Hari itu senyum bahagia jelas tergambar pada wajah-wajah rekan guru honorer yang baru saja menerima Surat Keputusan (SK) sebagai bukti legal formal atas pengangkatan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pengangkatan ini didasarkan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPANRB) Nomor 571 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Kebutuhan Jabatan Fungsional Teknis pada Pengadaan PPPK Tahun 2022. (jawapos.com).
Buah manis atas kesabaran dan jerih payah rekan-rekan guru honorer tersebut sungguh merupakan mimpi yang menjadi nyata.
Tentu kami sebagai sesama guru yang dulu juga pernah mengalamai pahit getirnya menjadi guru honorer ikut bahagia atas pengangkatan para rekan guru honorer tersebut.
Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK merupakan hal yang patut disyukuri, termasuk oleh madrasah yang selama ini menaungi para guru honorer tersebut.
Dengan diangkatnya para guru honorer menjadi PPPK berarti madrasah tidak perlu lagi mengalokasikan anggaran untuk gaji/honor mereka. Dengan demikian anggaran tersebut bisa digunakan untuk lebih memaksimalkan kegiatan di madrasah.
Cerita duka baru terjadi ketika tiba waktu penempatan. Banyak berita (dari mulut ke mulut) yang beredar tentang kepanikan madrasah dan para guru PPPK.
Beberapa permasalahan di lapangan berkaitan dengan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK mengerucut pada hal-hal berikut:
Pertama, problematika seputar pembagian jam mengajar. Perekrutan para guru honorer sudah disesuaikan dengan kebutuhan riil di madrasah.
Artinya ketika di suatu madrasah membutuhkan guru pada mata pelajaran tertentu maka ketika itulah guru honorer direkrut oleh madrasah dengan berbagai persyaratan termasuk ijazah sebagai bukti keahliannya.
Nah, ketika guru hononer (yang sudah diangkat menjadi PPPK) tersebut harus meninggalkan madrasah maka secara otomatis madrasah yang bersangkutan kekurangan guru pada mata pelajaran tertentu.
Sementara sesuai dengan Keputusan MENPANRB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022 semua intansi (termasuk madrasah negeri) dilarang mengangkat tenaga honorer (pikiran-rakyat.com).
Kedua, banyak guru PPPK yang tidak bisa mengajar sesuai dengan keahliannya (ijazah maupun sertifikat pendidiknya). Para guru PPPK yang memang harus "siap" menjalankan tugas sesuai SK yang diterimanya, akhirnya harus gigit jari karena di madrasah baru mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan haknya mengajar sesuai dengan bidang keahliannya.
Bahkan ada di antara guru tersebut yang terpaksa harus menerima nasib tidak bisa lagi menikmati tunjangan profesinya karena tidak bisa memenuhi 24 jam mengajar sesuai yang disyaratkan.
Bukankah ini sama artinya dengan pepatah Jawa "Mburu uceng kelangan deleg" -mengejar sesuatu tapi harus kehilangan sesuatu yang sudah ada di genggaman-?
Ketiga, siswa menjadi korban. Imbas dari permasalahan pertama dan kedua muaranya tetap kepada siswa.
Para siswa yang seharusnya bisa mendapatkan haknya diajar dan dididik oleh para guru profesional akhirnya harus diajar oleh guru "seadanya". Tentu saja hal ini bisa menurunkan semangat belajar mereka. Akankah para siswa selalu menjadi korban?
Keempat, beban berat bagi guru PPPK. Khusus bagi guru PPPK yang harus bertugas di luar daerah tentu akan menanggung beban fisik dan psikologis yang cukup berat.
Para guru honorer yang diangkat menjadi PPPK banyak yang sudah berusia 40 tahun ke atas. Maka ketika mereka harus bertugas di luar daerah tentu akan menanggung beban berat baik secara fisik maupun psikologis.
Bukankah jauh dari keluarga dan orang-orang tercinta akan sangat berpengaruh terhadap semangat kerja seseorang?
Melihat akar permasalahan seputar guru PPPK yang bikin panik banyak madrasah tersebut, sebenarnya kata kuncinya ada pada "penempatan tugas".
Dalam hal ini tentu harus ada kerjasama antara pihak-pihak terkait terutama para pengambil kebijakan agar permasalahan seputar PPPK tersebut bisa segera terselesaikan.
Pihak Kementerian Agama Kabupaten melalui Unit Kepegawaian perlu memetakan kebutuhan guru dari masing-masing madrasah sebagai data acuan bagi pejabat berwenang dalam menerbitkan surat tugas bagi para guru PPPK tersebut.
Dengan demikian madrasah tidak harus kelimpungan membagi jam pelajaran, para siswa tidak harus menjadi korban karena tetap bisa dididik/diajar oleh para guru profesional, dan para guru PPPK juga bisa lebih tenang dan bahagia menjalani tugas "barunya" karena tetap bisa dekat dengan keluarga dan orang-orang tercinta.
Semoga saja...
Oleh: Nanang M. Safa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H