Main hakim sendiri, membedakan orang kaya dan miskin, membedakan orang berdasarkan SARA, belum lagi aksi pembunuhan dan kekerasan masihlah banyak terjadi.Â
Penghakiman didunia maya pun masih banyak terjadi, misal "Duh, jelek banget tuh muka!", "Dasar pelakor", "Ah, cantikan A daripada B, mendingan balikan sama A saja, Pak". Padahal kalimat seperti itu bisa dibilang menyakitkan hati, apakah itu sudah menunjukkan kemanusiaan?
Lantas sudahkah kita melaksanakan kemanusiaan yang adil dan beradab?
Persatuan Indonesia
Ada hal lucu sebenarnya yang pernah saya baca di sosial media.
Ketika sedang tren masalah perlakuan polisi yang rasis terhadap orang kulit hitam hingga berujung pada kematian. Sontak, hal tersebut menjadi sorotan media berita didunia, Indonesia termasuk didalamnya.
Ada seorang warganet yang menegur seorang selebgram karena tidak menggunakan ketenarannya untuk membahas rasisme kulit putih dengan kulit hitam. Dan komentarnya mendapat tanggapan dari warganet lainnya.
Saya pribadi merasa lucu, karena untuk apa ngurusin negara lain, kalau negara sendiri masih ada rasisme. Contoh mohon maaf sebelumnya, Â "Jangan nikah sama orang Betawi, males-males.", "Batak tuh gak bisa nikah sama Jawa, pasti ribut!", "Jangan banyak temenan sama orang Cina, haram!".Â
Doktrin-doktrin di negeri sendiri lah yang mestinya menjadi sorotan bagi kita, karena doktrin tersebut bisa menjadi kesenjangan yang berujung pada perpecahan bangsa. Ketika negeri kita sudah benar bersatu dan terlepas dari doktrin yang mengkotak-kotakkan orang, barulah kita mengurusi rasismenya negara luar.
Nah, doktrin seperti ini apakah sudah melambangkan Persatuan Indonesia? Saya sih merasa belum.
Tidak itu saja, perbedaan pandangan politik saja sekarang bisa menjadi pemicu kerusuhan di negara kita.