Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Realisasi Revolusi Mentalnya Pakde

13 Juni 2019   02:12 Diperbarui: 13 Juni 2019   03:20 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dalam menandatangani inpres Revolusi Mental (Foto : setkab.go.id)

Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Pengertian Revolusi Mental ini saya ambil dari web resmi Kominfo.

Awal dibentuknya Revolusi Mental ini, dilansir dari komenkopmk.go.id, Indonesia perlu mengadakan Revolusi Mental, karena merosotnya wibawa negara, lemahnya sendi perekonomian bangsa, sikap intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Ketika saya kuliah, saya sangat tertarik dengan program Revolusi Mental ini, karena saya merasakan sendiri, bagaimana orang asing memandang orang-orang Indonesia, cenderung mencela, dan yang paling saya rasakan adalah bangsa kita sepertinya memang krisis kepribadian.

Seminar Proposal dalam meneliti kampanye Revolusi mental/Dokpri
Seminar Proposal dalam meneliti kampanye Revolusi mental/Dokpri

Dalam seminar proposal, saya memaparkan hal-hal yang menunjukkan krisisnya kepribadian orang Indonesia pada tahun 2013

Pertama, orang tua saat ini mengedepankan nilai yang tinggi untuk anak-anak sebagai tanda anak mereka sudah sukses dalam belajar. Kemudian, hampir sebagian besar orang tua itu saling memamerkan diri satu sama lain bahwa anaknya unggul, apabila ada orang tua yang merasa anaknya kurang dalam hal nilai, tidak segan orang tua malah menambah jam belajar melalui kursus tambahan. 

Menurut saya ini cukup gila, karena anak bisa mengalami stres dalam usia dini. Selain itu, karena zaman globalisasi saat ini, bahasa asing perlu dikuasai oleh anak-anak mereka, agar anak-anak ini memiliki masa depan yang cerah, maka dari itu para orang tua berlomba menyekolahkan anaknya dalam sekolah yang memiliki cap internasional. Kalau tidak internasional, orang tua cenderung tidak memilih, bahkan melirik saja tidak.

Saya merasa ini termasuk krisis kepribadian, karena tidak semua sekolah internasional itu benar-benar memiliki kualitas dalam hal ilmu pengetahuan, yang penting asal caplok dari buku, gurunya bisa bahasa Inggris dengan fasih, tapi anak-anak belum tentu diajar dan dididik untuk berpikir kritis dan bernalar, serta memahami apa yang sedang mereka pelajari. 

Saya pernah mengajar anak TK di sekolah, kemudian mengajar kursus untuk anak SD-SMP, yang saya lihat, sebagian besar dari mereka tidak paham apa yang sedang mereka pelajari, mereka hanya menghafal mati, yang penting dapat nilai bagus, supaya jam belajar mereka tidak ditambah terus oleh orang tua. 

Menurut Anda, apakah hal ini baik untuk masa depan anak-anak nantinya? Bahkan sampai mereka kuliah pun, bila tidak mendapatkan guru yang benar mendidik siswanya, atau orang tua masih menerapkan konsep yang penting nilai bagus, maka anak-anak ini terbiasa dengan cara hafal mati. Dan tentu cara menghafal mati tidak mungkin berguna saat mereka terjun dalam dunia kerja nanti. 

Hasilnya mungkin Anda bisa bayangkan sendiri, kalau anak-anak kita nanti hanya bisa menghafal mati, atau berpandangan sekolah itu tidak ada gunanya sama sekali. Padahal sekolah adalah basic kita untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas dalam hal kemampuan berpikir dan bernalar.

Kedua, rasa individualis orang Indonesia semakin meningkat. Gotong royong yang menjadi ciri khas orang Indonesia, hampir bisa dikatakan mulai punah. Contohnya saja, ketika melihat mobil di jalan sedang mundur sebentar dari parkiran, mobil lain ataupun motor sudah tidak sabar hanya untuk menunggu 2-3 menit untuk mobil itu bisa lurus dan bisa berjalan dengan mulus. 

Akibat ketidaksabaran, malah macet sepanjang jalan. Kemudian, di transportasi umum, ini banyak sekali saya lihat, penumpang yang lebih muda sedang duduk di bus, kemudian ada seorang ibu dengan bawaan berat naik bus. 

Ketika saya masih kecil, saya akan melihat penumpang yang lebih muda langsung mempersilahkan Ibu itu duduk ditempatnya. Berbeda dengan sekarang, penumpang yang lebih muda tersebut malah duduk diam sibuk main HP. Sebenarnya ini tidak salah, kan sama-sama bayar, tapi etika berpenumpang pada transportasi umum telah hampir dilupakan.

Ketiga, masih kurangnya generasi milenial menghargai keanekaragaman dan kebudayaan Indonesia. Mereka masih menganggap kebudayaan Indonesia kurang keren dan trendy. Generasi milenial lebih senang dengan budaya Korea atau budaya orang Barat. 

Padahal orang-orang di luar negara Indonesia, terutama orang Eropa dan Amerika, datang untuk mempelajari budaya Indonesia, karena menurut mereka, budaya kita unik. Bahkan teman dosen saya, seseorang yang berkewarganegaraan Jerman, khusus datang ke Indonesia, untuk belajar budaya Yogyakarta. Beliau malah bisa menjelaskan dengan rinci budaya Yogyakarta, dan fasih dalam berbahasa Jawa halus.

Keempat, orang Barat jauh lebih dihargai daripada orang Indonesia sendiri. Contohnya kasus Zaskia Gothic yang mengatakan bahwa lambang sila ke-5 adalah Bebek Nungging. Masyarakat langsung mengecam dan mencaci maki. 

Berbeda dengan Sacha Stevenson yang mengunggah video yang memperagakan kebiasaan orang Indonesia yang kurang baik, berbeda dengan negara asalnya.  Karena disajikan dengan lucu, maka penonton di Indonesia merasa hal ini sangat lucu, bahkan ia sering diundang ke beberapa stasiun TV. Para penonton Youtube sendiri malah ikut komentar, "Emang dasar orang Indo, bikin malu aja." Padahal jelas-jelas yang berkomentar adalah orang Indonesia. 

Mungkin mereka menganggap Zaskia adalah orang Indonesia, memalukan sekali sebagai orang Indonesia tidak kenal dengan lambang yang ada di negaranya sendiri. Sedangkan, Sacha Stevenson, kan pendatang, sah lah kalau dia merasa seperti itu. Jujur saja, kalau ini terjadi di Monaco ataupun Irlandia, justru Sacha Stevenson lah yang akan dicaci maki, karena ia adalah warga pendatang, tidak pantas menghina kebiasaan negara yang ia baru tinggal.

Kelima, kebiasaan orang Indonesia dalam hal suap-menyuap supaya gampang diproses pekerjaannya. Itu tidak terjadi di kalangan pemerintah saja, kita bisa lihat itu hampir sudah terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Yang saya kaget, guru bahasa saya, orang Amerika, ia mengatakan di Indonesia semua serba mudah asal ada uang. Padahal dia baru kurang lebih dua bulan datang ke Indonesia, dan mengajar di tempat saya kursus.

Dengan kelima hal ini, saya benar-benar tertarik bagaimana Pakde mengkampanyekan Revolusi Mentalnya, salah satunya melalui Facebook. Dan ketika saya sudah sidang untuk Seminar Proposal, hancurlah nilai saya, karena ternyata kampanye ini sama sekali belum berjalan pada media sosial. Tetapi saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki, jadi nilai saya masih bisa dinyatakan lulus. 

Namun, jujur saja saya masih menantikan kampanye Pakde dalam membangun karakter Bangsa Indonesia jauh lebih baik. Karena saya benar-benar sangat tidak senang kalau orang asing menghina bangsa Indonesia. 

Kita memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh mereka, kita orangnya welcome terhadap semua orang, disini cari uangnya lebih mudah daripada diluar negeri, keramahan bangsa kita saja tidak ada yang bisa menandinginya, kita juga memiliki banyak sekali orang-orang yang pintar, hanya saja kurang diekspos, dan masih banyak lagi yang membuat bangsa ini sebenarnya memiliki keunggulan yang tidak jauh berbeda dari bangsa lain.

Semakin ke sini, kita bisa lihat sendiri, antara orang yang mengkritik dan menghina sudah tidak ada bedanya. Padahal pengertian kritik dalam KBBI adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Sedangkan, menghina adalah memandang rendah, memburukkan nama baik orang dan menyinggung perasaan orang seperti memaki atau menistakan. 

Sebagian netizen lebih senang membaca foto dari sebuah artikel, foto lho bukan tulisan, kemudian langsung berkomentar yang sangat jauh dari konten sebenarnya, saking terbiasanya melihat Instagram dan Facebook. 

Belum lagi, kalau pembicaraan atau konten media sosial sudah berbau agama dan politik, wah.. komentarnya sudah tidak terfilter lagi sama sekali. Selain itu, pemberitaan yang beredar pun sama sekali tidak dicek terlebih dahulu benar atau sekedar hoax. 

Bukan hanya, netizen, bahkan tokoh-tokoh politik yang seharusnya memberikan teladan, terutama yang sering muncul  di media, malah ikut berpartisipasi dalam melakukan hal yang telah saya sebutkan, bahkan beberapa dari mereka malah mengarah ke ranah provokasi, tapi sama sekali tidak merasa.

Tidak itu saja, dalam bidang media, cerita sinetron sekarang juga semakin tidak ada inti ceritanya, kecuali cinta dan permusuhan, sampai tidak ada pesan moral yang didapat. Hasil dari tontonan sinetron, kita bisa lihat sendiri seperti kasus Audrey. Kemudian acara seperti Pesbukers, yang mendapatkan Panasonic Gobel Awards untuk kategori program komedi terbaik tahun 2014, semakin kesini, isinya malah seperti candaan yang dipaksa lucu, kontennya pun agak vulgar dan kurang mendidik untuk penonton. Beberapa selebgram pun seperti berlomba yang penting ada konten dan banyak likes sampai tidak memperhatikan bahwa isi konten mereka cukup berpengaruh pada para followers-nya.

Dalam bidang profesi, masih banyak orang yang mementingkan kenaikan gaji dan hitung jobdesk, tapi sama sekali tidak memikirkan produktivitas dan kualitas. Yang penting kerja beres, selesai. Waktunya jam pulang tang ! go !, mereka hanya memikirkan jumlah yang perusahaan bayar atas waktu dan tenaga yang sudah mereka keluarkan. Mereka tidak berpikir kalau hasil pekerjaannya asal-asalan, maka ketika barang dijual, misalkan, konsumen akan berpikir dua kali dalam membeli, alhasil itu akan mempengaruhi pendapatan perusahaan, dan semakin mempengaruhi gaji, bonus dan komisi yang seharusnya mereka peroleh. Ketika mereka tidak mendapatkan gaji, bonus ataupun komisi yang seharusnya, mereka akan berpikir bahwa perusahaan mengekploitasi. Padahal semuanya itu adalah siklus dari hasil pekerjaan yang dilakukan terlalu apa adanya.

Hal-hal ini yang semakin saya tunggu kehadiran kampanye Revolusi Mentalnya Pakde. Bukan saya merasa paling benar ketika menulis ini, saya sendiri juga tahap masih banyak yang harus saya perbaiki. Namun, alangkah baiknya kalau kita sebagai orang Indonesia bangga terhadap bangsa sendiri, dan menunjukkan kepada dunia, bahwa karakter bangsa kita itu unggul, dan jangan pernah berani macam-macam dengan orang Indonesia.

Regards

Referensi: 

https://kominfo.go.id/content/detail/5932/revolusi-mental-membangun-jiwa-merdeka-menuju-bangsa-besar/0/artikel_gpr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun