Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ribut Soal Pancasila, Memang Kita Pernah Mengamalkan Pancasila?

4 Juli 2020   14:40 Diperbarui: 4 Juli 2020   14:37 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila | Foto Radio Idola Semarang

Pancasila menjadi dasar negara kita. Ditilik dari pengertiannya, panca berarti lima, sila berarti prinsip.

Lima prinsip sebagai dasar negara kita antara lain Ke-Tuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mari kita ingat satu per satu tentang apakah Pancasila ini pernah diamalkan di Indonesia selama ini?

Ke-Tuhanan yang Maha Esa

Di Indonesia mengakui 6 agama,  yakni Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Katolik dan Kong Hu Chu. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia.

Dilihat dari sudut sejarah, nenek moyang kita sangat menghargai keberagaman beragama, maka dari itu arsitektur ataupun kebudayaan kita memiliki akulturasi dari agama Buddha, Hindu dan Islam.

Akan tetapi apa yang terjadi belakangan ini sama sekali tidak mencerminkan adanya sila Ke-Tuhanan yang Maha Esa. Kalau mau jujur, kita semua saling tarik-tarikkan umat. Betul tidak?

Umat pada masing-masing agama mengatakan bahwa agamanya lah jalan kebenaran. Bahkan sebutan kafir, radikalisme, dan sebutan lainnya yang membuat jurang antar umat beragama menjadi tren.

Ketika benar negara ini memang mengamalkan sila Ke-Tuhanan yang Maha Esa, berarti Tuhan itu satu, maka masyarakat yang beragama seyogyanya saling menghargai dan menghormati prinsip dari kerukunan beragama. Toh, kita sama-sama diciptakan oleh Tuhan semua, kan? Yang memang diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing, tapi tetap harus berpedoman pada perintah Tuhan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab

Main hakim sendiri, membedakan orang kaya dan miskin, membedakan orang berdasarkan SARA, belum lagi aksi pembunuhan dan kekerasan masihlah banyak terjadi. 

Penghakiman didunia maya pun masih banyak terjadi, misal "Duh, jelek banget tuh muka!", "Dasar pelakor", "Ah, cantikan A daripada B, mendingan balikan sama A saja, Pak". Padahal kalimat seperti itu bisa dibilang menyakitkan hati, apakah itu sudah menunjukkan kemanusiaan?

Lantas sudahkah kita melaksanakan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Persatuan Indonesia

Ada hal lucu sebenarnya yang pernah saya baca di sosial media.

Ketika sedang tren masalah perlakuan polisi yang rasis terhadap orang kulit hitam hingga berujung pada kematian. Sontak, hal tersebut menjadi sorotan media berita didunia, Indonesia termasuk didalamnya.

Ada seorang warganet yang menegur seorang selebgram karena tidak menggunakan ketenarannya untuk membahas rasisme kulit putih dengan kulit hitam. Dan komentarnya mendapat tanggapan dari warganet lainnya.

Saya pribadi merasa lucu, karena untuk apa ngurusin negara lain, kalau negara sendiri masih ada rasisme. Contoh mohon maaf sebelumnya,  "Jangan nikah sama orang Betawi, males-males.", "Batak tuh gak bisa nikah sama Jawa, pasti ribut!", "Jangan banyak temenan sama orang Cina, haram!". 

Doktrin-doktrin di negeri sendiri lah yang mestinya menjadi sorotan bagi kita, karena doktrin tersebut bisa menjadi kesenjangan yang berujung pada perpecahan bangsa. Ketika negeri kita sudah benar bersatu dan terlepas dari doktrin yang mengkotak-kotakkan orang, barulah kita mengurusi rasismenya negara luar.

Nah, doktrin seperti ini apakah sudah melambangkan Persatuan Indonesia? Saya sih merasa belum.

Tidak itu saja, perbedaan pandangan politik saja sekarang bisa menjadi pemicu kerusuhan di negara kita.

Coba kalau kita benar bersatu dan negara ini memang benar berasaskan Pancasila, perbedaan pandangan politik tidaklah menjadi pemicunya keretakan yang emosional, akan tetapi menjadi ruang diskusi, seperti "kok bisa lu milih capres itu?", kemudian dijawab dengan alasan logis tanpa mengata-ngatai karakter dari orang yang ditanya, seperti kadrun, cebong, kampret dan sebagainya.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan

Faktanya, apa yang terjadi selama ini  sama sekali tidak menunjukkan kepemimpinan yang bijaksana, kan? Korupsi masih merajalela, kepentingan yang tersenggol sedikit langsung membawa nama rakyat, harga-harga kebutuhan semakin mencekik, dan sebagainya.

Belum lagi kebijakan yang saling tumpang tindih antar menteri. Misal saat itu Menteri Kesehatan mengatakan Ojol tidak boleh membawa penumpang, nah dari Menko Kemaritiman dan Investasi mengatakan Ojol silahkan membawa penumpang. Hayoo, penumpang dan Ojol pun bingung!

Pernahkah juga para wakil rakyat benar musyawarah dengan kita, rakyat, dalam mengambil keputusan? Pernahkah juga pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat, apalagi waktu itu massa sampai sempat pada turun ke jalan? 

Itu bisa Anda jawab sendiri dalam hati :)

Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat

Nah, kalau ini pasti sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita belum menerapkan keadilan sosial. Kita bisa melihatnya dibidang hukum. Koruptor yang jelas-jelas merugikan anggaran negara malahan diberikan fasilitas istimewa didalam penjara, masa tahanan pun tidak terlalu lama, sedangkan pencuri ayam tetangga dan sendal, hohoho.. silahkan berhimpit-himpitan disel penjara yang sempit, dengan masa tahanan yang cukup lama.

Perlakuan SPG Mall kepada orang yang berpenampilan mewah dengan yang lusuh juga sangat berbeda. Orang yang berpenampilan mewah akan diberikan pelayanan yang ramah, sedangkan yang lusuh, ditengok saja masih bagus.

Rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan serta belum mendapatkan pendidikan yang layak juga masih banyak. Malah pendidikan dari masa ke masa diubah-ubah aturannya, bukan fokus pada kualitas dan motivasi belajar anak didik.

Apakah hal tersebut sudah menunjukkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat? Rasa-rasanya sih belum, ya.

Saya kurang paham dengan isi RUU Haluan Ideologi Pancasila, apalagi salah satu pasalnya menyebutkan Ke-Tuhanan yang Berkebudayaan. Maksudnya ingin mengajak masyarakat taat beragama dan tidak meninggalkan budaya kah?

Saya rasa asal pemerintah sendiri sayang dengan budaya bangsanya, seperti adanya aturan harus merawat dan melestarikan budaya, masyarakat akan terbawa untuk turut cinta sama budayanya tanpa meninggalkan ketaatannya dalam beragama. Ataupun sebaliknya, masyarakat akan taat beragama, tanpa meninggalkan budayanya.

Jadi opini saya, tidak perlu lah Pancasila diutak-atik, terapkan yang ada dulu. Yang ada saja sama sekali tidak pernah diterapkan, kok mau diutak-atik. Nanti kan malah ambyar peraturannya. Buang-buang uang negara saja nantinya. 

Salam Pancasila :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun