Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Pemerintah Pusat Senang Bermain Kata

3 April 2020   19:28 Diperbarui: 3 April 2020   19:45 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pun menjawab, "Rima". Eh, ternyata salah, katanya yang buat soal, kan yang ditanya "Tahukah", jadi jawabannya hanya boleh tahu atau tidak nama anak kelima. Karena salah, saya pun harus me-re-post quiz tersebut.

Artinya, dalam mengintepretasi kebijakan pemerintah pusat, saya seperti bermain kata-kata. Kalau salah ya ngaco, kalau betul ya beruntung. Hanya saja masalahnya disini, kalau saya sampai salah mengartikan kebijakan pemerintah pusat pada atasan saya, risikonya nanti bukan hanya sekedar harus re-post quiz, tapi sudah nyawa karyawan perusahaan yang saya pertaruhkan. Jujur saja, sebagai manusia, saya tidak mau nantinya terkena beban moral dan mental karena membiarkan seorang manusia meninggal akibat salah interpretasi kebijakan. Sudah banyak dosa saya. 

Saya pun merasa sangat bersimpati pada pemerintah daerah, dimana disatu hari dikatakan mudik bisa menyebabkan penyebaran COVID-19 semakin meluas, maka itu harus mengambil langkah tegas. Disisi lain, ada berita lagi imbauan dari Pak Luhut, selaku Menko Kemaritiman dan Investasi, sekaligus Menhub untuk tidak menolak pemudik dari Jakarta. 

Lah, kalau yang mudik berjubel, dan tempat karantina didaerah tersebut untuk 14 hari terbatas, piye toh? Pemerintah daerah nanti pusing, kemudian mau tidak mau memindahkan pemudik yang dikarantina misalnya, eh, ternyata orang yang positif Covid-19 nya semakin bertambah, apalagi tenaga medis dan fasilitasnya terbatas sehingga tidak bisa menangani semua pasien secara maksimal. Tenaga medis ternyata ada yang tertular Covid-19 dan meninggal, akhirnya keputusan pemerintah daerah adalah karantina wilayah, sebagai bentuk dari ketegasan supaya tidak semakin memperparah keadaan. Setelah itu, pemerintah pusat mengatakan itu adalah kewenangan pusat. Waduh!

Disitu saya merasa beruntung sekali, hanya warga negara biasa yang masih bisa menunggu kebijakan dan instruksi yang lebih jelas. Kalau saya menjadi jadi pemerintah daerah, mungkin jedotin kepala dulu kali, biar paham maksud pemerintah pusat itu apa. 

Beruntung pejabat pemerintah daerah Indonesia, pintar-pintar, jadi sebelum pemerintah pusat memberikan instruksi, mereka bisa memahami maksud pemerintah pusat, jadinya mengambil langkah antisipasi terlebih dahulu. 

Nah, saran saja untuk pemerintah pusat, bukan menggugat ya, jadi tidak perlu membela diri secara jor-joran. Banyak orang yang seperti saya yang tidak pernah bermain kata-kata, banyak orang seperti saya yang tidak mengerti bahasa hukum atau kebijakan ataupun kalimat yang berbelit. 

Akan ada baiknya beri kebijakan yang spesifik, seperti "Ga boleh mudik! Kalau melanggar ada pasal pidananya (sebutkan apa saja pidananya), ini demi keamanan bersama. Tenang ada bantuan sosialnya, kok.", kemudian "pemerintah pusat memberikan mandat pada pemerintah daerah untuk memberlakukan peraturan secara tegas, dengan begitu warga masing-masing wilayah harus menuruti kebijakan pemerintah daerah. Bagi yang melanggar akan diberikan sanksi yang tegas".

Memberlakukan peraturan wajib bayar pajak, kan pemerintah pusat bisa tegas, bahkan sampai ada petugas pajak yang bersedia mensosialisasikan kebijakannya, dan itu terkoordinir dengan sangat rapi. Hal tersebut membuat banyak pihak merasa berkewajiban untuk membayar pajak, karena takut adanya sanksi. Masa yang menyangkut nyawa manusia bilangnya masyarakat kalau dilarang mudik, pasti tetap mudik? Itukah kinerja pemerintah pusat, tegasnya saat mau uang? Hoho...

Kalau tahu-tahu saya ditanya, "makanya baca dulu dong sebelum memberikan saran!".  

Saya hanya bisa menjawab, "Maaf Pak, saya ga paham dengan kalimat berbelit, maklum saya hanya warga sipil yang tahunya bagaimana bisa bertahan hidup disituasi seperti ini, Pemerintah kan sepertinya ingin rakyat menggunakan ketahanan masing-masing untuk bertahan hidup, masa tinggal menerjemahkan bahasa hukum jadi bahasa yang merakyat, mesti rakyat juga yang mikir sendiri?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun