Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ziarah Pemakaman Raja Mataram di Kotagede yang Memberikan Pelajaran

5 Desember 2019   14:50 Diperbarui: 5 Desember 2019   15:11 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendopo lainnya ada 4 foto, salah satunya Amengkurat II | Dokpri

Berlanjut ke pemakaman selanjutnya. 

Sebenarnya saya hanya berniat mau melihat bangunan Mesjid tertua di Yogyakarta, eh, memang dasar jodoh, sebelah Mesjid tersebut ternyata pemakaman Raja Mataram, leluhur Sultan Agung. 

Pemakaman sang Raja dibuka hanya pada hari Senin, Jumat dan Minggu pada pukul 13.00 - 16.00 WIB. Saya sampai disana sekitar hampir pukul 17.00, namun kuncennya berbaik hati, saya boleh tetap memasuki area pemakaman tersebut, dengan syarat memakai pakaian adat rakyat untuk bertemu para Raja, dan tanpa alas kaki. Selain itu, juga tidak boleh mengambil foto didalam pemakaman. "Takutnya ada yang ngikut foto, Mba.", canda sang Kuncen. 

Saya pun berganti pakaian kemben batik sebagai atasan dan kain panjang batik untuk bawahan, dibantu oleh seorang ibu tua. Wuih, teknik ikat kembennya mantap, rek, tanpa pakai peniti. Tapi sangat kuat dan tidak melorot. 

Kalau pria, bila mau masuk ke pemakaman Raja, berpakaian seperti abdi dalem, blankon, baju, dan kain panjang batik.

Setelah berganti pakaian, saya diajak masuk oleh kuncen. Dan langsung disuguhi banyak pemakaman dengan berbagai ukuran, ada yang besar, sedang dan kecil. Tidak seperti pemakaman di Imogiri yang berundak-undak, pemakaman raja dan keluarga disini berbentuk rata, dan agak rapat jaraknya untuk langkah kaki, dari satu pemakaman ke pemakaman lain.

Saya pun berjalan selalu mengucapkan kata "Permisi", takut tidak sengaja "tersentuh". 

Jalan yang mengarah dari Gapura ke dalam rumah pemakaman para Raja, dilapisi karpet hijau, jadi kita tidak perlu takut kaki terasa panas atau sakit. Nyaman berjalan sehingga kita bisa fokus mendengar cerita sang kuncen. 

Hampir semua pemakamannya sudah ditaburi bunga, sang kuncen memberitahu kalau setiap hari Jumat, mereka pasti menaburkan bunga. Jadi tidak aneh ketika saya berziarah, terasa wangi sekali.

Ketika memasuki area pemakaman Raja, lebih baik kalau Anda mau berkunjung pada jam kunjung saja, jangan terlalu sore, karena gelap, dan bisa menimbulkan efek merinding disko seperti yang saya rasakan. Hehe.

Pemakaman untuk raja-raja dan keluarganya dinaungi sebuah rumah besar. Ketika menginjakkan kaki pada lantainya. BEUUUHH, ADEM!! Benar adem sekali, lantainya itu berbentuk keramik, sepertinya itu batu pualam asli. Hebat ya kualitas ubin zaman dahulu.  

Nah, paling ujung sebelah kiri, ada pemakaman Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Ki Panembahan Senopati (Sultan Mataram yang pertama). Didepan pemakaman beliau ada makam Panembahan Senopati, dan didepannya lagi ada makam Panembahan Hanyakrawati (Sultan Mataram yang kedua). Pemakaman beliau-beliau ini dideretkan menjadi satu baris, dan masing-masing pemakaman diberi kelambu. 

Konon ada cerita, Ki Ageng Pemanahan ini bersahabat dengan Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring saat itu bersemedi dan memiliki wangsit untuk meminum buah kelapa yang tumbuh di satu pohon kelapa, yang selama pertumbuhannya belum pernah pohon tersebut tumbuh buahnya, baru kali itu berbuah, itupun hanya satu. 

Air dan buah kelapanya harus diminum sampai habis, tidak boleh ditunda. Dengan begitu, melalui Ki Ageng Giring nantinya akan memiliki keturunan raja-raja Mataram. 

Karena belum haus sama sekali, Ki Ageng Giring baru mengambil buahnya dan meletakkannya di meja, kemudian beliau mandi. Saat beliau mandi, Ki Ageng Pemanahan pas sekali datang dan sedang kehausan, maka diminumlah air kelapa tersebut sampai habis tak bersisa. Setelah mandi, Ki Ageng Giring melihat air kelapanya habis langsung lemas, dan beliau menyadari kalau sudah takdirnya Ki Ageng Pemanahan lah yang akan memiliki keturunan raja-raja Mataram. 

Menurut cerita, Ki Ageng Giring memohon kepada sahabatnya itu agar nanti setelah Ki Ageng Pemanahan memiliki keturunan yang menjadi raja, kemudian bergantian dengan keturunan Ki Ageng Giring. Ki Ageng Pemanahan menolak enam kali, baru kemudian setuju setelah permintaan ketujuh. Dengan begitu, kekuasaan keturunan raja Ki Ageng Pemanahan akan berganti pada keturunan Ki Ageng Giring setelah keturunan ketujuh. 

Selain pemakaman tersebut, ada makam Joko Tingkir juga di sebelah kanan, namun hanya tanahnya saja yang ada di pemakamannya, karena rumah tersebut bukanlah pemakaman aslinya, melainkan dipindahkan. Kemudian ada makam penjaga hutan yang menunggu kedatangan calon Raja Mataram, berdasarkan amanah dari Sunan Kalijaga. Cuman nama penjaga hutannya saya lupa. Makamnya ditaruh disana sebagai penghormatan atas jasanya menjalankan amanah dari Sunan Kalijaga untuk menjaga wilayah cikal bakal Kerajaan Mataram Islam. 

Ada juga makam ibu Panembahan Senopati, Nyai Sabinah, yang merupakan cucu Sunan Giri. Dimakamkan disana, karena dari rahimnya, beliau telah menurunkan keturunan para raja Mataram Islam. 

Disana juga ada pemakaman Sultan Hamengkubuwono II, beliau ingin dimakamkan dekat dengan leluhurnya. Dibandingkan dengan usia Sultan Hamengkubuwono I dan III, Sultan Hamengkubuwono II berusia paling panjang dan memiliki 80 anak yang ketika besar ditugaskan untuk menduduki perbatasan wilayah kekuasaan untuk menjaga ketentraman wilayah.

Dalam rumah tersebut juga ada tiang besar yang dipagar, tiang tersebut dijaga sebagai kenangan tempat Sultan Hamengkubuwono III bertapa untuk mendapatkan wangsit agar wilayah Kerajaan Mataram tenteram. Dan pada tempat pertapaan itulah, Sultan Hamengkubuwono mendapatkan wangsit dan mendulang kemenangan.

Ada makam lainnya yang merupakan keluarga kerajaan, seperti istri raja, selir, anak-anak, dan para patih, serta abdi yang telah berjasa bagi kerajaan. Ada beberapa makam juga yang dirumahkan, tapi ukuran rumahnya tidak sebesar rumah pemakaman Panembahan Senopati, mungkin karena tidak muat lagi di sana, maka diletakkan diarea yang berbeda.

Selanjutnya, sang kuncen menceritakan tentang bangunan Pemakaman Raja ini sudah berusia ratusan tahun lamanya, kurang lebih 400 tahun dan masih kokoh, sama sekali tidak ada retak. Cara menempelkan batu ke batu dengan menggunakan putih telur. Kuncennya juga meminta saya untuk memegang temboknya yang terbuat dari batu. "Keker, kan?!", kata sang kuncen dengan begitu bangga.

"Ini, kuat lho Mba bangunannya, waktu lagi gempa bumi di Yogya, wah, ini bangunannya pada lemes, Mba, ngikutin gelombang, tapi sama sekali ga ada yang runtuh. Jepang kan sering gempa, mereka sampe dateng lho Mba ke sini, studi banding untuk pelajarin bangunan. Makanya, kan rumah mereka kokoh semua. Karena disesuaiin sama geografisnya." jelas kuncen. 

"Lah, orang-orang disini sayang banget, Mba, belajarnya malah ke Eropa. Eropa mana ada gempa, adanya kan topan saja. Jadi mereka kan menyesuaikan dengan kondisi alamnya, supaya rumahnya ga terbang. Di Indonesia, mana ada topan yang sampai bisa bawa rumah, adanya gempa, gunung meletus, tanah longsor. Sayang sekali bener-bener." lanjut sang kuncen.

Salah satu pendopo yang fotonya ada Ki Ageng Pemanahan (sebelah kiri) dan Ki Panembahan Senopati (sebelah kanan) | Dokpri
Salah satu pendopo yang fotonya ada Ki Ageng Pemanahan (sebelah kiri) dan Ki Panembahan Senopati (sebelah kanan) | Dokpri
Pendopo lainnya ada 4 foto, salah satunya Amengkurat II | Dokpri
Pendopo lainnya ada 4 foto, salah satunya Amengkurat II | Dokpri
Saat keluar dari pemakaman, ada dua pendopo, pendopo pertama ada dua foto, yakni Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panembahan Senopati. Pada pendompo kedua ada salah satunya foto Amengkurat II, kalau yang satu lagi saya lupa nama sultannya.

Kuncen pun melanjutkan cerita tentang kokohnya bangunan di pendopo dan Mesjid Gedhe Mataram yang tahan banting terhadap gempa. 

Di kunjungan kali ini, suasana mistisnya ada, mungkin karena saya berkunjung terlalu sore, akan tetapi pelajaran yang saya petik itu bukan dari kesan mistinya malahan, lebih kepada kita orang Indonesia, boleh saja beradaptasi pada kemajuan teknologi dan pengetahuan yang modern, tapi ketika kita tinggal di Indonesia ataupun dimanapun kita berada, kita harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada disekitar tempat kita tinggal, dari segi geografis, budaya, dan lain sebagainya.

Misal kita tinggal di Indonesia, dan memiliki pengetahuan tentang gaya bangunan Amerika yang cenderung simple dan modern. Boleh saja, tapi untuk kekuatan dan teknik pembangunannya harus kita sesuaikan dengan kondisi alam di Indonesia. Tidak telek-melek mengikuti teknik yang dipelajari dari Amerika, karena perbedaan kondisi geografis.

Misal lagi, perkembangan industri dan bangunan yang klasih dan mewah di Amerika ataupun Eropa sana. 

Boleh saja kita mengikuti, tapi jangan semuanya kita ikuti. Karena kondisi alam Amerika dan Eropa tidak sesubur di Indonesia, agar terlihat menarik, maka negara Barat sana memiliki pariwisata bangunan yang indah dan megah, serta klasik. Perkembangan industri juga semakin maju, karena tidak mungkin mereka bisa mendapatkan penghasilan dari kekayaan alam dari tanahnya. 

Sedangkan di Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dan tanahnya begitu subur. Bahkan rempah-rempah kita saja sampai banyak yang cari, zaman dahulu kala. Itulah kelebihan kita, yang tidak perlu kita tinggalkan supaya terlihat modern, tapi malah mematikan keunikan dan kelebihan negara kita sendiri dari segi sumber daya alamnya. Yang perlu kita pelajari dari negara luar sana adalah tekhniknya, dan kita berinovasi dengan cara mengembangkannya agar kekayaan alam kita semakin subur dan melimpah.

Dengan begitu negara kita memiliki kekuatan untuk ekspor impor dengan negara lain, tidak melulu impor yang barangnya sudah bisa dihasilkan dari tanah kita sendiri, dan hasil ekspor kita pun juga banyak dicari negara luar. 

Itu sih teori saja. Hehe. Kenyataannya kan yang ada disinggasana sana sepertinya lebih mementingkan kantong sendiri, dan terlalu berkiblat pada negara luar, daripada memahami alam negara sendiri, dan kondisi Indonesia kedepannya bagaimana.

Sebagai informasi tambahan, biaya sewa pakai baju adatnya Rp 35.000,00, dan jasa untuk dipakaikan bajunya itu seikhlasnya saja. Kalau kuncennya sendiri juga diberikan seikhlasnya saja.

Pulang dari pemakaman para Raja Mataram ini, saya langsung banyak mencari tahu tentang sejarah para Sultan, terutama Sultan Agung. 

Ternyata beliau adalah penganut agama Islam yang kuat dan taat, bahkan sebelum wafatnya beliau menuliskan Sastra Gendhing, yang kurang lebih intinya, manusia tanpa Tuhan adalah kosong. 

Wahh... memang ya, kalau seseorang benar-benar berpegang pada Tuhan semata, hasil kepemimpinan dan jerih payahnya memang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun