Normalnya manusia, tentu kita yang sehat akan memberikan perhatian penuh pada keluarga ataupun sahabat yang sedang sakit berat.
Menemaninya, membuatkan makanan yang bergizi sesuai anjuran dokter, dan kalau bisa sang pasien beristirahat total di ranjang saja.
Bila kita memiliki cukup uang, kita akan hire tenaga medis untuk memperhatikan sang pasien di kala kita sedang sibuk bekerja.
Namun, apakah itu benar diperlukan?
Semenjak saya mengalami kecelakaan motor dan sempat masuk ICU, saya memiliki pandangan yang berbeda dalam merawat keluarga ataupun sahabat yang sakit berat.Â
Izinkan saya berbagi pengalaman...
Desember 2022 kemarin, saya mengalami kecelakaan motor tunggal akibat kecepatan terlalu tinggi untuk jalanan yang licin setelah hujan.Â
Sampai detik ini saya sama sekali tidak ingat secara jelas bagaimana peristiwa tersebut berlangsung.Â
Dalam ingatan saya, semuanya berlangsung seperti cuplikan film. Yang kalau orang tanyakan, dan memantik saya untuk mengingatnya, kepala saya akan berdenging dan sangat sakit.
Menurut keterangan keluarga, di saat kecelakaan terjadi, saya meracau, dan hampir tidak ingat semua yang ada di sekitar saya, kecuali keluarga.
Bahkan di saat itu pula, ada beberapa panggilan telepon (pekerjaan), dan saya sama sekali tidak mengenal orang-orang yang menelepon saya itu siapa, padahal namanya tersimpan dalam kontak, yang berarti seharusnya saya kenal orang-orang itu.
Melihat kondisi saya yang penuh darah di wajah, dan semi hilang ingatan, saya pun langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.Â
Di UGD, saya menolak semua bantuan medis, dan berkata bahwa saya baik-baik saja.
Tapi saya tidak bisa menyebutkan secara lengkap nama, tanggal lahir, alamat tinggal, dan data diri lainnya.Â
Saya hanya ingat scope besarnya, seperti nama panggilan, bulan kelahiran, dan wilayah tempat saya tinggal.
Was-was dengan kondisi saya, akhirnya tenaga medis memutuskan untuk melakukan CT Scan.Â
Itu pun sempat saya tolak dengan keras. Mungkin dari alam bawah sadar, saya benar-benar ingin beristirahat di rumah saja.
Hasil CT Scan keluar sekitar jam 1 pagi.Â
Hasilnya menunjukkan bahwa saya mengalami pendarahan otak bagian subarachnoid.Â
Subarachnoid ini memiliki peran membawa nutrisi dan oksigen ke otak.
Karena itu, saya diharuskan untuk rawat inap di rumah sakit.
Keesokan harinya, dokter Bedah Saraf, bernama dr. Deny Irwan, Sp.BS melakukan kunjungan dan menjelaskan kondisi saya.
Saya memerlukan pemantauan minimal tiga hari, karena ditakutkan kondisi saya bisa tiba-tiba drop.Â
Keinginan untuk cepat sembuh saya begitu tinggi, karena ada pekerjaan yang perlu diselesaikan segera, dan saya tidak enak hati menganggu waktu kerja dan urusan adik dan keluarga besar saya. Padahal saya sadar mereka memprioritaskan kesehatan saya, tapi tetap rasa tidak enak hati itu muncul.
Semua anjuran dokter supaya saya cepat sembuh pun, saya lakukan. Saya paksakan diri untuk makan makanan yang ada, padahal perut begitu mual akibat vertigo di kepala (suatu keadaan yang wajar dialami ketika pendarahan otak).
Hari pertama dan kedua rawat inap, kondisi saya sudah kembali segar bugar. Saya dan keluarga sangat yakin sekali, hari ketiga, saya akan diizinkan untuk pulang ke rumah.Â
Di hari kedua, saya menerima kunjungan keluarga dan sahabat dari pagi sampai menjelang malam.Â
Ketika mereka pulang, dan saya pun tertidur.Â
Saat benar-benar sadar, ternyata saya sudah berada di ruang ICU, karena kemungkinan besar kondisi saya yang terlalu lelah, kesadaran pun sempat menurun.
Sekali lagi, yang saya ingat, hanya cuplikan film, di mana dokter jaga ruang rawat inap seperti menjelaskan sesuatu, kemudian adik saya berusaha membuat saya tersadar, namun selebihnya saya sudah lupa.
Dengan segala drama di ICU, di mana ternyata sang dokter jaga ruang rawat inap salah mengintepretasi instruksi dokter bedah saraf.Â
Bukannya cepat mengambil tindakan, sang dokter jaga malah curhat dulu, kemudian ditimpali senda gurau para suster.
Beruntung di sana ada dokter lain, dan perawat senior (sepertinya) yang menegur mereka, hingga akhirnya saya diberikan tindakan sesuai prosedur.
Kondisi saya pada saat itu bisa mendengar, tapi sangat sulit membuka mata.
Singkat cerita, saya berada di ICU selama dua hari.Â
Untuk pasien ICU, gejala yang saya hadapi termasuk ringan. Tapi karena pengobatan saya memerlukan pemantauan intensif, yang dimana tidak mungkin dilakukan di ruang rawat inap, maka saya harus diruang ICU, sampai tekanan darah dan oksigen saya benar-benar stabil.
Di sinilah, saya benar-benar merasa seperti orang yang tidak berguna.
Hanya bisa tiduran saja di ranjang, tidak bisa kemana-mana ataupun ngapa-ngapain.Â
Buang air besar ataupun kecil harus dibantu oleh suster dengan menggunakan pampers.
Makan dan minum pun sebenarnya seharusnya dibantu oleh suster.
Karena mendengar ada beberapa pasien di ruang ICU, tapi tenaga medis terbatas, saya pun  berusaha untuk makan minum sendiri. Ditambah, saya ingin segera pindah ke ruang rawat inap, karena saya tidak betah harus berdiam diri tanpa melakukan apapun.
Gerakan menyendok dan mengambil minuman ternyata sangat sulit dan melelahkan bagi saya.
Detak jantung dan tekanan darah saya pada monitor langsung tinggi, ketika saya melakukan gerakan tersebut.Â
Melihat monitor dan mendengar suara "nit nit nit", saya benar-benar frustasi dan mempertanyakan kapan saya bisa normal kembali.
Beruntung tim dokter Bedah Saraf, Dokter Deny Irwan, Sp. BS dan Dokter DR.dr. Alfred Sutrisno Sim, Sp. BS(K)-Subsp.Spine. FINSS,FINPS,FAPCSS, memahami kegelisahan saya, maka saya diizinkan untuk boleh membaca buku, mendengarkan lagu dan membawa smartphone.Â
Senangnya hanya sesaat, ternyata saat mengecek pesan yang masuk, saya malah jadi frustasi, karena ada banyak pesan WhatsApp yang tidak saya pahami kata per katanya.Â
Kepala saya langsung seperti berdentum keras ketika otak saya diajak bekerja untuk memahami apa yang disampaikan orang per orang melalui chat.Â
Akhirnya saya memutuskan untuk menutup smartphone dan menenangkan diri.
Di hati, saya sangat khawatir sebenarnya, bagaimana kalau saya benar-benar jadi orang yang sangat lemot?
Bagaimana nanti saya bisa menafkahi diri dan keluarga, kalau otak saya tidak bekerja dengan sempurna? Dan banyak kekhawatiran lainnya...
Saya pun merenung, sembari memperhatikan para suster yang bekerja dengan serius,Â
Mata saya pun seringkali menatap dokumen-dokumen rumah sakit yang tersusun rapi di meja, membuat saya merindukan hari-hari saya bekerja.Â
Ketika pemandangan itu tertera dimata saya dengan jelas, tiba-tiba ada rasa syukur yang muncul dalam diri.Â
Saya memiliki pekerjaan yang membuat saya merasa berguna dan melatih otak saya untuk terus berpikir.Â
Padahal sebelumnya, ada banyak rentetan keluhan, di mana beban pekerjaan saya terasa begitu banyak dan sepertinya tidak sesuai passion.
Saat sakit hingga belum bisa beraktivitas normal, secara psikologi saya benar-benar merasa tertekan, dan memiliki kekhawatiran akankah saya bisa kembali bekerja?Â
Saya tidak mau membebani siapapun, walaupun adik dan keluarga besar pastilah sebenarnya santai saja kalau harus merawat saya.Â
Tapi pikiran membebani orang lain saja, sangat membuat saya frustasi dan tidak enak hati. Mereka pastinya punya urusan sendiri yang harus ditangani.
Hari ketiga di ICU, saya menunjukkan kondisi yang cukup stabil, sehingga diizinkan untuk kembali ke ruang rawat inap dengan pemantauan yang sangat intensif dari adik dan para suster jaga.
Walau begitu, saya masih belum diizinkan untuk berdiri sendiri, karena keseimbangan belum stabil.
"Tidak boleh jatuh," pesan dokter kepada adik dan para suster jaga.
Sepanjang menemani saya, adik saya memberikan keleluasaan saya untuk beraktivitas, seperti membaca buku dan menyicil pekerjaan.Â
Ketika saya menunjukkan tanda kelelahan, baru ia bilang "istirahat dulu, ci".
Hari keempat, saya sudah diizinkan untuk turun dari ranjang dan berjalan sendiri ke toilet.Â
Gerakan awal sangat sulit bagi saya, kepala sakitnya bukan main, hingga sangat mual.Â
Saat berjalan, adik dan tante saya menemani dari belakang, saya dibiarkan untuk berjalan sendiri dan mendorong tiang infusan.
Gerakan seperti itu, ternyata membuat saya merasa sangat lelah, tapi ada rasa senang dihati, karena ada harapan saya tidak tergeletak terus di ranjang.
Bayangan diri akan merepotkan orang lain pelan-pelan sirna.
Harapan kembali normal membuat saya dengan semangat minum obat dokter, infusan yang bikin tangan kanan kiri bengkak dan biru pun (karena molekul obat untuk otaknya sangat kental, sedangkan pembuluh vena saya sangat tipis) saya tahan, ditambah dengan rajin saya oleskan aroma terapi untuk nge-boost kinerja obat dokter.
Hari kelima, saya diizinkan untuk pulang ke rumah, karena kondisi saya sudah sangat membaik. Padahal awalnya, melihat kondisi otak saya, dokter memprediksi kemungkinan saya dirawat di rumah sakit sekitar dua sampai tiga minggu, dilanjutkan bedrest total di rumah selama satu bulan hingga benar-benar pulih.
Eh, tapi ternyata kembalinya semangat dan harapan saya, membuat pulang lebih cepat dari prediksi.
Terlalu gembira dengan pemulihan saya yang ekspress, pulang dari rumah sakit, keesokan harinya saya langsung masuk kerja.
Bersyukur rekan-rekan kerja memberikan perhatian, namun tetap membiarkan saya untuk melakukan aktivitas secara normal.
Dan mereka mau memahami, ketika saya bilang "kasih waktu saya sebentar", itu artinya kondisi saya sedang drop, yang pastinya kalau dipaksakan saya tidak akan memahami penjelasan ataupun instruksi pekerjaan yang diberikan.
Sampai hari ini, kondisi saya masih belum benar-benar stabil, terkadang drop tanpa saya sadari, bisa itu karena lelah berpikir ataupun adanya emosi, misal terlalu gembira, sedih, marah dan sebagainya.Â
Kegiatan berpikir dan adanya beragam emosi ternyata membuat otak saya bekerja keras.Â
Namun perlahan, tapi pasti kondisi saya kini sudah semakin membaik.
Rangkaian peristiwa dan kondisi ini, membuat saya mengingat kembali orang-orang sakit yang pernah saya lihat dirawat.
Belum tentu perhatian penuh dengan tidak memperbolehkan pasien beraktivitas itu malah membuat sang pasien cepat sembuh, sebaliknya dengan tidak melakukan apa-apa, secara psikologi, bisa jadi pasien malah merasa menjadi beban dan tidak berguna.Â
Apalagi kalau sang pasien sebelumnya sangat aktif bekerja (walau bisa jadi banyak ngeluhnya).
Juga, kata dan mimik wajah penuh simpati, nyaris terus menangis dari orang-orang terdekat, malah membuat pasien semakin mengasihani diri, semangat pun malah akan terus drop.
Tidak menutup kemungkinan, kondisi tubuh pasien malah semakin menurun.
Dengan memberikan perhatian, namun tetap mengizinkan pasien beraktivitas sesuai porsinya, setidaknya memantik semangat pasien.Â
Ditambah dengan senda gurau dan obrolan positif membuat pasien memiliki harapan dan semangat untuk sembuh.
Kondisi saya saat kecelakaan kemarin, bisa dikategorikan belum cukup parah.Â
Tapi itu saja sempat menganggu saya secara psikologi.Â
Bisa jadi teman-teman di sana yang mungkin didiagnosis kanker, ataupun penyakit berat lainnya pastinya akan merasa terbebani secara psikologi kalau terlalu dimanjakan, hingga terkesan membebani.Â
Belum lagi melihat ekspresi mata dan wajah keluarga dan sahabat yang sangat mengasihani, membuat hati begitu beban, hingga mempertanyakan "umur saya bisa panjang ga ya?".
Walau kita, sebagai yang sehat, bermaksud baik merawat orang yang sakit, mungkin kita bisa peka dan memperhatikan, apa yang sebenarnya dibutuhkan keluarga ataupun sahabat yang sedang sakit.
Teman ngobrolkah? Aktivitas agar merasa bergunakah? Ataupun diberikan ruang untuk merenungkan diri.
Dengan begitu, perhatian yang kita berikan bisa memantik semangat dan harapan mereka yang sakit untuk segera sembuh.Â
Salam sehat :)
Sumber :
Alodokter. 8 Oktober 2021. Pendarahan Subarachnoid. Diakses dari Alodokter.com tanggal 5 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H