Kota Malang sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur memiliki daya tarik tersendiri bagi warga luar Malang raya. Udaranya yang cenderung sejuk serta tampilannya yang kini cukup estetik, berhasil bikin betah dan ngangenin banget... katanya.
Weekend biasanya menjadi momen untuk healing ke Malang. Ada banyak cara healing yang dilakukan terutama oleh para kawula muda, mulai dari CFD di Jl Ijen, jalan-jalan di Kayutangan, bahkan sekedar muter-muter sambil motoran untuk menikmati Kota Malang. Mereka sering mengabadikan momen healing ini di media sosial dengan caption yang estetik nan puitis.
Sepertinya jalan-jalan ke Malang menjadi tren healing tersendiri, khususnya bagi gen milenial dan gen z. Stres dikit, melarikan diri ke Malang. Hayo, ngaku kalian!
Bagi para pendatang yang nggak sekedar liburan, melainkan bermukim di Kota Malang seperti mahasiswa maupun pekerja, agaknya kota ini penuh dengan kenangan. Terutama pas lagi hujan... katanya.
Tapi, dibalik segala keestetikannya, nyatane Kota Malang gak seindah story-ne arek-arek.
Sebagai warga Kabupaten Malang yang tentunya sering bertandang ke Kota Malang, sudut pandangku tentang kota ini mungkin berbalik 180°. Aku punya segudang keluhan atas infrastruktur dan fasilitas umum yang ada di Kota Malang.
Sisi lain Kota Malang
Tiap kali jalan-jalan ke kota, aku selalu struggle dengan kondisi trotoar di pusat Kota Malang.
Mungkin saat ini, trotoar yang cukup memadai dan aman bagi pejalan kaki hanya ada di Kayutangan dan kawasan Idjen Boulevard. Selain itu, bobrok! Bahkan trotoar di sekitar Alun-alun Merdeka nggak bisa dilewati karena dikuasai pedagang kaki lima. Ketika berjalan di pinggir jalan pun tetap nggak nyaman karena dipenuhi oleh parkir-parkir liar.
Sama halnya dengan Alun-alun Merdeka, di kawasan Alun-alun Tugu pun banyak trotoar yang nggak enak untuk dilewati. Bedanya, trotoar disini dihalangi oleh pohon-pohon besar yang ditanam di tengah trotoar. Bahkan banyak spot yang nggak punya trotoar.
Mlaku-mlaku nang Kota Malang rasane gak safe blas.