Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Pemerintah Pusat Senang Bermain Kata

3 April 2020   19:28 Diperbarui: 3 April 2020   19:45 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi permainan kata | Foto Appanie.com

Para pejabat dipusat sepertinya terlalu sering membaca bahasa-bahasa hukum atau bisa jadi terbiasa untuk mengolah kata. Saya yakin orang-orang yang bekerja disana sangatlah pintar dan berpendidikan hingga bisa saling mengerti kalimat yang berbelit-belit.

Berbeda dengan saya, yang pendidikannya rata-rata saja, tidak terlalu paham bahasa hukum dan kalimat yang berbelit-belit. Bila ada surat resmi yang berbahasa hukum, biasanya saya akan meminta petunjuk ahli hukum, supaya bisa mengartikan maksud dari kalimat-kalimat berbelit.

Kalau surat resmi gitu kan enak ya bisa langsung gitu bertanya pada ahlinya. Bagaimana kalau kebijakan pemerintah? Kepada siapa saya mesti bertanya maksud dari kalimat berbelit-belit.

Seperti semalam saya baca kalau libur nasional akan diganti sehingga masyarakat bisa mudik. Nah, tadi pagi ada berita yang memuat tentang "mudik tidak dilarang, tapi kami mengimbau untuk tidak mudik. Kalau mau mudik, silahkan, tapi nanti akan dikarantina selama 14 hari. Kalau tidak mudik akan ada bantuan sosial."

Nah, jadinya boleh mudik atau engga???

Saya keder......... 

Lama membaca berulang-ulang dan mencari media-media yang berbeda, akhirnya saya kumpulkan seperti puzzle, "oh berarti dilarang mudik." 

Jujur saja rasanya saya ingin berkata "Ya Tuhan, pemerintah pusat ternyata hobi bermain kata, susah sekali tinggal kasih ketetapan jangan mudik". Titik, wes selesai, kelar kalimat itu.

Itu baru mudik, kemudian ada lagi penetapan untuk work from home. Karena saya diminta untuk membantu atasan dalam menyusun kebijakan libur, mau tidak mau saya pun memperhatikan work from home wajib sampai 19 April 2020 atau masih boleh beroperasi.

Nah, yang bingung, pemerintah pusat mengatakan bahwa kewenangan karantina wilayah ada ditangan pusat. Maka masyarakat diimbau untuk work from home. Pemerintah daerah mesti bisa memberikan ketegasan.

Kata diimbau, menurut saya yang berpendidikan rata-rata ya, artinya kan boleh melakukan, boleh tidak. Menurut saya juga, perusahaan tidak beroperasi itu termasuk karantina, entah karantina kesehatan, wilayah, atau apapun terserah.

Nah, dalam hal karantina, pemerintah daerah kan mesti ngikut apa kata pusat, pemerintah pusat hanya mengimbau, tapi pemerintah harus tegas memberlakukan libur sampai tanggal 19 April 2020.

Hmmm.. jadi artinya? Work from home sampai tanggal 19 April apa engga nih? 

Mungkin saya akan dijawab, "Tinggal wfh  aja kok repot".

Jangan salah, perusahaan butuh omset, apalagi beberapa bulan belakangan pemasukan perusahaan seperti air yang mengalir dipipa yang tersumbat. Pemerintah juga merasakannya, ya toh? Buktinya Zoom dan Netflix saja mau diincar pajaknya. Hehe. Padahal itu jalan kami supaya bisa wfh dan anteng dirumah sesuai dengan anjuran pemerintah, supaya tidak digerami presiden. 

Karyawan kan perlu uang makan dan perusahaan berusaha sebisa mungkin jangan sampai ada PHK, dan kalau bisa THR nanti bisa diberikan pada karyawan.

Omset dari tanggal 5 April sampai 19 April 2020 itu sangat berarti bagi perusahaan dan pemenuhan kewajiban untuk karyawan. Tapi, perusahaan juga tidak mau memperbesar risiko karyawan sakit karena kesimpang-siuran kebijakan. Jangan sampai karena mau omset, karyawan malah kena sakit, apalagi virus corona ini menyerangnya tanpa tebang pilih tanam.

Selain itu, pajak memang mau mengerti omset perusahaan bagaimana? Lebaran tahun lalu saja, jelas-jelas omset perusahaan sangat kecil, tapi kantor pajak rajin sekali mengirimi perusahaan surat cinta untuk menaiki PPH Bruto. Padahal perusahaan sudah membayarnya sesuai fakta sebelum tanggal 10.  

Namun beruntung, biar bagaimana pun perusahaan lebih mengedepankan keselamatan nyawa ketimbang omset. 

Ditengah kebingungan, akhirnya saya berinisiatif untuk bertanya pada pengurus lingkungan sekitar kantor supaya tahu work from home diperpanjang atau tidak. Tapi pengurusnya sendiri masih bingung, bahkan malah mengatakan, "kita lihat situasi saja nanti". Hohoho.. 

Disini saya seperti bermain kata di Instagram. Contohnya:

"Ayah Rima memiliki 5 anak, namanya Rara, Riri, Ruru, Rere. Tahukah kamu siapa nama anak kelimanya?"

Saya pun menjawab, "Rima". Eh, ternyata salah, katanya yang buat soal, kan yang ditanya "Tahukah", jadi jawabannya hanya boleh tahu atau tidak nama anak kelima. Karena salah, saya pun harus me-re-post quiz tersebut.

Artinya, dalam mengintepretasi kebijakan pemerintah pusat, saya seperti bermain kata-kata. Kalau salah ya ngaco, kalau betul ya beruntung. Hanya saja masalahnya disini, kalau saya sampai salah mengartikan kebijakan pemerintah pusat pada atasan saya, risikonya nanti bukan hanya sekedar harus re-post quiz, tapi sudah nyawa karyawan perusahaan yang saya pertaruhkan. Jujur saja, sebagai manusia, saya tidak mau nantinya terkena beban moral dan mental karena membiarkan seorang manusia meninggal akibat salah interpretasi kebijakan. Sudah banyak dosa saya. 

Saya pun merasa sangat bersimpati pada pemerintah daerah, dimana disatu hari dikatakan mudik bisa menyebabkan penyebaran COVID-19 semakin meluas, maka itu harus mengambil langkah tegas. Disisi lain, ada berita lagi imbauan dari Pak Luhut, selaku Menko Kemaritiman dan Investasi, sekaligus Menhub untuk tidak menolak pemudik dari Jakarta. 

Lah, kalau yang mudik berjubel, dan tempat karantina didaerah tersebut untuk 14 hari terbatas, piye toh? Pemerintah daerah nanti pusing, kemudian mau tidak mau memindahkan pemudik yang dikarantina misalnya, eh, ternyata orang yang positif Covid-19 nya semakin bertambah, apalagi tenaga medis dan fasilitasnya terbatas sehingga tidak bisa menangani semua pasien secara maksimal. Tenaga medis ternyata ada yang tertular Covid-19 dan meninggal, akhirnya keputusan pemerintah daerah adalah karantina wilayah, sebagai bentuk dari ketegasan supaya tidak semakin memperparah keadaan. Setelah itu, pemerintah pusat mengatakan itu adalah kewenangan pusat. Waduh!

Disitu saya merasa beruntung sekali, hanya warga negara biasa yang masih bisa menunggu kebijakan dan instruksi yang lebih jelas. Kalau saya menjadi jadi pemerintah daerah, mungkin jedotin kepala dulu kali, biar paham maksud pemerintah pusat itu apa. 

Beruntung pejabat pemerintah daerah Indonesia, pintar-pintar, jadi sebelum pemerintah pusat memberikan instruksi, mereka bisa memahami maksud pemerintah pusat, jadinya mengambil langkah antisipasi terlebih dahulu. 

Nah, saran saja untuk pemerintah pusat, bukan menggugat ya, jadi tidak perlu membela diri secara jor-joran. Banyak orang yang seperti saya yang tidak pernah bermain kata-kata, banyak orang seperti saya yang tidak mengerti bahasa hukum atau kebijakan ataupun kalimat yang berbelit. 

Akan ada baiknya beri kebijakan yang spesifik, seperti "Ga boleh mudik! Kalau melanggar ada pasal pidananya (sebutkan apa saja pidananya), ini demi keamanan bersama. Tenang ada bantuan sosialnya, kok.", kemudian "pemerintah pusat memberikan mandat pada pemerintah daerah untuk memberlakukan peraturan secara tegas, dengan begitu warga masing-masing wilayah harus menuruti kebijakan pemerintah daerah. Bagi yang melanggar akan diberikan sanksi yang tegas".

Memberlakukan peraturan wajib bayar pajak, kan pemerintah pusat bisa tegas, bahkan sampai ada petugas pajak yang bersedia mensosialisasikan kebijakannya, dan itu terkoordinir dengan sangat rapi. Hal tersebut membuat banyak pihak merasa berkewajiban untuk membayar pajak, karena takut adanya sanksi. Masa yang menyangkut nyawa manusia bilangnya masyarakat kalau dilarang mudik, pasti tetap mudik? Itukah kinerja pemerintah pusat, tegasnya saat mau uang? Hoho...

Kalau tahu-tahu saya ditanya, "makanya baca dulu dong sebelum memberikan saran!".  

Saya hanya bisa menjawab, "Maaf Pak, saya ga paham dengan kalimat berbelit, maklum saya hanya warga sipil yang tahunya bagaimana bisa bertahan hidup disituasi seperti ini, Pemerintah kan sepertinya ingin rakyat menggunakan ketahanan masing-masing untuk bertahan hidup, masa tinggal menerjemahkan bahasa hukum jadi bahasa yang merakyat, mesti rakyat juga yang mikir sendiri?"

Terima kasih. 

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun