Iklan produk banyak bermunculan di media sosial, baik itu fashion, gadget dan masih banyak lagi. Untuk menarik perhatian, biasanya perusahaan menggunakan jasa endorsemen dan memberikan slogan yang sangat memikat dan menjanjikan seakan-akan membuat kita memang butuh barang tersebut.
Seperti misalnya perawatan tubuh, ada produk scrub untuk memutihkan kulit. Hampir sebagian besar dari kita, sering termakan iklan, bahwa cantik itu ya kulit harus putih.
Maka, dengan adanya scrub yang memutihkan kulit, seakan memberi jawaban pada kita, para wanita, untuk membantu kita terlihat semakin cantik. Apalagi produknya itu sudah direview oleh para artis dan influencer, maka banyak wanita yang semakin tertarik melihatnya.Â
Padahal diri kita lah yang membuat diri kita menarik, bukan scrub pemutih itu. Mau diputihin atau di-bleaching berapa kali kulit kita, kalau dasarnya kita tidak percaya diri, maka diri kita tidak akan pernah merasa diri menarik.
Kemudian anggapan kalau memakai Iphone terbaru, maka kita akan terlihat semakin bergengsi dan lebih dihormati. Karena orang yang memakai Iphone biasanya diasumsikan sebagai orang yang memiliki banyak uang.
Demi mendapatkan kredibilitas seperti itu, ada saja orang yang rela berkredit ria melebihi budgetnya. Padahal dalam kesehariannya, bisa jadi ia tidak butuh-butuh amat menggunakan Iphone.
Karena adanya anggapan dan memiliki rasa ingin "diakui", serta banyak produk yang hadir seakan menyediakan kebutuhan kita, membuat kita sering membeli banyak produk, agar reputasi dan rasa percaya diri semakin terangkat. Pada akhirnya, uang kita lebih banyak dialokasikan untuk gengsi yang belum tentu kita dapatkan.Â
Saya tertarik dengan kalimat pada buku Marie Kondo dan Francine Jay, bahwa kita adalah si empunya barang, bukan sebaliknya.
Bila kita membeli barang untuk menaikkan "harga diri" dan gengsi kita, lama-kelamaan baranglah yang menguasai diri kita.
Kita seakan-akan tanpa barang tersebut hanyalah butiran debu yang mudah terbang dan tidak terlihat.Â
Padahal reputasi, harga diri, pengakuan dari orang lain dan sebagainya, semuanya berdasarkan diri kita sendiri. Bila kita memiliki rasa percaya diri yang kuat dan benar memiliki potensi, kita tidak memerlukan barang-barang tersebut untuk membuat diri kita merasa lebih baik.Â
Barang tersebutlah yang seharusnya bekerja untuk kita sesuai dengan fungsinya, dan kita memang benar menyenangi barang tersebut, sehingga kita memakainya atas dasar suka dan sayang, bukan atas dasar ingin dilihat orang lain saja, tapi sebenarnya tipe barang tersebut tidak sesuai dengan kepribadian kita.Â
Saya sendiri dulu termasuk konsumtif tulen, tidak boleh melihat barang bagus sedikit, atau sedang tren, pasti langsung membelinya. Karena saya pecinta tas, maka saya membeli berbagai model tas.
Ada juga teman saya yang sangat suka kacamata, maka ia akan bergonta-ganti jenis kacamata. Dan yang paling banyak adalah pecinta baju, tidak boleh ada model baju yang menarik sedikit, dengan harga murah meriah, langsung beli.
Dalam beberapa minggu, bajunya sudah tidak lagi dilirik, bahkan hampir dilupakan begitu saja.Â
Ketika saya membongkar semua barang saya, karena ingin menerapkan hidup minimalis, saya baru menyadari banyak barang yang masih ada dan bagus, tapi terlupakan begitu saja keberadaannya.
Bahkan ada juga barang yang sudah dibeli, tapi sama sekali belum terpakai.
Ada juga tas yang sebenarnya masih bagus dan jarang terpakai, malah kulitnya sudah terkelupas hancur, karena kelamaan disimpan.Â
Ada pula beberapa barang yang fungsinya sama, saya beli, karena termakan iklan, akhirnya malah menyempitkan ruangan, dan membuat saya cukup malas berbenah waktu itu, karena harus banyak memindahkan barang dan juga tidak sampai berapa lama pun, rasanya ruangan saya akan kembali berantakan.Â
Ternyata  uang saya selama ini saya investasikan kepada barang-barang yang belum tentu saya pakai. Hasilnya, saya selalu morat-marit di akhir bulan demi hobi dan gengsi.
Akan lebih baik, agar uang kita tidak diinvestasikan ke tempat yang salah, kita membeli barang yang benar akan kita pakai dan benar-benar memang untuk memenuhi kebutuhan kita, baik itu pokok, sandang dan tersier, serta memberikan kegembiraan saat kita memiliki dan menggunakannya.
Dan kuantitasnya sendiri, tidak perlu terlalu banyak, karena kalau terlalu banyak, berdasarkan dari buku-buku yang saya baca, malah memberikan kita rasa stres.Â
Alasannya, karena barang-barang tersebut akhirnya membuat kita memikirkan perawatannya, letaknya sebaiknya dimana, belum lagi harus dibersihkan dalam jangka waktu tertentu, dan tentu saja akan menguras waktu, tenaga, dan bisa juga menguras uang.
Secara tidak sadar, hal tersebut membuat kita memikirkan barang-barang tersebut, dan menimbulkan tekanan untuk selalu merawatnya, padahal belum tentu kita terus memakai barang tersebut.
Jadi, kita adalah pemilik dan tuan dari barang yang kita miliki, jangan biarkan diri kita tergantung dengan keberadaan si barang yang fungsinya terlihat harus kita miliki, padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan kita sendiri.
Dengan begitu, uang yang kita miliki bisa teralokasikan dengan benar dan sesuai kebutuhan, serta mengurangi rasa stres yang secara tidak sadar hinggap dalam diri kita.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H