Mohon tunggu...
Nabilah FJ
Nabilah FJ Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang suka jalan-jalan. Suka sejarah, sosial, dan budaya. Sekarang sedang mengejar impian di departemen humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menapaki Denyut Kehidupan di Dataran Pesisir Utara Surabaya

1 Juli 2024   11:09 Diperbarui: 1 Juli 2024   11:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil terus menyusuri jalan, aku tak henti-hentinya menoleh ke kanan dan kiri, mengamati rumah-rumah warga sambil menyeret kakiku yang terasa sakit. Kebetulan dalam perjalanan menuju Pabean, aku terkena musibah. Kalau disebut kecelakaan, rasanya terlalu berlebihan karena hanya kaki kiriku yang terluka.

Oke, kembali ke cerita. Kami masuk ke kampung yang dipenuhi rumah-rumah panggung. Jalanan pavingnya berpola lingkaran, serta dihiasi lampu-lampu jalan yang bernuansa vintage dan estetik.

Kawanku bercerita, rumah panggung disini adalah rumah yang bagian bawahnya digunakan sebagai toko, sementara bagian atasnya adalah hunian. Dari sekian banyaknya rumah panggung toko, saat itu hanya beberapa yang buka. Salah satunya merebakkan aroma harum parfum yang melegakan hidungku.

Ketika kami sampai di kawasan pasar ikan Pabean, bau amisnya menari-nari di udara. Selanjutnya, kami mulai memasuki kampung yang sempit, hanya muat dua motor saja. Kami berpapasan dengan beberapa orang. Disini aku melihat potret realita kehidupan yang lain. Dibalik gemerlap Kota Surabaya, ada rumah-rumah warga yang berhimpitan berusaha mencari ruang untuk bertahan hidup.

Aku melihat ibu-ibu yang mengerjakan pekerjaan domestik di depan rumah. Sepertinya mereka sedikit tertarik dengan keberadaan kami yang mungkin tak biasa. Sekelompok orang Surabaya bagian lain, bahkan pendatang luar yang mengunjungi kampung mereka.

Ketika berjalan melewatinya, terdengar mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa yang tak kupahami, tapi aku tahu bahasa apa yang mereka gunakan. Ya, bahasa Madura. Ternyata ini hunian orang-orang Madura yang merantau sedikit dari kampung halamannya di pulau sebelah.

Lagi-lagi aku berjalan sambil menoleh ke kiri, kanan, dan atas untuk mengamati sekitar. Aku juga mencuri-curi pandang ke sebuah meja kecil yang digunakan ibu-ibu untuk menjajakan dagangan makanannya. Hmm, sepertinya itu enak, ingin sekali aku mencicipi hasil olahan makanan dari tangan ibu-ibu Madura ini.

Memasuki pasar Pabean, kami disambut remahan kulit bawang merah yang berhamburan. Aku melihat para pedagang yang sibuk dengan bawang-bawangnya. Bersama mereka ada kipas-kipas angin yang menjadi salah satu biang kerok atas bertebarannya kulit-kulit bawang merah tersebut.

Aroma bawang yang menyengat itu menusuk hidungku dan dengan sekejap membuatku terbatuk-batuk. Untung tidak ada yang menangis karena berselimut bawang merah, hahaha. Jujur saja, aku bergegas membebaskan diri dari pasar ini. Aku sungguh tak tahan dengan aromanya yang semakin membuncah dalam hidung.

Pasar Pabean yang sudah ada sejak 1849 ini banyak menjual ikan-ikanan, rempah-rempah, serta bawang-bawangan yang didapat dari Kediri dan Mojokerto sebagai kota dengan komoditas bawang. Kini, pasar Pabean ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya oleh pemerintah.

Akhir perjalanan, kami masih menyusuri sebagian kawasan Pabean Cantikan. Setelah mencium bau bawang, indera penciumanku terobati dengan aroma rempah-rempah. Seperti bau jamu yang khas dan segar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun