Angin berhembus menerpa badan yang sesaat menjadi sejuk. Walaupun belum tengah hari, matahari tetap terik dan menyilaukan. Kami tetap berjalan seperti biasa, menyusuri kampung yang menyimpan berbagai kisah. Menengok ke kiri, ada kali tua Surabaya yang bermuara ke Laut Jawa.Â
Sementara di sebelah kanan, berdiri bangunan-bangunan tua melawan gerusan zaman. Inilah Pabean Cantikan yang berpagarkan Kalimas, dan merupakan gerbang menuju pelabuhan yang sedari dulu telah menopang perekonomian serta menjadi jalan keluar masuknya peradaban yaitu Pelabuhan Perak.
Kawanku mulai bercerita sejarah kawasan ini.
"Dahulu, roda perekonomian berputar melalui aktivitas perdagangan rempah-rempah yang melibatkan Kalimas ini".
Hmm, sepertinya aktivitas itu masih dilakukan hingga kini. Bangunan-bangunan tua yang melimpah disana dijadikan sebagai gudang penyimpanan barang. Mungkin barang-barang yang hendak diperjualbelikan. Aku mengambil beberapa gambar dari Kalimas dan gudang-gudang itu untuk keperluan dokumentasi.
Selanjutnya, kami bergeser menuju menara tua yang seolah masih mengawasi aktivitas di sekitarnya. Menara tua itu umumnya dikenal dengan menara syahbandar. Berdasarkan google maps, sebutannya adalah Uitkijkpost in Kalimas - Menara Syahbandar - Havenmeester Surabaya.Â
Mudahnya, menara ini merupakan menara pengawas yang memantau aktivitas perkapalan di dermaga atau pelabuhan. Sebagaimana yang kusebutkan sebelumnya, Kalimas menjadi jalur "parkir" kapal-kapal yang masuk ke Jawa Timur lewat pesisir utara, plus daerah tersebut menjadi kawasan transaksi masyarakat di masa lalu.
***
Semakin masuk ke dalam kampung, semakin pula aku tercengang mendapati bangunan-bangunan tua atau lebih tepatnya gudang-gudang yang masih berdiri kokoh.
 Ada rasa syukur melihatnya yang masih bermanfaat. Tapi ada perasaan berkecamuk melihat kondisinya yang seperti kakek tua dengan kulit keriput dan mendekati ujung usianya. Kumuh sekali dan tampak tak terawat. Yah, mungkin para juragan disana berpikir bahwa ini hanyalah gudang untuk penyimpanan sementara, jadi buat apa dicat ulang?
Sambil terus menyusuri jalan, aku tak henti-hentinya menoleh ke kanan dan kiri, mengamati rumah-rumah warga sambil menyeret kakiku yang terasa sakit. Kebetulan dalam perjalanan menuju Pabean, aku terkena musibah. Kalau disebut kecelakaan, rasanya terlalu berlebihan karena hanya kaki kiriku yang terluka.
Oke, kembali ke cerita. Kami masuk ke kampung yang dipenuhi rumah-rumah panggung. Jalanan pavingnya berpola lingkaran, serta dihiasi lampu-lampu jalan yang bernuansa vintage dan estetik.
Kawanku bercerita, rumah panggung disini adalah rumah yang bagian bawahnya digunakan sebagai toko, sementara bagian atasnya adalah hunian. Dari sekian banyaknya rumah panggung toko, saat itu hanya beberapa yang buka. Salah satunya merebakkan aroma harum parfum yang melegakan hidungku.
Ketika kami sampai di kawasan pasar ikan Pabean, bau amisnya menari-nari di udara. Selanjutnya, kami mulai memasuki kampung yang sempit, hanya muat dua motor saja. Kami berpapasan dengan beberapa orang. Disini aku melihat potret realita kehidupan yang lain. Dibalik gemerlap Kota Surabaya, ada rumah-rumah warga yang berhimpitan berusaha mencari ruang untuk bertahan hidup.
Aku melihat ibu-ibu yang mengerjakan pekerjaan domestik di depan rumah. Sepertinya mereka sedikit tertarik dengan keberadaan kami yang mungkin tak biasa. Sekelompok orang Surabaya bagian lain, bahkan pendatang luar yang mengunjungi kampung mereka.
Ketika berjalan melewatinya, terdengar mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa yang tak kupahami, tapi aku tahu bahasa apa yang mereka gunakan. Ya, bahasa Madura. Ternyata ini hunian orang-orang Madura yang merantau sedikit dari kampung halamannya di pulau sebelah.
Lagi-lagi aku berjalan sambil menoleh ke kiri, kanan, dan atas untuk mengamati sekitar. Aku juga mencuri-curi pandang ke sebuah meja kecil yang digunakan ibu-ibu untuk menjajakan dagangan makanannya. Hmm, sepertinya itu enak, ingin sekali aku mencicipi hasil olahan makanan dari tangan ibu-ibu Madura ini.
Memasuki pasar Pabean, kami disambut remahan kulit bawang merah yang berhamburan. Aku melihat para pedagang yang sibuk dengan bawang-bawangnya. Bersama mereka ada kipas-kipas angin yang menjadi salah satu biang kerok atas bertebarannya kulit-kulit bawang merah tersebut.
Aroma bawang yang menyengat itu menusuk hidungku dan dengan sekejap membuatku terbatuk-batuk. Untung tidak ada yang menangis karena berselimut bawang merah, hahaha. Jujur saja, aku bergegas membebaskan diri dari pasar ini. Aku sungguh tak tahan dengan aromanya yang semakin membuncah dalam hidung.
Pasar Pabean yang sudah ada sejak 1849 ini banyak menjual ikan-ikanan, rempah-rempah, serta bawang-bawangan yang didapat dari Kediri dan Mojokerto sebagai kota dengan komoditas bawang. Kini, pasar Pabean ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya oleh pemerintah.
Akhir perjalanan, kami masih menyusuri sebagian kawasan Pabean Cantikan. Setelah mencium bau bawang, indera penciumanku terobati dengan aroma rempah-rempah. Seperti bau jamu yang khas dan segar.
Keberadaan gudang-gudang tua, pertokoan, dan pasar merupakan bukti nyata bahwa Pabean di abad 21 masih disibukkan dengan aktivitas perdagangan. Kehidupan masyarakat terus berputar. Masa silam tentu berbeda dengan masa kini. Bangunan-bangunan tua yang masih eksis seakan menjadi tali penghubung antar waktu. Mereka berdiri menahan gelombang abrasi zaman dan menjadi saksi bisu terhadap peradaban para manusianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H