Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sensasi Hiruk Pikuk Jakarta dan Sejarahnya

22 Juni 2019   11:51 Diperbarui: 22 Juni 2019   16:15 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : TheJakartaPost.com

Selamat Ulang Tahun Jakarta !! 

Dengan berbangga hati saya ucapkan melalui tulisan. Walau ibukota kita ini penuh dengan beragam hal yang suka menyulut kekesalan, seperti kemacetan yang sangat memakan waktu, belum lagi banjir kalau sedang musim hujan, kemudian adanya demonstrasi yang kerap menimbulkan kemacetan dan sebagainya, tetapi inilah sensasi ibu kota kita yang tidak dimiliki negara lain.

Bila kita pergi ke negara lain, kita akan melihat ibukota yang mungkin terlalu tenang dan damai. Rasanya tidak cocok untuk sifat masyarakat kita yang suka bersilahturahmi dan gotong royong. 

Dengan adanya kemacetan yang panjang, walau sedang kesal, kita bisa membuatnya sebagai konten di Instagram, belum lagi terkadang curhat dengan teman dan sebagainya karena dampak kemacetan, hal tersebut bisa menjadi bahan diskusi untuk kita dengan orang lain.

 Bila ada tabrakan akibat ngantuk atau rasa tidak sabar karena macet, membuat kita mau tidak mau memperhatikan, baik itu dengan langsung membantu, atau menonton saja, kemudian direkam dimasukkan pada sosial media. 

Hal tersebut membuat kita semua memiliki bahan obrolan, melalui saling berbalasan DM ataupun komentar ketika kejadian tersebut diupload pada sosial media. Kita mau tidak mau merasa peduli terhadap lingkungan sekitar kita.

Bila banjir melanda, tentu rasa gotong royong dibutuhkan, itu memaksa kita untuk tetap memperhatikan para tetangga yang sama-sama menjadi korban banjir, atau tetangga yang menyaksikan pasti membantu korban banjir karena adanya rasa simpati. Dengan begitu rasa gotong royong kita yang sudah ada dari zaman nenek moyang, masih terlestarikan dengan baik.

Demonstrasi yang sering terjadi di Jakarta kerap diliput oleh media massa. Hal tersebut membuat kita aware dengan negara kita dan masyarakat. Karena mau tidak mau kita memperhatikan, hal-hal yang untuk kita mungkin tidak terpikir menjadi bermasalah, ternyata ada saja yang menjadi permasalahan bagi para demonstran. 

Akhirnya kita memiliki bahan untuk diskusi di kolom komentar media-media sosial yang memuat berita tersebut, sehingga kita semakin memperhatikan keadaan negara dan masyarakat, juga kita menjadi terdorong untuk berpartisipasi dalam memberikan suara. 

Terlihat dari kolom komentar yang diisi oleh masyarakat kita dari segala penjuru daerah yang menonton, disana kita tidak saling mengenal, namun saling bertukar pendapat. Kalau setuju, langsung memberikan like, kalau tidak setuju, langsung memberikan pendapat lain.

Zaman sekarang, saya perhatikan pengaruh dari Negara Barat, yang dipandang oleh kita, memiliki sifat individualisme yang tinggi, mulai masuk dalam budaya kita, hampir tanpa akulturasi ataupun asimilasi, lebih tepatnya langsung diserap besar-besaran tanpa filter. 

Dikhawatirkan, ciri khas kita sebagai bangsa yang terkenal dengan keramahan dan gotong royongnya, bisa terbawa arus, karena pengaruh Negara Barat yang tidak terkontrol, dan salah kaprah dalam penerapannya.

Dengan adanya Jakarta yang sedemikian padat, dan diisi dengan kemacetan, banjir, demonstrasi, dan lainnya yang kerap membuat kita pusing, setidaknya silahturahmi dan rasa gotong royong kita tetap awet. Kekepoan kita terhadap masalah orang lain, juga yaa anggap positif saja, kita masih memperhatikan satu sama lain.

Ternyata hiruk pikuk seperti ini tidak hanya terjadi sekarang ini saja, lho. Jakarta sudah ramai dan hiruk pikuk dari zaman dahulu. Saya ingin kilas balik, boleh, ya....

Nama Jakarta sendiri sudah sering berubah-ubah seiring dengan perebutan kekuasaan. Hohoho... biar pun kecil provinsinya, tapi sangat diminati dari orang Indonesia sendiri, Portugis, Belanda maupun Jepang.

Awal mula nama Jakarta itu adalah Sunda Kelapa, pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi para pedagang Gujarat, Cina, Arab dan sebagainya. Sunda Kelapa ini dikuasai oleh Kerajaan Sunda, sejak bekerja sama dengan Portugis, Sunda Kelapa semakin pesat kemajuannya. 

Kerajaan Demak merasa terancam eksistensinya. Dibawah pimpinan Fatahillah, direbutlah Sunda Kelapa itu dari tangan Portugis. Dengan rasa bangga yang luar biasa, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Jayakarta artinya kejayaan dan kesejahteraan, atau kemenangan yang sempurna.

Beredar tambahan sejarah, Ridwan Jaidi, seorang tokoh dan budayawan Betawi mengatakan pengusiran tidak saja ditujukan kepada Portugis, namun juga kepada suku Betawi, mereka dibumi hanguskan oleh Fatahillah. Namun kebenaran sejarah ini masih belum diresmikan.

Dari sini sudah mulai terlihat kan, potensi hiruk pikuknya Jakarta. Mau ganti nama saja, sudah ada pertumpahan darah.

Aman tuh Jayakarta, sampai tahun 1610, Belanda datang mengadakan perjanjian dengan Pangeran Jayakarta dari Kerajaan Banten, saat itu Jayakarta dikuasai oleh Kerajaan Banten.

Isi perjanjian tersebut adalah Belanda mau memakai wilayah timur muara sungai Ciliwung sebagai gudang dan pos dagang. Dalam beberapa waktu, ternyata perdagangan yang dilakukan di wilayah Jayakarta ternyata menghasilkan keuntungan yang besar.

Sudah dikasih jantung, malah minta darah, Belanda langsung saja mengadakan ekspansi besar-besaran ke Jayakarta dengan maksud ingin memonopolinya. Tidak tanggung-tanggung, JP Coen, Gubernur Jenderal Belanda menghimpun kekuatan dan meminta bala bantuan dari Maluku sehingga terkumpul 16 kapal, kemudian menyerang wilayah Jayakarta. 

Karena serangan yang bertubi-tubi, Pangeran Jayakarta menarik diri dan pasukannya ke daerah Banten, sehingga terjadi kekosongan kekuasaan. JP Coen langsung menduduki wilayah Jayakarta dengan berbangga hati. Tanggal 30 Mei 1618, nama Jayakarta diganti menjadi De Bataven, atau sering disebut sebagai Batavia.

Nah, hiruk pikuk lagi , kan, Jakarta, karena wilayah Jakarta ini benar-benar memberikan keuntungan dalam hal perdagangan. Entah berapa nyawa yang sudah dikorbankan demi kekuasaan sejenak dan keuntungan yang hanya bertahan beberapa tahun saja.

Dalam kepemimpinannya, JP Coen menempatkan Suku Melayu, Sunda, Banten, Batak, Bugis, Ambon di Batavia. Suku yang dikumpulkan ini disebut sebagai Suku Batav, kalau kita menyebutnya suku Betawi. Suku Batav ini diambil sebagai rasa hormat JP Coen kepada Belanda. 

Jadi tidak heran kalau penduduk Jakarta itu beraneka ragam, sebelum banyak penduduk luar pulau datang untuk mencari pekerjaan di Jakarta saja, Jakarta sudah ramai dengan berbagai suku yang disatukan dalam satu wilayah.

Tahun 1942, kembali terjadi hiruk pikuk, Jepang datang dengan ksatria untuk "membela" Indonesia dengan mengusir Belanda. Bahkan semua hal-hal yang berbau Belanda dihancurkan tidak bersisa. Nama Batavia pun diganti dengan nama Toko Betsu Shi, artinya jauhkan dari perbedaan. 

Tapi parahnya, setelah direbut, Toko Betsu Shi ini dihancurkan begitu saja oleh Jepang. Wilayah ini dijadikan sebagai markas logistik tentara Nippon. Ketika Nagasaki dan Hiroshima dibom, markas di Toko Betsu Shi sekaligus dengan data-data Jepang yang ada dibakar sendiri oleh tentara Jepang. 

Setelah Jepang pergi meninggalkan Indonesia, tahun 1945, nama Toko Betsu Shi, diganti lagi menjadi Jakarta, disingkat dari nama sebelumnya Jayakarta. Sebagai tanda kota kemenangan.

Hiruk pikuk lagi , kan, Jakarta?  Belum habis... Masih ada lagi lho...

Tahun 1946, Belanda datang lagi. Beuh, tidak tahu malu. Dan nama gerakan yang dilakukan Belanda ini adalah agresi militer Belanda, mereka mau menguasai Indonesia lagi. Jakarta ingin diganti lagi namanya menjadi Batavia. Karena wilayah inilah yang paling memberikan banyak keuntungan untuk Belanda.

Tidak mau lagi dijajah Belanda, Arnold Mononutu sebagai menteri penerangan, menetapkan nama Jakarta sebagai nama provinsi agar tidak diutak-atik oleh Belanda. Pada masa itu, Jakarta belum menjadi ibukota negara Indonesia.

Tahun 1949, Jakarta dipilih menjadi ibukota negara Indonesia karena keadaan darurat. Yogyakarta, yang saat itu dijadikan ibukota negara, dikuasai Belanda. Presiden, Wakil Presiden dan sejumlah anggota kabinet ditangkap oleh Belanda, kemudian Belanda mengumumkan bahwa Republik Indonesia tidak ada. Kala itu Yogyakarta benar-benar dalam keadaan genting sekali.

Namun kekuasaan Belanda tidak bertahan lama, Presiden Soekarno, dibantu oleh India, mendapatkan dukungan dari sejumlah negara internasional, mereka protes dan mengkritik keras aksi yang dilakukan oleh Belanda. 

Karena tidak adanya dukungan dari negara lain, Belanda pada akhirnya menyerahkan kembali kedaulatan negara Indonesia dalam perjanjian Rum Royen.

Jakarta pada saat itu sebenarnya masih dalam pertimbangan akan terus menjadi ibukota atau tidak, karena ada beberapa tempat lainnya yang dilirik sebagai ibukota. 

Namun tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia, karena Jakarta adalah kota yang efisien, semangat rakyatnya berkobar-kobar, menyala dan revolusioner dari awal Proklamasi, Trikora hingga Dwikora.

Dari kilas balik ini, terlihat kan, Jakarta sudah banyak hiruk pikuk dari zaman dahulu, jadi tidak aneh bila hiruk pikuk ini tetap ada sampai sekarang, hanya saja sekarang ini, enaknya, kita sudah merasakan sendiri nikmatnya hiruk pikuk Jakarta sebagai ibukota negara milik kita sendiri, bukan lagi sebagai negara jajahan. Selain itu, menurut pandangan saya, silahturahmi dan rasa gotong royong kita secara tidak langsung masih terjaga karena hiruk pikuknya Jakarta.

Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun, Jakarta!

Walau ke depannya nanti, mungkin bisa jadi bukan lagi sebagai ibukota negara lagi, tapi usiamu yang sudah 492 tahun lamanya, hampir mencapai 1 abad, sangat menorehkan segala keindahan sejarah yang penuh perjuangan bagi rakyat Indonesia.

Salam Persatuan

Referensi :

Habib, Zaimul Haq Elfan (2018, 22 Juni). Prahara Sunda Kelapa, Fatahillah dan Kontroversi Sejarah Jayakarta. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari Merahputih.com

Raditya, Iswara N (2017, 22 Juni). Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari Tirto.id

National Geographic Indonesia (2018, 22 Juni). Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa dan Cikal Bakal Kota Jakarta. Diakses tanggal 22 Juni 2019 National Geographic.grid.id

Nurdiasih, Fadjriah (2017, 30 Desember). Arnold Mononutu dan Perubahan Nama Batavia menjadi Jakarta Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari Liputan6.com

Wildansyah, Samsudhuha (2017, 22 Juni). Nama-nama Jakarta Sejak Masa Pro Kolonial hingga Milenial. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari DetikNews.com

Matanasi, Petrik (2016, 30 Desember). Pada Tanggal Inilah Batavia menjadi Jakarta. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari Tirto.id

Jamilah (2019, 3 Januari). Pernah di Yogyakarta, Pemindahan Ibukota Negara Selanjutnya Masih Misteri. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari Okezone.com

Setiyono, Budi (2017, 8 September). Sukarno Ingin Ibukota Tetap di Jakarta. Diakses tanggal 22 Juni 2019 dari  Historia.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun