Menua tidak sekedar fisik.Â
Menua tidak sekedar lambat dalam mengikuti arus tren.Â
Menua tidak sekedar lambat dalam mengikuti arus zaman yang sepertinya begitu cepat perubahannya.
Menua, tidak sekedar usia...
Ah, ternyata menua itu...
***
Baru saja saya melihat topik pilihan hari ini oleh Kompasiana, "Merdeka dari Hubungan Tanpa Status".Â
Pikiran yang terlintas dibenak, "waduh anak muda banget ya", suatu topik yang sebenarnya asyik dibahas, tapi zamannya sudah tidak lagi saya kecap, bahkan sudah tidak lagi saya perhatikan.
Mungkin karena usia dan pengalaman juga, yaa, saya merasa itu bagian dari dinamika percintaan dalam hidup, yang gak perlu terlalu dibahas. Cukup dinikmati saja sensasinya.
Baru saya sadari pengalaman membentuk cara berpikir dan menggojlok karakter, yang kemudian menjadikan hal tersebut sebagai standar pandangan hidup.Â
Di usia saya yang sudah 30-an, percintaan anak muda tidak lagi menjadi topik yang ingin saya gali lebih dalam materinya, atau dicari narasumbernya.Â
Saya sudah melewatinya, dan perhatian saya lebih ke arah membangun karier, membentuk karakter, cara mengatur antara karier dan rumah tangga, dan sebagainya, layaknya usia 30-an pada umumnya.
Topik hari ini membuatku menyadari sepertinya saya mulai menua. Tidak hanya hari ini sebenarnya, topik pilihan 14 Agustus lalu tentang Cinta Segitiga juga membuat kaget, tapi saat itu tidak terlalu saya pikirkan sampai dalam.Â
Hanya merasa heran saja.
Cuman kan enaknya menulis di Kompasiana, tidak mau menulis sesuai topik pilihan pun tidak masalah.Â
Bukan topik saja yang saya perhatikan, judul-judul yang menjadi Artikel Utama selama setengah bulan ini pun saya perhatikan.
Saya jadi mendapatkan gambaran target market Kompasiana itu ke arah mana. Milenial yang usianya mungkin 18-29 tahun. Tapi itu hanya dugaan saja, jangan terlalu diambil serius.
"Peperangan" antar Kompasianer yang merujuk pada senior-junior, keluarnya salah satu kompasianer yang sangat loyal dan berdedikasi seperti Mba Ari Budiyanti, kritik beberapa Kompasianer terhadap Kompasiana mengenai topik, K-Rewards dan sebagainya, mendorong saya untuk mengetahui kriteria bacaan anak milenial seperti apa.
Akhirnya saya mengajak suami dan adik berdiskusi, karena mereka lebih mengikuti pola komunikasi dan kegemaran anak zaman now. Dan adik saya yang satu lagi, sebagai milenial, saya minta tanggapannya membaca artikel Kompasiana.
Saya pun menarik kesimpulan.
Anak muda sekarang suka tulisan yang seperti cerita, bukan digurui. Oke, saya masih bisa.
Mereka tidak tertarik melihat tulisan yang panjang. Oke, sepertinya masih bisa.Â
Mereka suka hal yang menyenangkan. Hmm... menyenangkan buat saya, belum tentu buat mereka.
Mereka suka hal yang antik. Mampus, antik buat saya, pastinya, belum tentu antik buat mereka.
Setelah menarik kesimpulan dari diskusi dan tanggapan, saya pun kepoin Twitter dan Instagram, serta Facebook Kompasiana. Hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Penasaran juga bagaimana tanggapan pembaca diluar Kompasiana.Â
Kompasiana ternyata sudah sangat berusaha membagikan artikel-artikel para Kompasianer. Masing-masing mendapatkan dua kali share di Twitter.Â
Tapi tanggapan dari pembaca luar memang berbeda, ada yang mendapat respon positif, namun ada juga yang tidak mendapat respon sama sekali, termasuk artikel saya. Hehe.Â
Begitupula dengan respon pembaca di Facebook dan Instagram Kompasiana.
Saya kurang tahu tanggapan di Line dan Kompas.com bagaimana, namun saya perhatikan tulisan kompasianer juga banyak dimasukkan ke sana.
Dari situlah, saya baru paham mengapa Steven Chaniago menjadi primadona di Kompasiana.Â
Eits, tenang saya tidak mau membuka adu ring opini lagi. Hanya saja saya baru memahaminya.
Saya pun diberikan link oleh adik saya, bagaimana psikologi milenial sebagai target market. (Kalau minat silahkan dibaca disini). Bagi yang sudah memahami, maafkeun, saya tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini sebelumnya.
Karena merasa nyaman saja, yang penting ada yang baca, hobi pun tersalurkan.
Setelah melihat tanggapan dari sosial media Kompasiana, dan membaca link tersebut, saya pun mencari tanggapan dari dua adik milenial lain tentang tulisan.
Apakah kepanjangan buat mereka, topik tulisan menarik tidak buat mereka dan apabila saya tidak meminta mereka baca tulisan tersebut, kira-kira mereka bakal baca gak.
Dari rentetan peristiwa tersebut, ditambah topik hari ini, akhirnya saya mengintropeksi diri dan berpikir sepertinya saya sudah mulai menua.
Kelimpungan juga rasanya kalau harus menyesuaikan diri lagi dengan anak-anak muda masa kini, yang karakternya berbeda dengan saya, yang dimana diri ini sudah mulai memilah mana tren yang perlu dan tidak perlu diikuti.Â
Tren yang menurut saya tidak sesuai dengan karakter, biasanya cukup saya perhatikan dan nikmati saja perkembangannya. Sedangkan anak muda masa sekarang, menurut saya, sangat dinamis.Â
Kategori menyenangkan dan antik tentu saja berbeda. Walau ya, bisa dibilang tidak terlalu beda sampai puluhan tahun.
Hanya saja selera saya memang vintage.
Ah, ternyata ini yang namanya sudah mulai menua.Â
Sepertinya baru beberapa tahun lalu saya "menuntut" generasi sebelum-sebelum saya untuk up to date.Â
Saya tidak perlu kelimpungan mengejar dinamisnya zaman, karena perputaran masanya sesuai sekali dengan langkah saya.Â
Selalu muncul rasa sebal, kalau ada orang tua yang tidak mau mengikuti perkembangan zaman. Eh, sekarang saya kena batunya, kini giliran saya lah yang mesti mengikuti perkembangan zaman.Â
"Roda tidak bisa berhenti ditempat, ferguso!"
Teringat sekitar satu atau dua tahun lalu saya mendaftar beberapa platform blog lain untuk berpartisipasi menulis .Â
Namun rasanya karakter artikel yang mereka inginkan agak kurang sesuai dengan karakter tulisan saya.Â
Belum lagi tersendat dengan persetujuan editor.
Ah, melelahkan. Enakan menulis di Kompasiana, tanpa ditahan editor dulu, dan saya merasa saat itu masih bisa belajar dan beradaptasi dengan karakter tulisan Kompasianer lainnya.
Yah, tapi pada akhirnya Kompasiana pun harus seperti Kompas.com, mengikuti perkembangan zaman agar selalu eksis, dan dipikir-pikir kembali membantu para kompasianer lain juga sih secara tidak langsung agar artikelnya selalu dilirik dari masa ke masa.
Mau tidak mau kini harus mengikuti selera anak muda, karena mereka yang akan mendominasi dunia.
Oke, saya baru paham perasaan orang tua masa dulu seperti apa.Â
Salut juga terhadap generasi terdahulu yang selalu bisa mengikuti perkembangan masa yang pastinya memiliki perbedaan pandangan dan karakteristik.
Pada akhir kata, tulisan ini hanya sebagai refleksi bahwa saya baru paham makna menua yang sesungguhnya. Menua itu ketika diri sudah mulai terseok mengikuti perkembangan zaman. Hiks.
Semangat terus menulis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H