Keahlian orang Indonesia sebenarnya kuat di bidang yang berbeda, yakni kesenian. Dan cara belajarnya pun lebih cenderung praktik, ketimbang teoritis.
Kegiatan belajar harus dengan cara duduk anteng, mendengarkan guru, kemudian mengulang apa yang dikatakan guru semata. Tentu sangat membosankan. Belum lagi di rumahnya sendiri, belum tentu ada orang tua, kakek ataupun nenek yang mencontohkan sang anak untuk duduk diam membaca.Â
Akibatnya kegiatan membaca dan menulis akan sulit untuk digemari oleh sang anak, karena ada ketidaksesuaian budaya di rumah dan lingkungan sekitarnya.
Berbeda dengan orang negara Barat sana, termasuk New Zealand yang sudah memiliki kebiasaan membaca dan menulis secara turun-temurun.Â
Otomatis, anak yang melihat kebiasaan orang tua ataupun panutannya senang membaca dan menulis, belum lagi di sekolahnya, mungkin suasana belajar dibuat senyaman mungkin, membuat sang anak merasa kegiatan membaca dan menulis adalah sesuatu yang menyenangkan.
Indonesia, kini bukan lagi zaman perjuangan yang di mana masyarakatnya harus berusaha mengikuti standar pintarnya orang negara Barat. Perlu diakui bahwa keadaan Indonesia kini jauh lebih tenang dan nyaman.Â
Menjadi orang yang pintar secara akademisi tidak lagi menjamin kesuksesan hidup. Yang diperlukan saat ini justru sikap yang kritis dan kreatif.
Tapi sikap kritis dan kreatif tentu lahir dari dasar literasi yang kuat, bukan?
Saya pernah membaca artikel tentang cara didik ala New Zealand, Finlandia, Jepang dan Korea.
Ternyata pendidikan yang diterapkan di Indonesia, termasuk dengan harapan orang tua ke anak, sangat menekan perkembangan kreativitas dan minat anak untuk belajar.
Di negara-negara yang pendidikannya sangat maju, anak usia 3-5 tahun tidak dicecar dan dipaksa harus sudah mahir membaca dan menulis.Â