Bagai hadis yang terkenal "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", barangkali tidak sesuai dengan cara belajar saya. Hal yang saya pelajari malah dari luar barulah kedalam negeri. Mempelajari yang saya maksud, adalah sumber-sumber bacaan dan tontonan saya dari luar negeri.
Menjadi bahagia tanpa duka merupakan hal yang saya impikan. Oleh karena itu, saya pun sangat senang sekali mempelajari gaya hidup minimalis, mindfulness dan gaya hidup zero waste. Banyak manfaat yang saya dapatkan dari ketiga gaya hidup yang menurut saya memiliki kesinambungan.
Dari gaya hidup minimalis, saya semakin belajar untuk mengenal diri saya sendiri, dan tidak mudah terlena untuk kembali konsumtif. Mindfulness mengajak saya untuk fokus, menikmati hidup dan keluar dari rasa burn out dalam pekerjaan.Â
Sedangkan gaya hidup zero waste, belum bisa saya terapkan sepenuhnya, namun masih dalam tahap mengurangi sampah seminimal mungkin, karena saya sadari bahwa kita mesti hidup berdampingan alam, supaya tidak terus terjadi bencana alam.
Ketiga gaya hidup tersebut saya pelajari dari buku yang ditulis Fumio Sasaki dan Marie Kondo, pegiat minimalis asal Jepang, kemudian Francine Jay melalui bukunya, Seni Minimalis.
Berlanjut lagi ke YouTuber benua Amerika, yang kebanyakan dari mereka terinspirasi dari Buddha aliran Zen di Jepang, Fumio Sasaki dan Marie Kondo.Â
Kemudian berlanjut ke pegiat minimalis dan mindfulness, serta zero waste Indonesia, seperti Muriel Imron, Astri Pudji Lestari, Adjie Santosoputro, dan sebagainya.
Dan mereka pun juga terinspirasi dari orang-orang yang sudah saya sebutkan diatas, termasuk Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus, Joshua Becker, serta Leo Babauta.
Bersyukur mengenal ketiga gaya hidup tersebut, akhirnya saya tidak minder untuk mengakui bahwa hal yang saya suka adalah sejarah dan budaya, salah satunya tentang Jawa.
Ketika teman-teman saya sedang suka dengan tren drama dan musik Korea Selatan, dan ada juga dari Amerika dan Eropa, saya sendiri yang malah suka sejarah dan budaya lokal.Â
Walau secara jujur, dalam menerapkan ketiga gaya hidup tersebut, saya mengalami kesulitan, dan rasanya tidak semulus orang lain.
Beragam macam bacaaan, seminar dan IG Live Story pun sering saya ikuti untuk mempelajari lebih dalam tentang budaya Jawa.
Benar kata Ibu Wulan Tilaar, anak dari Martha Tilaar saat sedang live di Instagram, "disaat kita sudah siap, kita akan menemukan sendiri gurunya". Guru disini berarti bisa siapa saja yang kita temui, dan pengalaman hidup juga dikategorikan sebagai guru.
Pelan, tapi pasti, saya mulai memiliki "guru" yang memandu saya belajar bahwa ternyata kita tidak hanya melimpah akan kekayaan alam, akan tetapi juga banyak ajaran-ajaran lama yang sudah ditinggalkan, namun didalamnya mengandung kebijaksanaan hidup.
Budaya masyarakat Jawa, Kejawen
Anggapan klenik melekat pada budaya masyarakat Jawa. Saya kurang paham secara pasti perjalanan sejarahnya, mengapa anggapan tersebut begitu kental, hingga dipisahkan dari agama, dan dianggap sebagai sebuah aliran.
Saya sendiri masih mempelajarinya sebatas bacaan artikel dan jurnal, serta buku saja. Belum pernah benar-benar terjun menjalaninya, namun ada inti pelajaran yang saya dapatkan bahwa budaya masyarakat Jawa ini yang sudah dilakukan selama ratusan tahun, merupakan sebuah pedoman hidup.
Budaya Kejawen ini memiliki filosofi, yakni bersatunya diri kita dengan Tuhan Yang Maha Esa, menjaga dan hidup berdampingan dengan alam, dan menjaga dan hidup berdampingan dengan keluarga dan sesama manusia, serta menjaga kehidupan lahirian dan rohani diri sendiri. (Prakoso dan Willianto, 2020)
Masih dalam jurnal yang sama, keempat filosofi tersebut biasanya dijalani dengan meditasi, tapabrata atau laku, dan perenungan yang mendalam, tujuannya untuk mencapai menyatunya manusia dengan Tuhan. Filosofi tersebut juga diyakini akan memberikan keselamatan dalam hidup.
Sikap dan filosofi yang diyakini dalam budaya ini, saya lihat ada persamaannya dengan gaya hidup mindfulness dan zero waste.Â
Meditasi, dan perenungan yang dalam akan kehidupan membuat pikiran kita lebih tenang, dan memberikan waktu bagi diri kita untuk berkontemplasi, dengan begitu menghindarkan diri kita dari rasa stres, cepat emosi dan berpikir negatif.
Mengharmonisasikan diri dengan alam, juga merupakan bagian dari cinta lingkungan, bahkan lebih dalam. Kita "mengenal" alam seperti kita mengenal karakter manusia.
Ketika harmonisasi dengan alam, manusia bisa membaca gejala alam tanpa bantuan BMKG, seperti yang dilakukan oleh Perang Dipenogoro, melalui penjelasan Prof. Peter Carey.
Gejala alam dilakukan supaya terhindar dari kegagalan, contohnya saat tsunami terjadi. Seandainya budaya Kejawen ini masih diterapkan, bisa jadi kita akan mengenal ciri-ciri alam.
Saya pernah menonton satu film suku pedalaman, yang saya lupa judulnya, disana seluruh anggota suku bisa "merasakan" adanya bencana alam yang datang, karena ada ciri-cirinya, salah satu contohnya arah tujuan burung terbang secara bersamaan.
Ratusan tahun yang lalu, ternyata nenek moyang kita tidak sekedar melakukan mindfulness dan gaya hidup zero waste, akan tetapi menyatukan diri dengan alam sebagai bentuk tanggung jawab manusia dalam mengurus bumi dan isinya.
Sunan Kalijaga yang sudah menjalani gaya hidup minimalis
Minimalis yang saya pelajari dari berbagai sumber luar negeri, tidak sekedar mengajarkan kesederhanaan, akan tetapi lebih dalam lagi, memberikan ruang bagi kita untuk mengenal diri lebih dalam, sekaligus mengembangkan potensi diri.
Cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga tergolong unik. Dari semua Wali Songo, hanya beliau yang terus mengenakan baju Lurik dan Blangkon.Â
Tapi ternyata hal tersebut bukan tanpa alasan, atau hanya sebagai cara beliau untuk "mendekati" masyarakat Jawa. Ada makna yang lebih dalam.Â
Sunan Kalijaga merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang memiliki cara berkomunikasi yang unik, yakni verbal dan simbolik. Sehingga tidak aneh, hampir seluruh kesenian masyarakat Jawa memiliki filosofi.Â
Baju Lurik Sunan Kalijaga memiliki 5 kancing baju, yang melambangkan 5 rukun Islam.Â
5 kancing tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni 3 kancing didepan yang disembunyikan dan 2 kancing di leher. 3 kancing depan yang tersembunyi melambangkan 3 rukun Islam, yakni syahadat, shalat dan puasa. Tersembunyi melambangkan saat menjalani 3 rukun Islam tidak perlu pamer ke orang lain.Â
Blangkon yang dipakai dikepala Sunan Kalijaga melambangkan filosofi rukun iman ada 6.
Selain cara berpakaian, Sunan Kalijaga pun menyebarkan agama melalui seni musik dan seni wayang, yang merupakan budaya masyarakat Jawa.Â
Tidak dipungkiri untuk bisa memasuki suatu budaya baru kedalam masyarakat Jawa, maka budaya baru tersebut haruslah bisa melebur dengan budaya masyarakat Jawa yang sudah ada.Â
Namun, dari yang saya baca melalui Serat Centini, melihat situasi politik saat itu dimana agama Hindu-Buddha menjadi alat politik, sehingga menyebabkan perang saudara, terlebih adanya sistem kasta yang diterapkan oleh kerajaannya saat itu., saya rasa konsep agama Islam yang menawarkan kedamaian dan keseteraan derajat lebih mudah diterima, tanpa Sunan Kalijaga harus menggunakan kesenian Jawa.
Dari cara Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam, saya mempelajari pendidikan yang beliau berikan secara tidak langsung, beliau begitu sangat kagum pada Nabi Muhammad, rukun Islam pun beliau pelajari dan lakukan dengan kesungguhan hati, namun tidak berarti Sunan Kalijaga menanggalkan budayanya sebagai orang Jawa (saat itu Indonesia belum terbentuk).
Hasilnya, kita bisa lihat banyak raja hebat pada masa Sunan Kalijaga masih hidup, seperti Panembahan Senopati dan Sultan Agung, Raja Mataram. Beliau berdua sangat taat beragama Islam, namun sama sekali tidak meninggalkan budaya mereka sebagai orang Jawa. Hal ini diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono I dan keturunannya.
Sama halnya dengan gaya hidup minimalis, dimana saya diajak untuk mengenal diri sendiri. Kita tentu harus selalu berpikiran terbuka terhadap hal-hal baru, pengetahuan dan kehidupan selalu melangkah ke depan, tapi bukan berarti kita menanggalkan karakteristik pribadi yang sudah kita miliki.Â
Artinya, dalam proses mempelajari budaya orang lain, harus tetap ada sistem akulturasi dengan budaya milik kita sendiri, agar kita tidak menjadi copy paste budaya orang lain.
Bukankah kita akan merasa lebih bahagia ketika menjadi diri sendiri?
Ki Ageng Suryamentaram dengan Ilmu Bahagia-nya
Nama beliau awalnya sangat asing di telinga saya. Saya mengetahui nama Ki Ageng Suryamentaram dari webinar Kraton Jogja, yang narasumbernya Prof. Koentjoro.
Saat ini saya sedang membaca buku tentang Ki Ageng Suryamentaram, tapi rasanya tidak sabar saya ingin berbagi ilmu kebahagiaan yang saya rasa sangat bijaksana.
Sebagai intro, Ki Ageng Suryamentaram merupakan anak ke-55 dari Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau merupakan salah satu orang yang memiliki peran penting dalam pendidikan Indonesia, seangkatan dengan Ki Hajar Dewantara. Namun sayang, nama beliau jarang sekali disebut.
Dalam Ilmu Bahagia-nya, atau disebut Kawruh Jiwa, beliau memberikan resep kebahagiaan, yakni menerima kenyataan, mengenal emosi sendiri dan menyadari bahwa hidup itu akan selalu ada dua, yakni suka dan duka.
Ilmu bahagia ini memiliki hubungan yang kuat terhadap cara kita berpikir dan memahami sesuatu, yang kalau ada waktu nanti ingin sekali saya tulis dan bagikan kepada teman-teman.
Nah, dimulai dari menerima kenyataan, hal yang membuat kita sering merasa tidak bahagia adalah mengikuti keinginan hati tanpa rasa puas. Kalau kita menjalani hidup sebaik mungkin, menerima kenyataan, dan menikmatinya akan timbul rasa syukur. Kalau semuanya diukur dengan keinginan hati, atau lebih tepatnya harta duniawi, tidak menutup kemungkinan kita tidak akan pernah merasa bahagia, karena gak akan pernah cukup.
Dalam hidup kita tidak mungkin merasa senang terus, ataupun susah terus. Pastinya akan datang silih berganti.
Kemudian mengenal emosi diri, ketika kita ingin marah, beri jeda sedikit sebelum nyerocos ataupun meluapkan emosi. Tanya ke diri kita, mengapa kita ingin marah? Apakah karena benar dia yang salah, atau merasa kepentingan kita "tersenggol" oleh dirinya.
Misalkan, waktu itu saya marah sekali karena ada kerabat yang selalu memakai nama saya untuk menutupi kesalahannya sendiri. Belum lagi, dibelakang saya, seringkali melimpahkan kesalahannya pada saya. Sebal sekali rasanya, hingga memutuskan untuk tidak mau bicara lagi dengan kerabat saya.
Belajar dari Ki Ageng Suryamentaram, saya berpikir ulang apa yang menyebabkan saya marah, ternyata saya marah karena merasa "nama baik" saya dijatuhkan kerabat didepan orang lain. Padahal orang lain tersebut sudah kenal saya seperti apa, sebenarnya tidak masalah. Tapi gengsi saya yang terluka.Â
Bertemu dengan kerabat saya lagi, saya tidak lagi marah. Tapi mulai belajar dari kesalahan, untuk menyortir obrolan.Â
Ilmu bahagia Ki Ageng Suryamentaram memberikan pencerahan baru bagi saya tentang rasa bahagia, dan mulai semakin mengenal mindfulness.Â
Kebahagiaan yang timbul dikarenakan adanya kontemplasi diri dan tidak memboroskan emosi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan terlalu banyak.
Dari proses pembelajaran saya tentang konsep bahagia (masih belajar), seakan membuka mata dan pikiran saya bahwa banyak ajaran hidup yang bijaksana dan bisa kita pelajari dari budaya bangsa kita, yang bisa terus kita dalami dan pahami.
Referensi
- Bintang Padu Prakoso dan Herman Willianto. 2020. Penerapan Konsep Kejawen pada Rumah Tradisional Jawa. Jurnal Teknik Arsitektur, hlm 8.
- Fatimah, Nurul. 22 April 2021. Filosofi Baju "Lurik dan Blangkon". Diakses dari Rejuno Ngawikab.id tanggal 7 Agustus 2021
- Wikipedia. Kejawen. Diakses tanggal 7 Agustus 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI