Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Realisasi Revolusi Mentalnya Pakde

13 Juni 2019   02:12 Diperbarui: 13 Juni 2019   03:20 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasilnya mungkin Anda bisa bayangkan sendiri, kalau anak-anak kita nanti hanya bisa menghafal mati, atau berpandangan sekolah itu tidak ada gunanya sama sekali. Padahal sekolah adalah basic kita untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas dalam hal kemampuan berpikir dan bernalar.

Kedua, rasa individualis orang Indonesia semakin meningkat. Gotong royong yang menjadi ciri khas orang Indonesia, hampir bisa dikatakan mulai punah. Contohnya saja, ketika melihat mobil di jalan sedang mundur sebentar dari parkiran, mobil lain ataupun motor sudah tidak sabar hanya untuk menunggu 2-3 menit untuk mobil itu bisa lurus dan bisa berjalan dengan mulus. 

Akibat ketidaksabaran, malah macet sepanjang jalan. Kemudian, di transportasi umum, ini banyak sekali saya lihat, penumpang yang lebih muda sedang duduk di bus, kemudian ada seorang ibu dengan bawaan berat naik bus. 

Ketika saya masih kecil, saya akan melihat penumpang yang lebih muda langsung mempersilahkan Ibu itu duduk ditempatnya. Berbeda dengan sekarang, penumpang yang lebih muda tersebut malah duduk diam sibuk main HP. Sebenarnya ini tidak salah, kan sama-sama bayar, tapi etika berpenumpang pada transportasi umum telah hampir dilupakan.

Ketiga, masih kurangnya generasi milenial menghargai keanekaragaman dan kebudayaan Indonesia. Mereka masih menganggap kebudayaan Indonesia kurang keren dan trendy. Generasi milenial lebih senang dengan budaya Korea atau budaya orang Barat. 

Padahal orang-orang di luar negara Indonesia, terutama orang Eropa dan Amerika, datang untuk mempelajari budaya Indonesia, karena menurut mereka, budaya kita unik. Bahkan teman dosen saya, seseorang yang berkewarganegaraan Jerman, khusus datang ke Indonesia, untuk belajar budaya Yogyakarta. Beliau malah bisa menjelaskan dengan rinci budaya Yogyakarta, dan fasih dalam berbahasa Jawa halus.

Keempat, orang Barat jauh lebih dihargai daripada orang Indonesia sendiri. Contohnya kasus Zaskia Gothic yang mengatakan bahwa lambang sila ke-5 adalah Bebek Nungging. Masyarakat langsung mengecam dan mencaci maki. 

Berbeda dengan Sacha Stevenson yang mengunggah video yang memperagakan kebiasaan orang Indonesia yang kurang baik, berbeda dengan negara asalnya.  Karena disajikan dengan lucu, maka penonton di Indonesia merasa hal ini sangat lucu, bahkan ia sering diundang ke beberapa stasiun TV. Para penonton Youtube sendiri malah ikut komentar, "Emang dasar orang Indo, bikin malu aja." Padahal jelas-jelas yang berkomentar adalah orang Indonesia. 

Mungkin mereka menganggap Zaskia adalah orang Indonesia, memalukan sekali sebagai orang Indonesia tidak kenal dengan lambang yang ada di negaranya sendiri. Sedangkan, Sacha Stevenson, kan pendatang, sah lah kalau dia merasa seperti itu. Jujur saja, kalau ini terjadi di Monaco ataupun Irlandia, justru Sacha Stevenson lah yang akan dicaci maki, karena ia adalah warga pendatang, tidak pantas menghina kebiasaan negara yang ia baru tinggal.

Kelima, kebiasaan orang Indonesia dalam hal suap-menyuap supaya gampang diproses pekerjaannya. Itu tidak terjadi di kalangan pemerintah saja, kita bisa lihat itu hampir sudah terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Yang saya kaget, guru bahasa saya, orang Amerika, ia mengatakan di Indonesia semua serba mudah asal ada uang. Padahal dia baru kurang lebih dua bulan datang ke Indonesia, dan mengajar di tempat saya kursus.

Dengan kelima hal ini, saya benar-benar tertarik bagaimana Pakde mengkampanyekan Revolusi Mentalnya, salah satunya melalui Facebook. Dan ketika saya sudah sidang untuk Seminar Proposal, hancurlah nilai saya, karena ternyata kampanye ini sama sekali belum berjalan pada media sosial. Tetapi saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki, jadi nilai saya masih bisa dinyatakan lulus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun