"Sakit banget beneran hati gue, Na! Gue pengen banget nepuk pundak gue, ngasih selamat, ngasih penghargaan ke diri gue, karena masih berusaha bertahan hidup". Itulah cuplikan kalimat seorang sahabat yang mengalami peristiwa yang menyakitkan. Mendengarnya begitu kuat, rasanya tidak tega bagi saya untuk meneteskan air mata, karena kalau saya diposisinya, pilihan mengakhiri hidup sudah pasti terlintas di pikiran.
Kejadian tersebut sudah berlangsung kurang lebih dua atau tiga tahun lalu. Namun kata "tepuk pundak" ini begitu melekat dipikiran saya. Entah kenapa rasa-rasanya terdengar begitu dalam ditelinga.Â
Belanja merupakan salah satu self reward bagi saya. Pesta makan selalu saya lakukan setiap akhir minggu, sebagai reward, saya sudah bekerja keras dan ingin melepas penat dengan cara makan makanan yang enak dan banyak. Self reward tersebut membuat saya senang, tapi kantong saya seringkali menangis jadinya. Hehe.
Kata "tepuk pundak" pun seringkali muncul kalau dompet sudah menangis. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran, sesekali saya mesti menepuk pundak sendiri depan cermin, dan biarkan diri berleha-leha menikmati apa yang sudah saya miliki.
Ketika akhir minggu tiba, setelah bangun dipagi hari, saya menatap diri saya dicermin, sembari menepuk pundak, kemudian mengatakan pada diri sendiri, "lanjutkan perjuangan lu". Atau kalau misalkan dihari itu sedang tidak mood, sebagai wanita yang senang berkaca, saya kembali menatap diri di cermin, dan menepuk pundak, sembari berkata "semangat, lu bisa!".
Awal-awal saya merasa geli sendiri dengan apa yang saya lakukan, namun demi dompet kembali ceria, saya sering melakukannya.Â
Pelan-pelan mulai ada sensasi rasa semangat dan percaya diri setelah menepuk pundak dan berbincang dengan diri sendiri. Tidak terlalu membumbung tinggi, namun cukup manjur membuat mood naik, dan merasa semangat untuk terus berusaha dan menikmati proses perjalanan hidup.Â
Dan anehnya rasa semangat dan percaya diri yang saya miliki lebih tinggi, ketimbang sensasi rasa setelah membelanjakan barang ataupun membeli makanan. Ketika menjalani hari, saya merasa selalu ada orang yang menemani diri saya dalam setiap langkah, orang tersebut, ya, diri saya sendiri.Â
Dari sana saya baru memahami betapa pentingnya kita menghargai diri sendiri sebelum menuntut orang lain menghargai diri kita. Betapa tentramnya hati ketika saya bisa bersahabat dengan diri sendiri. Rasanya itu selalu ada sahabat yang akan mendukung.Â
Semenjak saya mengenal gaya hidup minimalis, mindfulness dan trik "tepukan pundak", rasa cepat down dan keinginan segera mengakhiri hidup ketika menemukan masalah, lambat laun berkurang.Â
Senang dengan efek samping tepukan pundak, saya pun terus melanjutkannya sampai sekarang. Apalagi ketika ada orang memojokkan dan menyalahkan saya tanpa memberikan kesempatan bagi saya untuk menjelaskan, tepukan pundak pada diri sendiri pun saya lakukan ketika sendirian.Â
Hal ini memberikan semangat bagi saya untuk menerima kesalahan dan fokus untuk memperbaikinya, kalau diterima. Bila tidak diterima, saya menanamkan pola pikir agar jangan sampai mengulang kesalahan yang sama pada orang lain. Â
Pola pikir  bahwa manusia selalu berhak memilih untuk memaafkan atau tidak juga terus saya tanamkan, agar tidak timbul amarah dan benci dihati.Â
Belanja dan pesta makan masih sering saya lakukan, tapi bukan lagi prioritas saya dalam memberikan self reward. Tepukan pundak dan senyuman pada diri sendiri lebih saya prioritaskan karena memberikan efek yang lebih manjur untuk diri saya yang mudah down. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H