Kota Surabaya yang saat ini merupakan ibukota provinsi Jawa Timur, pernah menjadi arena pertempuran besar pada 10 November 1945 silam. Kota Surabaya akhirnya dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Presiden Soekarno juga meresmikan monumen untuk memperingati peristiwa tersebut yang kini kita kenal dengan Monumen Tugu Pahlawan.
Kota Surabaya pada masa silam hingga saat ini menjadi poros kehidupan masyarakat seperti dalam hal perdagangan dan lain-lain. Kota Surabaya tentu memiliki nilai sejarah. Banyak bangunan atau situs peninggalan masa kolonial yang ada di kota ini. Bahkan ada situs peninggalan kerajaan di masa kuno yang turut menghiasi kota ini yaitu situs Arca Joko Dolog.
Situs Arca Joko Dolog berada di pusat Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Taman Apsari, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng. Situs ini terletak di seberang Gedung Negara Grahadi, di belakang Taman Apsari Jl Gubernur Suryo.
Ikonografi arca Joko Dolog sebagai berikut,
- Arca berupa Buddha Aksobhya yang bermudra Bhumisparsa (memanggil bumi sebagai saksi).
- Tinggi arca sekitar 1,7 meter.
- Anatominya sederhana.
- Pada lapik arca terdapat inkripsi yang disebut dengan Prasasti Wurare.
Pendapat Para Ahli
Menurut pendapat mayoritas sejarawan, Arca Joko Dolog adalah perwujudan dari raja terakhir Kerajaan Singhasari yakni Maharaja Kertanegara. Natasja Reichle mengatakan bahwa inkripsi Wurare pertama kali diterjemahkan oleh H. Kern. Inkripsi Wurare terdiri dari 19 bait dan dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama bercerita tentang Mpu Bharada, sementara bagian kedua menceritakan Raja Kertanegara. Dalam inkripsi tersebut tertulis, Kertanegara menahbiskan dirinya sebagai Jina pada tahun 1211 Saka atau 1289 Masehi.
Arca Joko Dolog bukan asli dari Kota Surabaya. Ada beberapa pendapat mengenai asal arca ini. Pendapat pertama mengatakan arca ini berasal dari daerah yang bernama Kandang Gajah, Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto. Sedangkan Max Nihon berpendapat bahwa arca ini berasal dari Candi Jawi berdasarkan berita kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Menurut Mpu Prapanca, dahulu di candi Jawi terdapat arca Aksobhya namun sudah hilang saat ia berkunjung kesana. Poerbatjaraka menduga kalau arca tersebut sudah dipindahkan ke Trowulan yang dahulu merupakan ibukota Majapahit.
Selain beberapa pendapat diatas, ada pendapat lain yang mengklaim bahwa Arca Joko Dolog berasal dari sebuah area pekuburan di Kedung Wulan, Trowulan, Mojokerto. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Amrit Gomperts, Arnoud Haag, dan Peter Carey. Hal ini didasarkan pada temuan oleh Henri Maclaine Pont pada 1929. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Arca Joko Dolog merupakan perwujudan dari Mpu Bharada karena diduga daerah Kedung Wulan pada zaman dulu bernama Lemah Tulis. Lemah Tulis adalah tempat pertapaan Mpu Bharada berdasarkan serat Calon Arang.
Arca Joko Dolog dipindahkan ke Surabaya saat zaman kolonial Belanda oleh Residen de Salis pada tahun 1817. Kemudian arca ini sempat hendak diangkut ke Negeri Belanda namun urung dan akhirnya dibiarkan begitu saja.
Kisah Mpu Bharada dan Ambisi Kertanegara
Dalam Prasasti Wurare tertulis bahwa Mpu Bharada membelah Jawa menjadi Janggala dan Panjalu. Hal ini bertujuan untuk menghindari perebutan kekuasaan antara putra-putra Raja Airlangga. Selanjutnya, muncullah seorang raja dari Singosari yang berhasil menyatukan nusantara di bawah kekuasaannya. Raja tersebut adalah Kertanegara yang disebut sebagai Sri Jnanasiwabajra dalam Prasasti Wurare. Sedangkan dalam kitab Negara Kertagama, Kertanegara disebut sebagai Jnanabajreswara.
Kertanegara merupakan seorang raja yang digdaya. Ia mampu menaklukkan serta menyatukan wilayah-wilayah Jawa dan sekitarnya dalam kekuasaannya. Kini ambisinya tersebut sekali lagi terwujud dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arca-arca Tak Dikenal
Dilansir dari surabaya.go.id, arca Joko Dolog hingga kini masih menjadi tempat ibadah penganut Buddha Tantrayana. Di halaman situs ini juga terdapat beberapa artefak seperti arca Bhatara Wisnu, Lingga-Yoni, arca Ganesha, Dwarapala, dan lain-lain. Sayang sekali artefak-artefak tersebut teronggok tanpa keterangan lebih lanjut. Mungkin saja artefak-artefak tersebut dulunya juga hendak diangkut ke Belanda, namun urung seperti arca Joko Dolog. Kemudian dikumpulkan dan disimpan di area situs Joko Dolog.
Berwisata Sejarah di Situs Joko Dolog
Situs Arca Joko Dolog dibuka untuk umum. Pengunjung dari kalangan mana pun dapat mengunjungi situs ini, entah untuk sembahyang maupun hanya sekedar melihat-lihat atau menelisik kesejarahan situs ini. Area situs Joko Dolog sangat sejuk karena dinaungi oleh tiga pohon beringin dan terdapat bangku taman untuk duduk-duduk. Dikarenakan arca Joko Dolog masih digunakan sebagai tempat persembayangan, maka diharapkan pengunjung dapat menjaga sikap dan saling menghormati.
Arca Joko Dolog seolah menegaskan tekad seorang Maharaja yang digdaya untuk menyatukan nusantara. Arca Joko Dolog dapat disebut sebagai monumen keberhasilan Kertanegara sebagai pemegang kekuasaan atas nusantara. Selain itu, adanya berbagai perbedaan pendapat mengenai arca ini menyadarkan kita bahwa perbedaan pendapat dalam memahami sejarah itu merupakan hal yang sangat wajar. Bukti-bukti tentang suatu sejarah dapat dimaknai secara berbeda oleh tiap ahli sejarah. Namun perbedaan ini bukanlah suatu hal yang patut dijadikan landasan untuk perselisihan yang memicu perpecahan. Sudah seharusnya kita memghargai perbedaan pendapat ini dan tetap bersatu di bawah bendera kebangsaan kita. Sebagaimana visi Maharaja Kertanegara yang menginginkan persatuan nusantara, maka kita pun harus bersatu untuk mewujudkan visi besar tersebut dan menjaga kedamaian dalam negeri.
Sumber:
- Artikel jurnal oleh SJ Suyono tentang Arca Joko Dolog.
- Beberapa website tentang Arca Joko Dolog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H