantangan Energi Nuklir Jepang

3 Oktober 2012   04:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahap dicanangkan (proposed)

5

2.2.Tantangan Pasca Insiden Fukushima

Gempa bumi 9.0 SR yang diikuti tsunami melanda wilayah Tohoku pada Jum'at 11 Maret 2011 pukul 14:46 waktu setempat. Pusat gempa berada pada jarak 130 km dari pantai kota Sendai, prefektur Miyagi, pantai timur pulau Honshu. Getaran gempa dan tsunami berdampak terhadap operasional 11 PLTN yang berlokasi pada 4 lokasi tapak, yaitu Fukushima Daiichi (Unit 1, 2, dan 3), Fukushima Daini (Unit 1, 2, 3, dan 4), Tohoku Onagawa (Unit 1, 2, dan 3), dan Tokai JAPCO yang keseluruhannya berkapasitas 9.377 MWe. Kesebelas reaktor tersebut kemudian mengalami shutdown akibat getaran gempa. Pada saat kejadian, PLTN Fukushima Daiichi Unit 4, 5, dan 6 sedang tidak beroperasi karena sedang menjalani perawatan rutin[6].

Reaktor Fukushima Daiichi Unit 1, 2, dan 3 gagal memfungsikan sistem pengambilan panas sisa (Reactor Heat Removal) akibat jaringan listrik utama yang padam karena datangnya gelombang tsunami. Adapun generator cadangan juga mengalami kerusakan akibat terjangan tsunami. Secara garis besar, upaya pendinginan dilakukan dengan menginjeksikan air, baik air tawar maupun air laut, ke dalam teras reaktor dan kolam penyimpanan bahan bakar. Reaksi antara uap air dan material kelongsong (Zr) menimbulkan terbentuknya gas hidrogen. Adanya gas hidrogen yang meningkat menyebabkan tekanan di dalam bejana tekan meningkat drastis. Tekanan hidrogen yang sangat tinggi inilah yang menimbulkan ledakan dan percikan api. Akibatnya terjadi bocoran zat radioaktif produk fisi ke lingkungan hidup.

Gempa bumi dan tsunami terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah kegempaan Jepang yang tercatat ini, menimbulkan kerugian jiwa maupun material yang sangat besar. Infrastruktur jalan, jaringan listrik, minyak, gas alam, dan minyak bumi mengalami kerusakan. Hal ini menimbulkan terjadinya krisis energi di daerah yang terkena dampak secara langsung. Secara luas terjadi kekurangan pasokan listrik akibat tidak beroperasinya PLTN di sekitar daerah terdampak karena pasokan TEPCO turun sekitar 27%.

Dari sisi masyarakat umum, ketakutan bertambah dengan insiden yang terjadi pada PLTN Fukushima Daiichi. Kebocoran radiasi yang terjadi mengingatkan penduduk Jepang akan tragisnya tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Opini publik mengenai dampak radiasi dan nuklir secara luas mengarah kepada isu keselamatan nuklir, dampak penyediaan listrik, dan resistensi publik terhadap keberlanjutan program nuklir Jepang di masa depan.

2.2.1.Isu Keselamatan Nuklir

Kebocoran zat radioaktif produk fisi ke lingkungan hidup menyebabkan terjadinya kontaminasi ke tanah, air, maupun udara. Kondisi cuaca dan iklim di lingkungan sekitar, seperti arah dan kecepatan angin, arah dan kecepatan gelombang air laut, sangat menentukan sebaran zat radioaktif.

Sebulan setelah terdeteksi kebocoran radiasi ke lingkungan hidup, pemerintah pusat menetapkan 11 kawasan yang berada di radius kurang dari 20 km sebagai daerah yang harus dievakuasi penduduknya. Selanjutnya berdasarkan konsentrasi radioaktivitas ambien di udara, daerah-daerah tersebut diklasifikasikan menjadi area yang harus dievakuasi, area terbatas, dan area yang harus ditinggalkan (tidak boleh ditinggali lagi)[7].

Kontaminasi zat radioaktif menyebabkan konsentrasi radioaktivitas di udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan semua benda di sekitarnya harus diawasi dengan sangat ketat. Untuk menurunkan tingkat kontaminasi hingga batas aman harus dilakukan tindakan remediasi atau normalisasi hingga mencapai tingkatan aman. Kontaminasi radioaktif menyebabkan komoditas pertanian dari wilayah timur laut Jepang harus diawasi dengan sangat ketat. Komoditas dengan tingkat konsentrasi di atas nilai ambang batas kemudian diamankan dan diperlakukan sebagai limbah radioaktif. Demikian halnya dengan produk laut di sekitar lokasi kecelakaan.

Meskipun tidak membawa korban jiwa secara langsung akibat paparan radiasi, namun pencemaran dan kontaminasi zat radioaktif di lingkungan menimbulkan kekhawatiran publik. Isu keselamatan nuklir menjadi isu utama masyarakat umum, para aktivis lingkungan hidup, hingga para politisi di parlemen. Publik menuntut kepada otoritas yang berwenang untuk segera melakukan tindakan-tindakan pengamanan lingkungan untuk menjamin keselamatan warga masyarakat

2.2.2.Resistensi publik

Kekhawatiran, bahkan ketakutan, warga Jepang terhadap akibat terjadinya bocoran radiasi ke lingkungan hidup membentuk opini publik yang menyoroti sistem keamanan dan kebijakan program nuklir yang telah ditetapkan pemerintah.

Pendapat dari responden menunjukkan bahwa dukungan untuk meningkatkan program nuklir terus menurun dengan kisaran di bawah nilai 10%. Adapun dukungan untuk tetap mempertahankan nuklir seperti saat ini berkisar 23% - 51% (tidak mengoperasikan reaktor yang sedang shutdown), menurunkan penggunaan nuklir 32% - 46%, menolak nuklir 11% - 19%, dan pendapat lain 3% - 9%. Secara umum dapat diketahui bahwa dukungan publik terhadap program nuklir mengalami penurunan, bahkan survei dari the Asahi Bhun pada awal 2012 penolakan nuklir mencapai 81%[8].

2.2.3.Dampak penyediaan listrik

Akibat guncangan gempa, 9 PLTN yang terpengaruh getaran gempa secara langsung mengalami shutdown otomatis. Tokyo Electric Power Company sebagai perusahaan operator kehilangan daya pembangkitannya sebesar 9.377 MWe. TEPCO merupakan perusahaan pemasok listrik utama untuk keseluruhan kebutuhan listrik nasional, mencapai 27%. Hal ini menyebabkan sesaat ketika gempa terjadi, langsung diikuti listrik padam di beberapa wilayah Jepang, termasuk di ibukota Tokyo.

Kekurangan pasokan daya listrik tidak hanya disebabkan oleh padamnya PLTN sebagaimana tersebut di atas. Rusaknya infrastruktur pengiriman atau transportasi minyak dan gas yang memasok bahan bakar ke pembangkit listrik di daerah yang terkena dampak gempa juga tersendat. Kekurangan listrik ini menyebabkan pemerintah segera membuat langkah-langkah program antisipasi, diantaranya memberlakukan pemadaman bergilir, penghematan konsumsi listrik, dan mengalihkan kekurangan pembangkitan listrik dari PLTN kepada optimalisasi pembangkit listrik berbahan bakar minyak bumi, gas alam dan batubara.

Resistensi publik terhadap sistem keselamatan nuklir yang menuntut dilakukannya evaluasi dan kajian mendalam terhadap semua PLTN di Jepang, membuat pemerintah secara berangsur-angsur mengurangi pasokan listrik dari nuklir hingga mencapai nol di awal Mei 2012.

Setelah kegiatan evaluasi sistem keselamatan untuk semua PLTN selesai dilaksanakan, keberlanjutan operasional masing-masing PLTN tersebut masih menunggu keputusan lebih lanjut dari pemerintah dengan mempertimbangkan stabilitas politik dalam negeri. Karena listrik nasional dipasok 30% dari PLTN, maka harus dilakukan langkah-langkah pengamanan pasokan listrik agar kegiatan ekonomi tidak mengalami kemunduran. Dengan demikian pemerintah segera menyusun kebijakan energi baru yang akan diumumkan pada pertengahan tahun 2012 ini.

3.PEMBAHASAN

3.1.Kebijakan Energi Baru

Dorongan publik untuk meninjau kembali kebijakan energi nuklir Jepang terkait dengan sistem keselamatannya, menyebabkan hilangnya pasokan listrik dari 54 PLTN yang seharusnya beroperasi, setara dengan 30% kebutuhan listrik keseluruhan atau sebesar 47,5 GWe. Hal ini mendorong pemerintah untuk segera merevisi kebijakan energi yang ditargetkan selesai pada pertengahan 2012 ini. Langkah-langkah yang akan diambil, berkaitan dengan sisi penyediaan maupun penggunaan energi, dengan upaya pengetatan pencapaian target-target perencanaan energi yang telah digariskan sebelumnya.

3.2.Sisi Penggunaan

Dari sisi penggunaan, kekurangan pasokan listrik di awal-awal periode pasca bencana, membuat pemerintah memberlakukan pemadaman bergilir. Pemerintah mendorong masyarakat umum untuk mengurangi atau menghemat konsumsi listriknya (a new culture of energy consumption). Program ini sudah dimulai sejak 1 Juli 2011 dengan target mampu menurunkan konsumsi listrik hingga 15%.  Khusus untuk sektor rumah tangga dan perkantoran dirancang konsep net-zero-energy houses untuk membangun suatu rumah atau bangunan perkantoran yang mampu menghasilkan energi untuk kebutuhan konsumsinya masing-masing[9]. Masyarakat juga dianjurkan untuk menggunakan peralatan rumah tangga maupun elektronik, seperti pemanas air, air conditioner, dan lampu LED yang hemat energi. Secara kebijakan ditetapkan pula Law on Special Measures Concerning Procurement of Renewable Energy Source Electricity by Electric utilities untuk mempercepat program ini.

Sementara di sektor bisnis dan industri, pemerintah mendorong program ”Cool Biz” and ”No Overtime Day” untuk menekan konsumsi listrik. Di samping itu, pemerintah juga mengupayakan penggunaan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan, dengan memberikan insentif maupun subsidi bagi rumah tangga (eco-house) atau sektor usaha (eco-buisness) yang mengaplikasikan teknologi energi terbarukan[10].

Untuk sektor transportasi, pemerintah terus mengembangkan kendaraan generasi masa depan bertenaga listrik. Hal ini dilakukan untuk menghemat bahan bakar minyak, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca dari proses pembakaran bahan bakar fosil.

3.3.Sisi Penyediaan Energi

Pada sisi penyediaan energi dalam jangka pendek, maka optimalisasi pembangkit listrik berbasis minyak bumi dan gas ditingkatkan. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan pasokan bahan bakar yang bertambah sehingga impor minyak bumi dari Timur Tengah dinaikkan dari 110.000 menjadi 140.000 barrel per hari (naik 4%), sedangkan impor gas naik 10%[11].

Meskipun dorongan publik menginginkan diakhirinya program nuklir, akan tetapi secara realistis hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Paling tidak dibutuhkan tahap-tahap peralihan untuk menggantikan posisi energi nuklir dalam waktu cukup panjang agar kondisi sosial ekonomi dan lingkungan hidup tidak terguncang.

Dengan langkah penghematan konsumsi energi hingga mencapai 50% dari kondisi saat ini, maka kebutuhan 50% sisanya dapat dipenuhi dari pemanfaatan gas alam (25-30%), minyak bumi (10-15%), batubara (10-15%), dan setengah sisanya dari energi terbarukan. Dengan dominasi energi terbarukan, emisi gas rumah kaca dapat ditekan, bahkan diturunkan sesuai dengan program yang telah direncanakan. Hal ini diharapkan dapat tercapai pada 2030[10].

Meskipun kontribusi energi terbarukan saat ini masih sangat rendah (lihat Tabel 2) dikarenakan secara ekonomi harganya memang masih sangat mahal, akan tetapi dengan tuntutan pengurangan energi nuklir, keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, serta pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka bukan tidak mungkin energi terbarukan akan menjadi pilihan utama. Selama ini perkembangan pemanfaatan energi terbarukan masih relatif lambat, dikarenakan investasi dan nilai jual listrik memang masih tinggi . Insiden Fukushima merupakan pemicu utama sekaligus titik balik kebangkitan energi terbarukan. Dengan peningkatan alokasi dana, komitmen, dukungan infrastruktur maupun kebijakan regulasi, penggunaan energi terbarukan akan terus meningkat dan harganya akan menjadi semakin kompetitif.

Tabel 2. Kontribusi energi terbarukan[4]

Energi Terbarukan

Pembangkitan Energi (GWh)

Prosentase

Solar PV

2.966

0,3%

Angin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun