Semakin ke belakang, dunia bisnis semakin dilirik, entah apa pun itu bidangnya, dan hampir semua bidang bisnis sudah masuk wilayah red ocean.Â
Untuk kemajuan sebuah negara, tentu hal ini sesuatu yang baik dalam membangun perekonomian negara, karena dengan banyaknya enterpreneur, maka lapangan kerja yang terbuka akan lebih banyak.
Namun yang disayangkan, banyaknya persaingan malah membuat bisnis yang satu dengan yang lainnya saling banting harga demi mendapatkan ketertarikan konsumen.
Tentu ini sangat mempengaruhi keberlangsungan bisnis ke depannya, malah tidak menutup kemungkinan suatu bisnis akan merugi, dan berakhir dengan tutup usaha.
Bisnis yang bertahan karena value-nya masih terhitung dengan jari.Â
Sebagai enterpreneur, supaya kita tidak terjebak dengan posisi "banting harga" demi keberlangsungan hidup bisnis kita, tentunya harus terus menggali ilmu.Â
Bisa itu dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton YouTube ataupun belajar dari berbagai akun sosial media bertema enterpreneurship.
Kedinamisan dunia bisnis menuntut saya untuk terus belajar.Â
Salah satunya dengan cara mencari mentor yang tepat, seperti kata sejumlah pebisnis yang sukses, diantaranya Helmy Yahya dan Sandiaga Uno.Â
Merasa sudah berpengalaman dalam memilih mentor dalam bidang menulis, maka saya pun menyamakannya dalam mencari mentor bisnis.Â
Saat ini orang yang sukses dibidangnya seringkali membuat konten, ataupun dipanggil oleh sejumlah podcaster ataupun YouTuber untuk sharing pengalaman.Â
Saya pun memilih mentor yang kira-kira saya anggap sesuai dengan apa yang saya butuhkan.Â
Dikenal publik, menjadi prioritas pertama, karena berarti orang yang saya bidik sebagai calon mentor memiliki reputasi yang baik dalam bidang bisnis.Â
Kemudian caranya berkomunikasi dan bagaimana latar belakang ia terjun ke dunia bisnis pun menjadi kriteria yang saya pertimbangkan.
Tapi ternyata tidak cukup sampai disitu.Â
Berdasarkan pengalaman, ada hal-hal yang harus lebih diperhatikan, antara lain
Googling apa saja pencapaian sang coach dalam mementor kliennya. Adakah brand ataupun perusahaan yang benar berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang "diiklankannya".Â
Saya baru tiga kali ikut kelas yang berhubungan dengan bisnis.
Pertama, saya ikut kelas digital marketing. Kedua, berpartisipasi dalam kelas coaching bisnis.Â
Dan jujur saja, dua diantaranya sangat mengecewakan.
Untuk kelas pertama, saya ikut berdasarkan personal branding sang coach di sosial media. Ia terkenal mampu menjual apapun dan bisa keluar dari utang milyaran rupiah.Â
Pencapaiannya dalam bidang affliliate pun sangat mumpuni.Â
Saya rasa profiling-nya sangat meyakinkan,dan tidak perlu lagi diragukan hingga harus saya cross-check lagi. Dan ternyata, itu belum cukup.
Pada kelas kedua, saya langsung kepincut setelah mengikuti kelas webinar gratis yang diadakan oleh salah satu perusahaan coaching ternama.Â
Sayangnya, saya tidak mencari tahu dulu siapa pendiri perusahaan tersebut, karena saya kurang cocok dengan cara pendirinya berinteraksi dengan narasumber yang dia undang. Hampir dalam seluruh video, sang pendiri sebagai host dalam tayangan tersebut, lebih banyak berbicara tentang pengalaman pribadi.
Namun di kelas webinar gratis tersebut, bukan pendirinya yang muncul, melainkan pembicara lain yang cara komunikasinya sangat baik, dan setiap tuturnya seperti memberikan wawasan baru tentang bisnis. Keren banget!
Kemudian ada penawaran lebih lanjut, akan ada sesi coaching personal yang bisa disesuaikan dengan kriteria bidang usaha kita.Â
Karena saya sedang menjalani usaha dengan dua bidang yang sangat berbeda, saya langsung daftar dua kelas sekaligus.Â
Pengisian form sudah dilakukan, dan tidak berapa lama kemudian, saya dikirimkan profil tentang coach yang akan menangani permasalahan salah satu bidang usaha yang dijalankan.Â
Latar belakang profil dan bidang usaha klien yang ditangani sang coach sangat bagus.Â
Terlena dengan kualitas pembicara di kelas webinar saat lalu, maka saya tidak mencari tahu lebih lanjut apakah benar apa yang tertulis dalam profil sudah benar.
Penyesalannya, setelah merasa kecewa, saya baru mencari tahu kira-kira brand ataupun perusahaan apa saja sebenarnya yang sudah berhasil mereka bimbing. Ternyata tidak saya temukan.Â
Jangan langsung mengambil kelas dengan harga yang tinggi, walaupun personal branding sang coach sudah memiliki reputasi yang baik
Kelas pertama yang terpincut karena personal branding sebagai pebisnis yang kompeten, ternyata tidak terbukti.
Ada dua level kelas yang ditawarkan olehnya, yakni kelas webinar dengan harga hampir satu digit, kemudian ada kelas offline dengan harga dua digit.Â
Karena baru pertama kali, saya mengambil kelas webinar terlebih dahulu untuk melihat situasi.
Dalam kelas tersebut dijanjikan bahwa sang pebisnis tenar ini akan memberikan materi secara langsung.
Namun yang terjadi, dalam tiga pertemuan yang saya hadiri, pebisnis tersebut hanya datang satu kali pertemuan, dan itu pun dipotong dengan ia berbicara dengan orang lain, dan tiba-tiba pergi begitu saja karena ada janji lain.
Hal sederhana, tapi menurut saya, sebagai orang yang merepresentasikan diri sebagai seorang pebisnis, ketepatan ucapan haruslah bisa dipegang. Apalagi kekuatan utama dalam seorang pebisnis adalah kata-katanya. Karena melalui kata-kata, pebisnis mampu membuat orang tertarik untuk berpartner, mempercayakan produk, bernegosiasi dan sebagainya.Â
Suatu hal yang aneh buat saya, ketika pebisnis tersebut bisa memiliki janji lain padahal masih dalam durasi waktu mengajar. Saya anggap pebisnis yang terkenal tersebut tidak memiliki komitmen dengan apa yang dijanjikan.
Dan sangat terlihat mengejar materi sekali, ketika disetiap jeda penyampaian materi, ada host yang selalu mengimbau kami, para peserta, untuk berbagi pengalaman dikelas tersebut melalui sosial media, dan ketika ada peserta yang berhasil membawa peserta baru yang mau join, maka akan mendapatkan komisi.Â
Satu sisi, mungkin itu terlihat win-win solution, tapi saya pribadi adanya "iklan" di setiap jeda penyampaian materi, sangat mengganggu.Â
Saya belum mendapatkan benefit dari materi yang diajarkan, namun sudah diminta untuk beriklan.Â
Entah mengapa saya jadi tidak berani merekomendasikannya, karena khawatir teman saya akan mengalami kekecewaan yang sama seperti saya.Â
Tujuan utama dalam mengambil kelas tentu mendapatkan pengetahuan, dari pengetahuan yang didapatkanlah baru kita menghasilkan pundi-pundi.Â
Ketika iklan selalu menjadi pengisi jeda saat kelas, seperti menampakkan diri bahwa coach dalam kelas tersebut tidak mumpuni, sehingga selalu minta pesertanya berulang kali dalam satu kali pertemuan untuk membagikan foto dan pengalamannya ke sosial media pribadi.Â
Hanya tiga pertemuan dari sekian pertemuan yang saya hadiri.Â
Tidak ada benefit yang saya terima dari semua materi yang dijabarkan selama tiga pertemuan tersebut. Semua materi yang disampaikan ada di artikel dan sosial media, serta buku, dan itu hampir rata-rata sudah pernah saya baca.
Disitulah saya merasa lega tidak mengambil kelas dengan harga dua digit. Pastinya mengalami ketidaksesuaian antara benefit yang diterima dengan uang yang dikeluarkan, akan membuat saya nangis bombay.
Rasa sesal pasti muncul dengan berpikir uang tersebut bisa saya gunakan hal yang lebih berguna, ketimbang harus mendengarkan materi yang disampaikan dengan ogah-ogahan, belum lagi banyak "iklan".Â
Mungkin orang akan berpikir, beda harga beda kualitas lah. Itu mungkin berlaku untuk beda perusahaan, ya.Â
Kalau dalam naungan personal yang sama, dan si pebisnis sendiri yang menawarkan dua level kelas, seharusnya ia bisa bersikap profesional dengan menanamkan rasa kepercayaan pada para peserta kelasnya, sehingga para peserta dengan senang hati ikut kelas berikutnya.
Ambil 1 kelas coach secara personal terlebih dahulu, apabila coach yang akan berbicara dengan kita berbeda dengan pembicara yang membuat kita tertarik
Seperti yang saya ceritakan, untuk kelas kedua, saya langsung mendaftar dua kelas sekaligus untuk coaching secara personal.Â
Merasa mendapatkan pengalaman yang baik tentang coaching melalui webinar gratis, saya pun tidak ragu untuk mengeluarkan kocek agak besar demi kemajuan bisnis yang saya jalani ke depannya.
Yang terlintas dalam pikiran saya, "free saja diberikan ilmu yang daging, bagaimana kalau bayar, pasti lebih baik".Â
Nah, kebetulan kelas coaching personal tersebut sedang ada diskon dan per kelasnya ada di harga lima ratus ribuan rupiah.Â
Profile coach yang menangani salah satu usaha yang saya jalani terlihat sangat mumpuni. Beliau terlihat berpengalaman dibidang B2B (Business to business)
Pada kenyataannya, coach tersebut ternyata tidak lebih dari profil orang yang cukup narsistik dan sangat tidak bisa menghargai waktu orang lain.Â
Waktu pertemuan online yang ditentukan sekitar dua jam. Rencananya setelah kelas usai, saya dan sepupu (salah satu peserta yang juga hadir) memiliki jadwal aktivitas lainnya.
Waktu pertemuan yang ditentukan sudah lewat dari yang ditentukan, kurang lebih setengah jam, namun saya belum mendapatkan solusi dari permasalahan yang saya paparkan.Â
Tidak lama kemudian, saudara yang juga atasan saya datang karena sudah janjian untuk penandatanganan dokumen yang ada hubungannya dengan transaksi bisnis.Â
Melihat saya masih kelas, atasan saya duduk, dan menunggu saya selesai kelas. Namun setengah jam lagi berlangsung, sang coach tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri sesi.Â
Tidak enak hati karena sudah ditunggu pekerjaan, dan kelas sepertinya tidak kunjung selesaii, maka saya meminta izin sebentar untuk menandatangai dokumen.Â
Dan sungguh mengagetkan, ketika coach tersebut berkata, "ga bisa, waktu saya mahal, saya ga mau ada interupsi". Setelah saling bernego, akhirnya sang coach mengatakan, "ya sudah kalau begitu saya kasih waktu 5 menit".Â
Setelah tanda tangan, kelas pun berlanjut sebentar, tidak lama kemudian atasan saya kasih tanda, ternyata masih ada dokumen yang harus kembali ditanda tangan, dan harus dicek kembali.
Melihat mata saya tidak menghadap ke depan, coach itu langsung berkata dengan nada yang kurang menyenangkan, "apa kita re-schedule saja? waktu saya mahal soalnya".Â
Kesal, atasan saya hanya mengatakan, "ya sudah lanjut kelas dulu saja".Â
Saya sendiri kesal setengah mati, tapi berusaha menahan diri, karena ingin tahu kualitas coach ini sampai bisa sedemikian sombongnya.Â
Dari tiga jam akhirnya berlanjut enam jam pertemuan.Â
Sepupu saya sudah undur diri saat waktu sudah menunjukkan tiga jam pertemuan, karena ada pertemuan lainnya, dan itu pun sudah terlambat berkat sang coach.
Sangat mengagetkan, ketika sang coach tersebut malah mengatakan, "wah sayang sekali, harusnya saya kasih waktu dua jam saja ya, tidak kasih lebih. Jarang lho ada coach yang memberikan bonus waktu segini panjang".Â
Dalam waktu enam jam, tidak ada benefit yang saya dapatkan sama sekali dari pertemuan online tersebut, kecuali membuang-buang waktu saya.Â
Aktivitas lain yang seharusnya sudah selesai saya lakukan, akhirnya berantakan semua, untuk mendengarkan sang coach memuji dirinya sendiri, betapa hebatnya dia dalam menangani klien.Â
Apalagi ada kliennya yang mendapatkan omset seratus lima puluh juta rupiah, dengan iklan delapan puluh juta rupiah.
Setelah mendengar pengakuannya, entah mengapa yang muncul dalam pikiran, malah saya bisa melihat bagaimana usaha keluarga saya yang dibangun puluhan tahun, dan sebenarnya cukup stabil, tinggal mengembangkan saja, akan segera hancur keuangannya kalau di-coaching olehnya.Â
Belum lagi setiap bulan, saya harus mengadakan rekrutmen karyawan, walau tidak diperlukan. Entah mengapa saya merasa sangat membuang waktu dengan hal seperti itu.Â
Mendengarnya saja saya sudah lelah.Â
Lucunya, satu setengah jam terakhir, sang coach menghabiskan waktunya untuk mempersuasi saya mengikuti kelas coaching yang harganya dua digit. Atau bisa juga mengikuti kelas workshop yang dipandu olehnya dengan harga satu digit.
Kemudian dilanjutkan dengan perkataan bahwa saya mesti bersyukur karena bertemu dengannya, apalagi telah memberikan waktu hampir enam jam sesi coaching.Â
Saya sempat ditunggu olehnya untuk segera melakukan transaksi kelas coaching selanjutnya. Dan di sanalah saya mulai bersikap menjauh dan mengatakan bahwa saya perlu mempertimbangkannya.
Usai pertemuan, saya segera minta refund untuk kelas satu lagi yang saya daftarkan, namun belum muncul jadwal pertemuan.
Dengan pengalaman tersebut, saya pun menarik pelajaran bahwa terhadap pembeli ataupun pelanggan, jangan pernah menawarkan produk berikutnya, kalau produk kita yang kini lagi ia gunakan belum dirasakan manfaatnya secara maksimal.Â
Ketika seorang pembeli atau pelanggan merasakan kepuasan pada produk dan servisnya, niscaya tanpa penawaran panjang kali lebar, maka sang pembeli atau pelanggan akan segera meng-upgrade apa yang sudah dibelinya.Â
Tidak semua coach seperti yang saya ceritakan, pasti ada saja yang bagus sesuai dengan kredibilitasnya.Â
Dalam dunia bisnis, kita tentu tidak bisa hanya mengandalkan insting dan intuisi semata. Saya rasa mentoring ataupun coaching juga sangat diperlukan, supaya kita selalu semangat dan menambah wawasan untuk membawa bisnis kita beradaptasi dengan zaman.
Namun untuk menghindari pengalaman pahit seperti saya, mungkin Anda bisa mempertimbangkan profil sang coach berdasarkan poin yang saya paparkan, sebelum mengambil kelasnya.Â
Sungguh sangat disayangkan apabila keluar uang untuk hal yang tidak ada benefitnya. Pengetahuan hampir tidak didapat, belum lagi tidak menambah koneksi.
Berdasarkan kedua pengalaman pahit tersebut, saya pun lebih berhati-hati dalam screening kelas coaching dalam dunia bisnis. Saat ini saya ikut kelas coaching lainnya.
Sejauh ini masih oke, walaupun bukan coaching secara personal.Â
Semangat buat teman-teman yang mau menimba ilmu bisnis melalui coaching, semoga mendapatkan coach personal yang tepat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI