Mohon tunggu...
Nanang Hermawan
Nanang Hermawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Karyawan sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian di bidang pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, pernah ngangsu kawruh di Fakultas Teknik "Sastra" Nuklir Kampus Biru Bulaksumur, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tantangan Energi Nuklir Jepang

3 Oktober 2012   04:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V dengan tema "Indonesia Perlu PLTN untuk Mewujudkan Keamanan Pasokan Energi", bertempat di STT PLN Jakarta, 19 Juni 2012.

1.PENDAHULUAN

Jepang adalah negara industri paling maju di kawasan Asia. Kemajuan industri pada suatu negara tidak terlepas dari ketersediaan sumber daya energi yang memadai. Dilihat dari sisi kelimpahan sumber daya alam, Jepang termasuk negeri yang memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas. Dengan segala keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki, Jepang melakukan terobosan inovasi dengan penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya sehingga menjadi negara yang mampu mencukupi kebutuhan energinya.

Jepang merupakan negara yang merasakan secara langsung pahitnya senjata bom nuklir yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Setelah bangkit dari keterpurukan kekalahan Perang Dunia II, Jepang justru mulai turut mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan non militer sejak 1954 melalui penetapan Undang-undang Tenaga Atom yang mengalokasikan dana sebesar 230 juta yen untuk pendanaan program nuklir[1].

Di awal masa pembangunan, Jepang banyak menggantungkan sumber energinya kepada minyak bumi. Hampir 84% kebutuhan minyak bumi diimpor dari kawasan Timur Tengah. Hal ini menimbulkan ketergantungan energi terhadap pasokan luar negeri yang sangat besar. Goncangan krisis minyak bumi pada tahun 1973 membuat Jepang mengalami kerugian ekonomi yang menghambat kemajuan negara. Menyadari hal tersebut, pemerintah Jepang kemudian merumuskan kebijakan energi baru yang menitikberatkan kepada pengurangan ketergantungan minyak bumi dan optimalisasi sumber daya energi yang lain, seperti gas alam, batubara, dan nuklir.

Dewasa ini Jepang memiliki 54 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sebelum kejadian gempa bumi dan tsunami yang memicu insiden kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, energi nuklir menyumbangkan 30% kebutuhan listrik Jepang dengan kapasitas 47,5 GWe. Pada tahun 2009, Jepang membangkitkan energi listrik sebesar 1.048 GWh dengan bauran energi 27% dari batubara, 27% dari gas alam, 27% dari nuklir, 9% dari minyak bumi, dan 7% dari air. Tingkat konsumsi energi perkapita mencapai 7.400 kWh per tahun[2].

Insiden Fukushima Daiichi yang dipicu oleh gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret 2011 menyebabkan terjadinya kebocoran zat radioaktif ke lingkungan hidup hingga radius puluhan kilometer. Hal ini menyebabkan ratusan ribu penduduk di sekitar lokasi harus dievakuasi secara besar-besaran, serta ribuan ton bahan makanan dan produk pertanian lokal harus diawasi dengan sangat ketat, bahkan dimusnahkan. Ribuan area yang terkontaminasi harus dipantau secara ketat dan diupayakan tindakan-tindakan remediasi maupun dekontaminasi yang memakan banyak biaya.

Kejadian Fukushima Daiichi menimbulkan kekhawatiran yang tinggi dari masyarakat Jepang terhadap sistem keselamatan reaktor nuklir. Dukungan terhadap pengembangan program nuklir dari masyarakat umum mengalami penurunan yang sangat tajam. Pemerintah Jepang kemudian mengambil kebijakan untuk mengevaluasi setiap aspek sistem keselamatan reaktor terhadap semua PLTN yang dimilikinya. Secara bertahap, satu per satu PLTN yang ada diberhentikan pengoperasiaannya untuk menjalani kajian keselamatan (stress test) dan sekaligus dilakukan kegiatan perawatan. Sebelum dipastikannya sistem keselamatan terevaluasi, PLTN yang bersangkutan tidak akan dioperasikan kembali. Bersamaan dengan hal itu, pemerintah mulai menyusun revisi terhadap kebijakan energinya untuk diumumkan pada pertengahan 2012.

2.POKOK BAHASAN

2.1.Kebijakan Energi Pra Insiden Fukushima

Pada saat terjadi guncangan krisis minyak di tahun 70-an, ketergantungan energi Jepang terhadap minyak mencapai 78% pada tahun 1973 dan 73% pada tahun 1979[3]. Merasakan dampak ekonomi yang tidak menguntungkan, Jepang kemudian merumuskan kebijakan energi yang mencakup konservasi energi, pengembangan sumber daya energi alternatif, dan pengamanan persediaan minyak. Langkah nyata dari kebijakan tersebut antara lain ditempuh dengan mengembangkan dan meningkatkan penggunaan energi batubara, gas alam, dan nuklir.

Dari gambar terlihat penggunaan minyak bumi menurun dan diimbangi dengan kenaikan penggunaan batubara dan gas alam, serta munculnya energi nuklir.

Dari sisi penggunaan energi, pertumbuhan industri dan ekonomi mendorong peningkatan kebutuhan energi. Sektor yang mendominasi penggunaan energi adalah industri 45,3%, komersial dan pemukiman 31,4%, disusul oleh sektor transportasi 23,3%[4]. Isu tentang kelestarian lingkungan hidup, didorong oleh penandatanganan Protokol Kyoto, mengharuskan Jepang mengevaluasi kebijakan energinya sebagai bentuk komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Strategi Energi Nasional yang baru diumumkan pada tahun 2006, dengan arah strategi yang tetap bertumpu kepada energi gas alam, nuklir, dan batubara. Setahun kemudian dirumuskan Rencana Fundamental Energi yang menekankan untuk fokus terhadap pengembangan energi nuklir dan terbarukan, stabilisasi pasokan minyak, konservasi energi, dan pengembangan teknologi ramah lingkungan.

Pada pertengahan 2010 dilakukan revisi terhadap Rencana Energi Strategis dengan arah kebijakan kepada keamanan energi, pelestarian lingkungan hidup, dan efisiensi pasokan energi. Dua hal utama yang ditambahkan melalui revisi ini adalah pengembangan energi yang bertumpu terhadap pertumbuhan ekonomi dan reformasi industri energi nasional. Di dalam rencana strategis juga ditegaskan target pencapaian hingga 2030, meliputi[5]:

a.peningkatan kemandirian energi dalam negeri dari 38% menjadi 70%;

b.peningkatan rasio sumber energi ramah lingkungan dari 34% menjadi 70%;

c.penurunan emisi CO2 dari sektor pemukiman hingga 50%;

d.pencapaian dan pemeliharaan efisiensi energi di sektor industri;

e.menjadi negara pemasok utama produk-produk terkait energi ramah lingkungan.

Di sisi penyediaan energi, salah satu langkah yang ditempuh adalah peningkatan penggunaan energi nuklir secara signifikan sebagai tumpuan utama energi dalam negeri dengan prosentase mencapai 50% pada tahun 2030. Hal ini dilakukan dengan pembangunan reaktor nuklir baru dan tambahan, modifikasi untuk memperpanjang umur pakai reaktor dan memperpendek waktu shutdown rutin untuk inspeksi dan perawatan, memperbesar kapasitas reaktor, pengembangan dan penerapan teknologi pluthermal dan reaktor pembiak cepat (fast breeder reactor), serta tindak lanjut kerja sama internasional mengenai peningkatan keselamatan nuklir dan penggunaan damai teknologi nuklir[5].

Adapun jumlah PLTN dengan status beroperasi, dekomisioning, dalam konstruksi, direncanakan, maupun di-propose adalah sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Status PLTN sebelum insiden Fukushima Daiichi, 11 Maret 2011[2]

Tahapan PLTN

Jumlah

Tahap konstruksi/pembangunan (construction)

51

Tahap operasi (operated)

2

Tahap dekomisioning (decommissioning)

5

Tahap direncanakan (planed)

10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun