Berjalan ke samping kiri Candi, ada pendopo lagi dan didalamnya ada ruang pengakuan dosa. Diseberangnya ada tempat berjualan milik sebuah panti, yang saya lupa namanya.Â
Disana ada jualan minuman, makanan kecil, alat-alat doa, dan sebagainya. Akan tetapi di dalam wilayah Gereja tidak diperkenankan makan dan minum. Jadi fungsi tempat ibadah tetap dijaga, bukan untuk berpiknik.
Gedung Gereja Bantulan ini berhiaskan nanas dari kayu dan memiliki ukiran bentuk jajar genjang, yang disebut dengan wajikan. Nah gaya bangunannya ini terinspirasi dari gaya Joglo. Altarnya sendiri dihiasi malaikat yang terukir seperti tokoh wayang.
Kagum sekaligus hormat, itulah yang saya rasakan. Walaupun zaman sudah modern, cara berpikir pun sudah pasti modern juga, tapi budaya setempat sama sekali tidak ditinggalkan.Â
Bahkan pengaruh dari luar diadaptasi dengan budaya setempat, menjadikan jati diri budaya sendiri tidak hilang, tanpa harus ketinggalan zaman.Â
Bangunan-bangunannya pun terlihat sekali dirawat dan dijaga kebersihannya, terlihat sekali menghormati warisan budaya yang tidak dimiliki negara lain.
Ini berlaku untuk tempat-tempat budaya yang saya kunjungi kemarin, Pemakaman Raja, Mesjid, dan Gereja di Yogyakarta.
Duh, kalau mengingat lagi, saya ingin sekali tinggal di sana. Hehe.Â
Referensi :
- Mudika Ganjuran. 3 April 2007. 'Air Perwitasari' Candi Ganjuran. Diakses dari Mudikaganjuran.wordpress.com tanggal 7 Desember 2019
- Wikipedia. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran. Diakes dari Wikipedia.org tanggal 7 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H