Walau secara jujur, dalam menerapkan ketiga gaya hidup tersebut, saya mengalami kesulitan, dan rasanya tidak semulus orang lain.
Beragam macam bacaaan, seminar dan IG Live Story pun sering saya ikuti untuk mempelajari lebih dalam tentang budaya Jawa.
Benar kata Ibu Wulan Tilaar, anak dari Martha Tilaar saat sedang live di Instagram, "disaat kita sudah siap, kita akan menemukan sendiri gurunya". Guru disini berarti bisa siapa saja yang kita temui, dan pengalaman hidup juga dikategorikan sebagai guru.
Pelan, tapi pasti, saya mulai memiliki "guru" yang memandu saya belajar bahwa ternyata kita tidak hanya melimpah akan kekayaan alam, akan tetapi juga banyak ajaran-ajaran lama yang sudah ditinggalkan, namun didalamnya mengandung kebijaksanaan hidup.
Budaya masyarakat Jawa, Kejawen
Anggapan klenik melekat pada budaya masyarakat Jawa. Saya kurang paham secara pasti perjalanan sejarahnya, mengapa anggapan tersebut begitu kental, hingga dipisahkan dari agama, dan dianggap sebagai sebuah aliran.
Saya sendiri masih mempelajarinya sebatas bacaan artikel dan jurnal, serta buku saja. Belum pernah benar-benar terjun menjalaninya, namun ada inti pelajaran yang saya dapatkan bahwa budaya masyarakat Jawa ini yang sudah dilakukan selama ratusan tahun, merupakan sebuah pedoman hidup.
Budaya Kejawen ini memiliki filosofi, yakni bersatunya diri kita dengan Tuhan Yang Maha Esa, menjaga dan hidup berdampingan dengan alam, dan menjaga dan hidup berdampingan dengan keluarga dan sesama manusia, serta menjaga kehidupan lahirian dan rohani diri sendiri. (Prakoso dan Willianto, 2020)
Masih dalam jurnal yang sama, keempat filosofi tersebut biasanya dijalani dengan meditasi, tapabrata atau laku, dan perenungan yang mendalam, tujuannya untuk mencapai menyatunya manusia dengan Tuhan. Filosofi tersebut juga diyakini akan memberikan keselamatan dalam hidup.
Sikap dan filosofi yang diyakini dalam budaya ini, saya lihat ada persamaannya dengan gaya hidup mindfulness dan zero waste.Â