Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepuluh Tahun Mendatang, Batik Tulis Akan Punah, Bisakah?

18 Agustus 2021   10:50 Diperbarui: 19 Agustus 2021   13:54 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu koleksi Batik Tulis Museum Batik Yogyakarta yang bermotif Lereng. Batik ini baru setengah jadi | Dokumentasi Pribadi

Batik hingga kini masihlah menjadi fashion yang disukai oleh banyak orang, dikarenakan motif dan warnanya yang semakin menarik dimata. 

Kesukaan tersebut berawal dari tahun 2008, dimana Batik menjadi pakaian wajib seluruh karyawan yang mesti dipakai saat ke kantor pada hari Jumat, dan untuk anak sekolah wajib dipakai pada hari Selasa dan Jumat (masa sebelum COVID-19 melanda).

Tapi itu kebanyakan batik printing yang dipakai oleh masyarakat. Nah, bagaimana dengan nasib batik tulis sendiri? 

Seni batik yang membuat UNESCO menjadikannya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non bendawi, yang diakui seluruh dunia.

Ada saja sih yang masih memakainya, namun masih terhitung dengan jari. Disebabkan mahalnya harga kain batik tulis, belum lagi ongkos jahitnya.

Berhubung hari ini masih dalam rangka merayakan ultahnya Indonesia yang ke-76, dan saya juga terinspirasi dari tulisan Mba Melissa Emeraldina yang berjudul "Mencintai Indonesia Lebih Dalam Lagi", maka saya ingin menulis tentang Batik Tulis, yang katanya bisa jadi akan punah dalam 10 tahun mendatang. Hmm.. benarkah?

Dilansir dari BBC.com, Batik Tulis Oey Soe Tjoen, yang merupakan salah satu batik tulis halus peranakan tertua di Pekalongan, terancam punah, lantaran tidak ada generasi penerus yang tertarik untuk turut membatik lagi. 

Begitu pula nasibnya dengan Batik Lasem, milik Sigit Witjaksono, yang terletak di desa wisata batik Babagan, Lasem, Jawa Tengah, sangat sulit bagi penerus Pak Sigit untuk mencari pembatik muda yang berkualitas. 

Pembatik di Museum Batik Yogyakarta sedang mengajarkan cara menoreh lilin malam pada batik | Dokumentasi Pribadi
Pembatik di Museum Batik Yogyakarta sedang mengajarkan cara menoreh lilin malam pada batik | Dokumentasi Pribadi

Teringat sekitar dua tahun yang lalu, saya mengunjungi Museum Batik Yogyakarta, dan berpartisipasi dalam satu workshop membuat Batik Tulis.

Sembari membatik, saya ngobrol dengan ibu pembatik (maaf saya lupa nama beliau) disana. 

Beliau bercerita kalau dulu pembatik di museum tersebut jumlahnya cukup banyak, namun kini hanya beliau satu-satunya yang membatik di museum tersebut. Anak-anaknya tidak ada lagi yang tertarik untuk membatik. 

"Kurang menghasilkan", begitulah jawaban beliau, saat saya bertanya mengapa anak-anaknya tidak ada yang mau membatik. 

Alasan lainnya dikemukakan oleh salah satu pembatik Batik Tulis Oey Soey Tjoen, adalah kotor dan malas. Sedangkan anaknya yang satu lagi bisa membatik, namun kurang berkualitas. Mengingat membatik diperlukan rasa seni dan kesabaran yang tinggi.

Karya saya saat membatik di workshop Museum Batik Yogyakarta | Dokumentasi Pribadi
Karya saya saat membatik di workshop Museum Batik Yogyakarta | Dokumentasi Pribadi

Ah, kalau diingat-ingat lagi, saat saya mengikuti workshop membuat batik, memang perlu kesabaran yang tinggi. Belum lagi rasanya panas sekali harus duduk didekat lilin malam yang dipanaskan.

Hanya saja sungguh disayangkan kalau membatik tidak lagi diminati oleh anak muda Indonesia.

Capai-capai "bergontokan" dengan negeri tetangga kala itu, yang sempat mau mengakui Batik sebagai budaya asli negerinya. Hingga akhirnya diakui juga oleh UNESCO, eh, bisa jadi menghilang begitu saja karena minimnya minat anak muda meneruskan seni membatik.

Duh, amit-amit, jangan sampai hal ini terjadi.

Tapi disela kekhawatiran tersebut, ternyata ada juga pembatik muda yang sangat mencintai seni batik. 

Salah satu pembatik muda di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kampung Batik, satu area dengan Perkebunan Teh Walini | Dokumentasi Pribadi
Salah satu pembatik muda di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kampung Batik, satu area dengan Perkebunan Teh Walini | Dokumentasi Pribadi

Ciwo, begitulah dirinya di sapa. Ia berusia 30-an tahun, dengan semangat masih seperti 17 tahun.

Kecintaan pada seni menggambar, membawa dirinya mencintai seni membatik. 

Diawali dari workshop yang diadakan gratis oleh PT. Perkebunan Nusantara VIII untuk warga setempat Kampung Batik. Perusahaan BUMN tersebut mendatangkan langsung pembatik dari Jawa Tengah untuk mengajar.

Ciwo pun turut berpartisipasi pada workshop tersebut.

Belajar punya belajar, batik yang dihasilkan oleh Ciwo pun berhasil menarik perhatian PT. Perkebunan Nusantara VIII. Ia pun diperkerjakan di Perkebunan Teh Walini, yang memiliki store khusus untuk Batik. 

Kata Ciwo, banyak juga komunitas pecinta Batik yang sering memesan batik tulis dan batik cap di store tersebut.

Sebagai pembatik muda, Ciwo menceritakan bahwa proses pembuatan batik tersebut lah yang membuat dirinya begitu jatuh cinta dengan seni batik. 

Dimulai dari mendapatkan inspirasi, menggambar pada kain putih, kemudian memberikan lilin malam, nglorod (tahap melepas lilin malam), memberikan warna, dan seterusnya. 

Baginya proses tersebut sangatlah berseni. 

Nah, didalam ia menjalani proses membatik, ia semakin bisa menjiwai makna filosofis yang terkandung pada motif-motif Batik.

Hal ini dirasakannya ketika harus mencari inspirasi motif terlebih dahulu sebelum membatik. Perkebunan Teh Walini merupakan tempat yang sering dikunjunginya untuk mendapatkan inspirasi.

Setelah itu, barulah ia menuangkan idenya berupa desain terlebih dahulu, kemudian barulah membatik. 

Saat membatik itulah perasaannya begitu syahdu memaknai inspirasinya dalam sebuah lukisan batik diatas kain putih. 

Dari sanalah ia mulai memahami makna filosofi batik begitu indah.

Ciwo, pembatik di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kampung Batik, berfoto bersama hasil karya batiknya yang bermotif Daun Teh | Dokumentasi Pribadi
Ciwo, pembatik di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kampung Batik, berfoto bersama hasil karya batiknya yang bermotif Daun Teh | Dokumentasi Pribadi

Saya pun menanyakan, selain dirinya, adakah pemuda lain yang turut membatik?

Tidak ada ternyata, dikarenakan faktor ekonomi. 

Menurutnya, kalau menunggu hasil dari proses hingga penjualan batik, tentu akan lama sekali mendapatkan uangnya. Memang sih sekali mendapatkan pastinya bisa berjuta-juta, tapi tidak tetap.

Anak muda sekarang tentunya juga harus memikirkan masa depan, termasuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Tidak munafik, terjaminnya kesejahteraan tentunya tergantung dari kemampuan finansial.

Sedangkan, Ciwo mendapatkan gaji sebagai karyawan disana, bukan sebagai pembatik. Sehingga penghasilannya tidak menunggu adanya pemesanan ataupun penjualan batik.

Apalagi batik tulis kini bersaing dengan adanya batik printing yang harganya lebih ramah di kantong, dan kualitas kain dan print-an warnanya juga semakin bagus. 

Tentu pembeli akan lebih memilih batik yang menawarkan harga lebih murah dengan kualitas yang bagus, terkecuali kalau memang pengoleksi batik atau orang yang sangat menghargai kesenian, pastinya lebih rela mengeluarkan kocek untuk batik tulis.

Kalau begini situasinya, tidak bisa disalahkan anak muda sepenuhnya. Biar bagaimana mereka memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera.

Tapi itu kan berarti semakin lama tidak akan ada lagi pembatik dalam era generasi penerus?

Hmm bisa jadi, atau mungkin kalau boleh saya memberikan ide, bagaimana kalau sekolah menyematkan kurikulum membatik?

Kalau COVID-19 ini sudah berakhir. 

Selain bertujuan untuk melestarikan budaya, dan mengenal karakteristik bangsanya sendiri, anak-anak juga bisa melepas stres dan kejenuhan anak yang terlalu lama melihat dan membaca tulisan dalam mata pelajaran.

Seperti masa saya sekolah dulu, sangat senang sekali ketika tiba giliran mata pelajaran olahraga dan seni tari. 

Lelah sekali rasanya berjibaku dengan tulisan dan angka. Setidaknya ada selingan mata pelajaran.

Dengan kurikulum wajib tersebut, mungkin akan timbul rasa suka membatik, seperti Ciwo dan Javier Hartono, penerus Batik Lasem, yang suka karena terbiasa membatik.

Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi, lantaran melihat anak muda sekarang sebenarnya memiliki antusiasme yang besar terhadap seni dan budaya.

Kita bisa melihatnya dari sosial media Indonesia Kaya, yang menyajikan ragam teater yang mengangkat tema cerita rakyat. Pemerannya merupakan anak-anak muda yang semangatnya masih menggelora.

Kemudian ada Swargaloka Art yang berisi penari-penari muda yang sangat lentur dan gerakannya sangat estetik saat menarikan tarian daerah. Bahkan mereka sangat kreatif sekali dengan memadukan musik tradisional dengan modern. Sangat memukau.

Tidak lupa ada Woro Mustiko, sinden sekaligus dalang muda yang sangat berbakat. Ia mendapatkan banyak dukungan dari para penonton, terlihat dari komentar di YouTube. Hanya saja sayang sekali, ia tereleminasi di ajang Indonesian Idol.

Khawatirnya, kalau seni membatik ini tidak diperhatikan eksistensinya, bisa saja berbahaya untuk eksistensi budaya Indonesia ke depannya. 

Tidak menutup kemungkinan, Batik yang telah diakui seluruh dunia sebagai milik Indonesia, akan terhapus, atau bisa saja tergeser menjadi milik negara lain. 

Negeri Jiran bisa saja memilikinya sewaktu-waktu, mengingat budaya milik negeri mereka dengan negeri kita hampir sama persis.

Atau budaya seni membatik bisa saja berpindah tangan ke negara Jepang. 

Lantaran Indonesia kini sedang membangun hubungan persahabatan dengan negeri Sakura, salah satunya dalam bentuk pengajaran kreasi seni membatik.

Desain para peserta lomba yang berasal dari negeri Sakura, Jepang. Foto ini merupakan tangkapan layar dari Instagram @batikkerisindo
Desain para peserta lomba yang berasal dari negeri Sakura, Jepang. Foto ini merupakan tangkapan layar dari Instagram @batikkerisindo

Pada Mei 2021 lalu, saya sempat mengikuti webinar KBRI Tokyo (perwakilan Indonesia di Jepang) yang bekerja sama dengan Batik Keris. 

Mereka mengadakan lomba membuat batik, dan peserta lombanya adalah anak muda Jepang.

Perlombaan tersebut disambut dengan sangat antusias oleh para pesertanya. Saya rasa ada faktor memang masyarakat Jepang sangat menghargai kesenian.

Dengan mereka tertarik belajar seni membatik, kemudian belajar lebih dalam lagi. Sedangkan, kita, orang Indonesia, malah tidak lagi antusias belajar seni membatik.

Ada kemungkinan, Seni membatik adalah budaya Indonesia asli tinggallah sebuah sejarah. Tapi mudah-mudahan hal tersebut tidak terjadi.

Salam Budaya.

[Diupdate pada tanggal 19 Agustus 2021, atas keinginan sendiri untuk memperbaiki kualitas tulisan. Terima kasih]

-N.Mar-

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun