Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Memang Sudah Pintar, tapi Ternyata Belum Maju

15 September 2020   10:50 Diperbarui: 15 September 2020   10:56 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sudah pintar, tapi belum maju | Foto : Okezonenews.com

Kita, masyarakat Indonesia, pasti selalu mendengar para pejabat dan politisi bahwa kita sudah pintar. Yap, kita memang sudah pintar, tapi ternyata masih belum maju. Eits, saudara jangan tersinggung dulu. Izinkan saya menguraikan opini saya hingga saya bisa mengambil kesimpulan bahwa "kita pintar, tapi belum maju."

Tulisan Jaya Suprana tentang "Saya  tahu kalau saya tidak tahu"

Tulisan beliau begitu sederhana, namun sangat menyentil relung hati saya yang terdalam. Dalam tulisannya, beliau menyebutkan ada empat karakter manusia dalam dunia Perwayangan Bali, yakni :

  • tahu kalau dirinya tahu, 
  • tidak tahu kalau dirinya tahu,
  •  tahu kalau dirinya tidak tahu, dan
  •  tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.

Karakter manusia yang terakhir menggambarkan orang yang merasa diri sudah tahu semuanya, padahal dirinya sama sekali tidak memahami permasalahannya, bahkan tidak pernah mau belajar dari masa lalu ataupun pengalaman orang lain untuk menjadi manusia yang lebih bijakasana.

Usai membaca tulisan beliau, saya pun merefleksikan diri, saya tipe yang mana. Ternyata, saya tipe nomor empat, apalagi tentang dunia politik. 

Saya merasa tahu semuanya seakan-akan dengan membaca dan menonton banyak pendapat politisi dan pakar politik di media, saya sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Itupun yang saya baca dan tonton hanyalah dari satu sudut pandang saja, yakni pendapat politisi dan pakar politik yang cara pandangnya sama dengan saya. Saya meremehkan pendapat politik orang-orang yang berseberangan dengan cara pandang saya. Anggapan saya, "Ah, mereka sirik saja".

Mata saya mulai terbuka, telinga dan hati saya baru mau mendengarkan ketika menonton kesaksian anak-anak Jenderal Ahmad Yani tentang kejadian G30S PKI. Salah satu anak beliau mengatakan secara kurang lebih dalam penutupan sesi wawancara, 

"Belajarlah dari masa lalu, Bapak Ibu kita semua mendapatkan kemerdekaan ini dengan berjuang antara hidup dan mati, jangan disia-siakan, masa sudah bertahun-tahun merdeka, kita malah saling berantem karena masalah perbedaan pandangan politik?!"

Kemudian saya menonton kesaksian anak-anak Jenderal yang gugur dalam G30S PKI lainnya yang juga mengatakan hal yang sama, dan saya pun menarik garis benang merahnya, yakni "Hargailah perjuangan para pahlawan dan pejuang kita untuk mendapatkan kemerdekaan, jangan disia-siakan dengan mengkotak-kotakkan diri yang membuat bangsa kita terpecah belah."

Dari sana, saya semakin memahami bahwa sikap pandangan politik saya memicu perpecahan bangsa. Saya tidak membuat ruang diskusi bagi orang-orang yang berseberangan pandangan politik. Sikap inilah yang akhirnya saya nilai sebagai "Saya tidak tahu kalau saya tidak tahu". Padahal dalam sila ke-4 Pancasila, kita diminta untuk bermusyawarah sampai mencapai kata mufakat, yang artinya ada ruang diskusi bagi perbedaan pendapat.

Pendidikan yang selama ini saya enyam sedari SD tidaklah membawa hasil. Saya tidak menjadi orang yang objektif dan kritis dalam menilai situasi. Saya masih mengandalkan perasaan suka dan tidak suka. 

Inilah alasan pertama yang membuat saya berpikir, "Kita memang pintar, tapi belum maju". 

Ketika nenek moyang kita berjuang mati-matian dan meleburkan perbedaan menjadi satu, supaya mendapatkan kemerdekaan dengan pengetahuan  yang saat itu masih terbatas, dan tidak semuanya benar-benar mengenyam pendidikan. Kita yang sudah mengenyam pendidikan, minimal SMP, malah lebih sibuk untuk mencela satu sama lain karena perbedaan pandangan politik, bukan saling mendukung supaya kesehatan dan perekonomian negara kita pulih kembali.

Bukankah itu sama saja kita pintar, tapi malah mundur ke belakang? Ego masing-masing lebih diutamakan, keinginan agar Indonesia maju seperti omong kosong belaka karena kita masih mengkotak-kotakkan diri, tanpa ada ruang diskusi, bahkan satu sama lain lebih senang saling melaporkan ke pihak berwajib dibandingkan mengadakan ruang diskusi yang mendidik secara terbuka.

Aksi demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan "ditunggangi" masih terjadi

Setelah membaca buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer, beliau ada menyebutkan tentang Peristiwa Malari (Malapetaka Lima belas Januari). Kemudian saya pun teringat bacaan dari buku "Takhta untuk Rakyat", juga menyebutkan peristiwa tersebut pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Dari sana saya pun mencari tahu, "Apa sih Peristiwa Malari itu?", kok kayaknya sepertinya besar sekali.

Ternyata peristiwa Malapetaka Lima belas  Januari tersebut terjadi tahun 1974. Mahasiswa melakukan demonstrasi karena menolak adanya investasi dari negara asing, seperti Amerika dan Jepang, pada negara kita. Mereka tidak mau sejarah penjajahan terulang kembali.

Aksi tersebut memicu massa membakar mobil, dan yang membuat para mahasiswa kaget, tiba-tiba ada kabar bahwa banyak massa lainnya yang datang membakar Pasar Senen, kemudian terjadi penjarahan.

Hariman Siregar, selaku Ketua Dewan Universitas Indonesia, sekaligus pimpinan massa saat itu melakukan konferensi pers menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi seperti pembakaran Pasar Senen dan penjarahan bukanlah aksi mahasiswa, peristiwa tersebut ditunggangi oleh pihak lain. Saat itu belum diketahui pihak lain itu siapa.

Baru belakangan diketahui bahwa ada pihak lain yang memang ingin menunggangi aksi para demonstran untuk melakukan kudeta pemerintahan Orde Baru.

Tahun 1998, terjadi aksi demonstrasi lagi yang berujung pada anarkis. Aksi mahasiswa yang tadinya hanya ingin memprotes dan menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang saat itu dirasa sangat diktator, malah "ditunggangi" oleh pihak lain. Akhirnya malah terjadi penjarahan dan pemerkosaan besar-besaran, tidak itu saja banyak nyawa yang merenggang.

Menurut pengakuan Adian Napitupulu dan teman-temannya dalam satu kesempatan, mereka sendiri (saat itu masihlah menjadi mahasiswa) sangatlah terkejut dengan aksi yang membrutal, karena kejadian penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan bukanlah aksi dari mahasiswa.

Tahun 2019, pada bulan September, mahasiswa kembali turun ke jalan dikarenakan saat itu kebijakan yang akan ditandatangani oleh DPR dirasa terlalu terburu-buru dan terasa akan membebani masyarakat. Saya saat itu pun sangat mendukung aksi mahasiswa, karena kebijakan tersebut rasanya sangat tidak adil bagi masyarakat.

Namun sayang sekali aksi tersebut berujung pada anarkis, yakni adanya pembakaran mobil dan kerusuhan, yang untungnya langsung cepat teredam. Mahasiswa sendiri sampai dibuat bingung adanya aksi anarkis yang berlangsung setelah demonstrasi yang mereka lakukan.

Tidak itu saja, berita untuk menurunkan Presiden Jokowi pun sangat santer tersebar, padahal mahasiswa sendiri sama sekali tidak memiliki agenda untuk menurunkan presiden, melainkan memberikan aspirasi yang sempat tidak digubris oleh DPR RI.

Dari peristiwa tahun 1974, 1998 dan 2019, saya menarik kesimpulan aksi mahasiswa kita selalu berujung pada kata "ditunggangi". Dari sana saya baru memahami pentingnya kita mempelajari sejarah, apa yang perlu diperbaiki dan apa yang perlu masih kita lestarikan.

Demonstrasi mahasiswa yang selalu berakhir dengan aksi "ditunggangi" bukanlah sejarah yang mesti kita ulang-ulang terus, yang menandakan kita sudah pintar, bisa lebih kritis dan memiliki teknologi yang canggih, namun sikap yang kita ambil masihlah itu-itu saja, beraksi di jalanan, dan kemudian masih kaget kalau tahu-tahu ada pihak yang menunggangi aksi mahasiswa, yang berujung pada perenggangan nyawa secara massal.

Seharusnya sudah 75 tahun kita merdeka, kita sudah bisa memprediksi dari pengetahuan yang kita sudah pelajari semasa sekolah, kalau kita berdemonstrasi, maka akan ada pihak lain yang akan mengambil keuntungan situasi, dan kemudian malah mengorbankan nyawa saudara sebangsa.

Inilah uraian opini saya tentang kita sudah pintar, tapi belum maju. 

Sekarang sudah tidak sedikit orang yang sudah mengenyam pendidikan, dan menikmati teknologi yang canggih. Wawasan dan pengetahuan yang kita miliki seyogyanya membuat kita lebih kritis, dan objektif, serta menerima perbedaan pendapat, karena ketika negara Indonesia sepakat dibentuk, kita, dari generasi ke generasi juga sepakat untuk bersatu padu menghargai perbedaan dengan bermusyawarah.

Perbedaan pandangan politik bukan berarti selalu menentang rival tokoh politik yang kita sukai, ataupun selalu mendukung tokoh politik yang kita sukai. Tokoh politik masihlah manusia yang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Salah perlu kita tegur (bukan dimusuhi) supaya lebih baik, benar perlu kita dukung, layaknya kita memperlakukan saudara kandung kita ataupun pasangan.

Saat ini mari kita gunakan kecerdasan kita untuk lebih objektif lagi dalam menilai apakah kebijakan pemerintah ini perlu didukung atau tidak. Kita perlu belajar dari negara lain, dimana masyarakatnya saling mengingatkan dan mendukung satu sama lain agar negara bisa berkembang dan bergerak maju.

Negara Indonesia tidak hanya milik pemerintah, partai politik atau ormas tertentu. Negara Indonesia milik kita bersama, kita harus saling mendukung disaat pandemi seperti ini, jangan mencurigai satu sama lain, karena sampai anak cucu kita lahir nanti, permasalahan kita tidak akan selesai-selesai, berkutat saja disitu terus. Sedangkan negara lain dimana pemerintah dan masyarakatnya saling mendukung, kemungkinan besar akan akan lebih makmur dan menikmati kesejahteraan.

Salam persatuan :)

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun