Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Samakah Tidak Munafik dengan Luapan Emosi Berupa Kata-kata Kasar?

20 Januari 2020   11:23 Diperbarui: 20 Januari 2020   12:03 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : IslamSantun.com

Akhir pekan kemarin ceritanya saya ingin bersantai ria menikmatinya dengan goler-goleran sambil mengecek sosial media, salah satunya Instagram. Eh, ternyata ada yang lagi viral nih, seorang artis mengamuk karena ternyata ada artis lain yang melakukan kesalahan dan meminta maaf, akan tetapi permintaan maaf tersebut ternyata dinilai tidak tulus. Saya inisialkan artis yang mengamuk itu NM, dan artis yang melakukan kesalahan tersebut AU. 

Dalam InstaStory-nya, NM sempat menyebut kalau AU itu orang yang munafik, dan pernyataan tersebut saya perhatikan  mendapatkan respon yang positif dari warganet, yang intinya, mereka menganggap sikap artis ini baik, tulus dan apa adanya.

Saya pun menjadi tertarik pada "mengapa munafik tidaknya seseorang dilihat dari ekspresi emosi dengan kata-kata kasar? Kalau marah, yah sudah tidak perlu dikendalikan lagi?"

Apalagi dulu sempat tren dengan banyak pejabat yang mengikuti salah satu mantan gubernur yang berbicara apa adanya dengan kata-kata kasar dalam mengungkapkan ketidaksukaannya. Hmm.. dalam pergaulan pun, saya memperhatikan orang yang sepertinya tidak bisa mengendalikan emosinya, akan dikatakan tidak munafik. Walaupun memang orang tersebut adalah korban dari kesalahan orang lain.

Saya pun akhirnya mempertanyakan tidak munafik itu apakah harus dengan meluapkan rasa marah dengan kata-kata kasar secara tidak terkendali? Padahal dalam norma masyarakat yang saya tahu, baik dalam dan luar negeri, kata-kata kasar itu menunjukkan orang yang kurang beretika, dan tidak bisa menempatkan diri. 

Tidak mau dikatakan munafik, akhirnya saya mencari pengertian munafik di KBBI, apa sih maksudnya? Oh, ternyata, munafik adalah berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya sebenarnya dalam hati tidak ; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya ; bermuka dua. 

Jadi tidak munafik, bisa disimpulkan dengan  orang yang perkataan dan perbuatannya berbanding lurus. Kebetulan dihari yang sama, saya menonton YouTube yang mewawancarai GKR Ayu (Puteri Keraton Yogyakarta) yang sedang menjelaskan dalam tarian Jawa kita belajar Watak Satria, salah satunya Nyawiji, yakni antara pikiran, ucapan dan tindakan harus menjadi satu, kalau tidak menjadi satu, maka dikatakan munafik. 

Dengan begitu orang yang pikiran, ucapan dan tindakannya menjadi satu atau berbanding lurus, nah, itulah tidak munafik. Jadi misalkan seorang pejabat, yang sebelum menjabat bersumpah setia pada Tuhan untuk negara, bangsa dan masyarakat. Nah, sepanjang masa jabatan hingga berakhirnya jabatan, si pejabat dalam ucapan dan tindakannya sesuai dengan sumpah setianya, maka orang tersebut masuk dalam kriteria tidak munafik. Kalau ternyata tahu-tahu korupsi, nah itu kan munafik.

Jadi, apakah tidak munafik lantas harus meluapkan emosi dengan kata-kata kasar?

Kalau dilihat dari pengertian diatas tidak juga ya, menurut saya, orang yang berkata-kata kasar pun, kalau pikiran, ucapan dan tindakan tidak sesuai, ya sama saja dong munafik. 

Sedangkan kata-kata kasar sendiri, menurut para peneliti, orang tersebut berarti jujur, cerdas, dan mentalnya lebih sehat, karena bisa mengekspresikan tekanan dalam batinnya. Tapi bagaimana kalau kata-kata kasar tersebut mencuat saat emosi dan sama sekali tidak bisa terkontrol?

Kalau yang saya baca di IDN Times, bisa jadi tidak terkendalinya emosi itu yang diluapkan dengan rentetan kata-kata kasar menandakan rusaknya sistem limbik dalam otak (sistem otak yang bertanggung jawab atas respon perilaku dan emosional seseorang). Seringnya berkata-kata kasar pun, dalam New York Times, dijelaskan orang yang melakukan hal tersebut akan dinilai, maaf, tidak berkelas.

Setahu saya, tidak berkelas ini biasanya merujuk pada orang yang kurang mendapatkan pendidikan karakter dan tidak mengenal budaya. Kalau dikaitkan dengan budaya bangsa kita, kita kan sudah diberi cap oleh dunia, bahwa orang Indonesia sangat ramah dan memiliki sopan santun yang tinggi, artinya kelas peradaban budaya kita sudah tinggi sebenarnya. 

Dengan begitu, saya mendapatkan kesimpulan, ternyata tidak munafik bukan berarti harus mengekspresikan emosinya dengan kata-kata kasar dan seperti tidak terkendali. Karena tidak munafik sendiri lebih fokus pada pikiran, ucapan dan perbuatan yang menjadi satu. Sedangkan, meluapkan emosi dengan kata-kata kasar secara tidak terkendali, mencirikan kerusakan pada sistem limbik pada otak, dan lebih merujuk kepada orang yang tidak berbudaya.

Dalam Fimela.com, juga disebutkan bahwa akibat dari seseorang yang tidak bisa menahan emosinya dengan berkata-kata kasar, yakni guratan emosinya akan terlihat (wah, hati-hati bisa menambah garis-garis keriput), kemudian reputasi kita hancur, dan yang pasti menjadi bahan gosipan. Tidak mau kan itu terjadi pada diri kita?

Jadi supaya tidak cap munafik, akan lebih baik kita fokus saja dengan diri kita yang pikiran, ucapan dan tindakan sejalan, seperti janji ditepati, menjaga kepercayaan orang lain, dan masih banyak lagi. Kalau sedang berseteru dengan orang lain, akan lebih baik kita tenangkan diri dulu, kemudian mencari waktu untuk menyampaikan langsung ketidaksukaan kita pada orang lain secara baik-baik, supaya tidak timbul masalah baru, yang akhirnya membuat kita cape hati sendiri.

Kalau orang tersebut tidak bisa dibilangin juga, ya berarti kan tidak mau berteman, ya let him/her go saja. Masih banyak hal yang mesti kita urusi kok dibandingkan sibuk dengan orang-orang yang membuat kesehatan mental dan sistem limbik pada saraf otak kita terganggu.

Dengan begitu, sepertinya saya dapat menyimpulkan kalau tidak munafik tidak sama dengan meluapkan emosi dengan kata-kata kasar yang tidak terkendali. 

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun