Zaman sekarang, saya perhatikan pengaruh dari Negara Barat, yang dipandang oleh kita, memiliki sifat individualisme yang tinggi, mulai masuk dalam budaya kita, hampir tanpa akulturasi ataupun asimilasi, lebih tepatnya langsung diserap besar-besaran tanpa filter.Â
Dikhawatirkan, ciri khas kita sebagai bangsa yang terkenal dengan keramahan dan gotong royongnya, bisa terbawa arus, karena pengaruh Negara Barat yang tidak terkontrol, dan salah kaprah dalam penerapannya.
Dengan adanya Jakarta yang sedemikian padat, dan diisi dengan kemacetan, banjir, demonstrasi, dan lainnya yang kerap membuat kita pusing, setidaknya silahturahmi dan rasa gotong royong kita tetap awet. Kekepoan kita terhadap masalah orang lain, juga yaa anggap positif saja, kita masih memperhatikan satu sama lain.
Ternyata hiruk pikuk seperti ini tidak hanya terjadi sekarang ini saja, lho. Jakarta sudah ramai dan hiruk pikuk dari zaman dahulu. Saya ingin kilas balik, boleh, ya....
Nama Jakarta sendiri sudah sering berubah-ubah seiring dengan perebutan kekuasaan. Hohoho... biar pun kecil provinsinya, tapi sangat diminati dari orang Indonesia sendiri, Portugis, Belanda maupun Jepang.
Awal mula nama Jakarta itu adalah Sunda Kelapa, pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi para pedagang Gujarat, Cina, Arab dan sebagainya. Sunda Kelapa ini dikuasai oleh Kerajaan Sunda, sejak bekerja sama dengan Portugis, Sunda Kelapa semakin pesat kemajuannya.Â
Kerajaan Demak merasa terancam eksistensinya. Dibawah pimpinan Fatahillah, direbutlah Sunda Kelapa itu dari tangan Portugis. Dengan rasa bangga yang luar biasa, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Jayakarta artinya kejayaan dan kesejahteraan, atau kemenangan yang sempurna.
Beredar tambahan sejarah, Ridwan Jaidi, seorang tokoh dan budayawan Betawi mengatakan pengusiran tidak saja ditujukan kepada Portugis, namun juga kepada suku Betawi, mereka dibumi hanguskan oleh Fatahillah. Namun kebenaran sejarah ini masih belum diresmikan.
Dari sini sudah mulai terlihat kan, potensi hiruk pikuknya Jakarta. Mau ganti nama saja, sudah ada pertumpahan darah.
Aman tuh Jayakarta, sampai tahun 1610, Belanda datang mengadakan perjanjian dengan Pangeran Jayakarta dari Kerajaan Banten, saat itu Jayakarta dikuasai oleh Kerajaan Banten.
Isi perjanjian tersebut adalah Belanda mau memakai wilayah timur muara sungai Ciliwung sebagai gudang dan pos dagang. Dalam beberapa waktu, ternyata perdagangan yang dilakukan di wilayah Jayakarta ternyata menghasilkan keuntungan yang besar.