Mohon tunggu...
Berliana Lukitawati
Berliana Lukitawati Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kontroversi Resep obat di Profesi Kebidanan

17 Desember 2014   02:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 4617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tak sedikit masyarakat yang tahu akan peran bidan yang tak hanya membantu persalinan dan kesehatan anak. Di sisi lain, bidan juga memiliki peran yang masih menjadi Tanda Tanya besar hingga kini dalam pemberian resep obat. Benarkah ini menjadi bagian dari peran profesinya? Dan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi fenomena ini?Lalu bagaimanakah juga peran para bidan yang mendominasi dalam membantu persalinan dan kesehatan anak di pedesaan?

Jika para bidan bisa memberikan resep obat, lalu apa bedanya dengan dokter? Dengan biaya yang relative lebih murah, tentu masyarakat akan lebih memilih bidan sebagai langkah alternative pilihannya. Dengan jumlah bidan yang makin tersebar merata hingga ke pelosok daerah. Belum lagi keterbatasan profesi dokter di daerah, tentu makin menambah dilema profesi kebidanan yang seharusnya mereka berada dibawah pengawasan seorang dokter. Dan ditengah dilema itu makin memupuk keyakinan di kalangan masyarakat bahwa bidan memiliki peran sebagai pengganti dokter. Atau bahkan barangkali di pedesaan mereka menganggap bidan itu sama dengan dokter. Mengingat tingkat keawaman mereka akan pengetahuan profesi kesehatan.

Lebih parahnya lagi mungkin bagi mereka tak peduli apa itu mantri, perawat, bidan ataupun dokter, karena yang ada dalam benaknya hanya satu: sembuh dengan biaya terjangkau.

Dan ini menjadi sesuatu yang beralasan mengingat minimnya jumlah dokter yang berada di pedesaan/daerah pelosok. Sangat jarang dokter yang mau menetap di pedesaan/pelosok. Sekalipun ada yang mau, berapakah jumlah mereka? Tentu sudah dapat ditebak bahwa jumlah mereka sangat terbatas. Sehingga mungkin ini menjadi salah satu jawaban sehingga perannya menjadi tergeserkan oleh bidan. Obat-obatan yang bertuliskan ketentuan ‘harus dengan resep dokter’ pun ditembusnya dengan sehelai resep obat untuk para pasiennya, tanpa keraguan. Jika tidak begitu, bagaimanakah nasib pasiennya? sementara mereka terdesak membutuhkan obat.

Menilik perkotaan besar yang marak dengan puskesmas, ternyata peran dokter di tempat-tempat ini juga terbatas. Sementara jumlah pasien membludak laksana antrian pertunjukan film. Mereka harus antri berjam-jam untuk mendapatkan giliran pelayanan dokter. Tak dipungkiri kehadiran bidan di puskesmas dapat menjadi salahsatu solusi yang memperingan kerja para dokter. Khususnya terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan ibu dan anak. Bisa dibayangkan dengan kondisi tersebut seorang dokter masih harus direpotkan untuk menerima konsultasi bidan akan resep obat bagi pasien yang ada di ruang kebidanan. Mustahil hal ini terjadi. Sehingga wajar dan sudah menjadi rahasia umum jika langkah selanjutnya para bidan ini memberikan resep obat yang dibuat sendiri. Pasienpun juga menjadi terbantu dengan adanya pelayanan yang ada dimasyarakat.

Lalu bagaimanakah dengan pihak apotekernya sendiri, maukah mereka menerima resep obat dari para bidan ini? Tentu tak ada masalah bagi mereka. Lalu bagaimana juga jika itu resep obat yang dibuat oleh seorang perawat? Umumnya para karyawan di apotek tetap melayani pembelian obat atau resep obat, baik itu dari pihak perawat maupun bidan. sekalipun dalam ketentuan obat itu sendiri tertera tulisan ‘harus dengan resep dokter’. Bahkan obat-obatan yang dipilih oleh pasien sendiri, juga akan dilayani.

Sebagaimana salah seorang apoteker di kawasan Depok, Bu Titin mengutarakan, “kami sendiri kadang menawarkan obat lain, jika obat tersebut tidak ada. Kami tahu itu memang harus dengan resep dokter, tapi sudah cukup umum digunakan seperti amlodipine, simvastatine, juga antibiotic atau obat lainnya.., dan pasien sudah biasa menggunakannya. Bahkan terkadang itu resep yang diminta pasien sendiri tanpa didahului dengan konsultasi pihak kesehatan manapun. Dan kami tetap melayaninya. Sepanjang sudah biasa digunakan pasien.”

Tentu saja yang jadi pertanyaan bukanlah mereka oke-oke saja dalam melayani resep tersebut. Dan tak dijumpai kasus berat akibat pembelian obat bebas tersebut, Tapi apakah hal ini semua sudah sesuai dengan ketentuan undang undangnya? Jika tidak, lalu dimanakah peran pemerintah sendiri dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perundang-undang tersebut?

Dalam sebuah wawancara dengan seorang ketua PDKI (persatuan Dokter Keluarga Indonesia) Bpk. Sugito Wonodirekso mengenai peran bidan terkait dalam pemberian resep obat yang makin marak ini, beliau berasumsi bahwa sesungguhnya bidan atau perawat tidak boleh memberikan obat pada pasiennya jika tidak dalam pengawasan dokter. Menurutnya, yang memiliki kewenangan memberikan resep obat pada pasien adalah dokter, karena dokter memiliki dasar keilmuan untuk melakukan itu, demikian dikatakannya dalam Detik News dalam sela acara media brief falmily day, di gelanggang olahraga saparua, minggu 16 maret 2008.

Dalam acara tersebut, beliau juga mencontohkan jika bidan memberikan antibiotic yang kurang dari seharusnya, maka akan mengakibatkan kekebalan kuman, yang ujungnya berakibat pada pasien yang diharuskan membeli antibiotic dengan harga lebih mahal. Bidan sendiri dalam akademinya tidak mempelajari farmakologi sebagaimana dokter.

Bahkan dalam melayani persalinan, jika ditemukan kelainan, maka bidan diwajibkan untuk merujuk pasien pada dokter, demikian dikatakannya.

Sekalipun beliau mengajak masyarakat untuk melaporkan jika ada bidan yang melanggar, namun tak dipungkiri beliau pada akhirnya mengakui bahwa PDKI (persatuan dokter keluarga Indonesia) tak berdaya mengatasi masalah ini karena kewenangan ada pada mereka sendiri. Peran pemerintah diperlukan dalam pengawasannya ini. Apakah pemerintah sudah melakukan pengawasan ‘blusukan’ dan mencarikan solusi bagi kesulitan mereka terutama yang ada di daerah/pelosok.

Hal senada juga diungkap oleh kepala bagian regulasi Dinas Kesehatan Kota Depok dr. Yuliani. Beliau menegaskan bahwa sesuai dengan peraturan undang-undangnya sudah sangat jelas bahwa hanya dokter yang memiliki kewengan untuk membuat resep obat. Sedangkan untuk daerah pelosok, perawat atau bidan diperkenankan untuk melakukan diagnosa dan terapi jika tidak ada dokter. Tapi untuk perkotaan besar tidak ada alasan untuk itu.

Sementara beberapa dokter lain yang berpraktek juga mengeluhkan tentang peran para apoteker yang sering menganjurkan jenis-obat berbeda dari yang telah disarankan dokter. “ Kadang mereka bilang obatnya ini saja dokter, jauh lebih baik….seolah-olah mereka lebih tahu,” demikian diungkap oleh dr.Rani salah satu dokter yang berdinas di kota Depok. “ Tak hanya itu, beliau melanjutkan bahwa penggunaan obat tertuliskan dengan ‘harus dengan resep dokter’ kini telah bebas dijual oleh para karyawan apotek darimanapun resepnya.

Salah satu bidan sendiri mengungkapkan “ kalau kami tidak meresepkan obat, nanti mereka para pasien itu akan beli obat sendiri di apotek sesuai pengetahuan mereka. Dan itu malah akan lebih berbahaya. Jadi buat kami para bidan sudah biasa meresepkan obat. Dimana-mana bidan ya seperti itu, dengan perhitungan toh juga bukan obat kelas berat yang berbahaya…,”demikian diungkap oleh bidan Mirna yang berpraktek di kawasan Meruyung Cinere. Dan telah berpraktek lebih dari 10 tahun dikawasan ini.

Sementara di salah satu puskesmas sendiri seorang dokter dengan enggan menguraikan penyebab bidan di puskesmasnya melakukan hal itu. “ undang-undang mengatakan bahwa itu wewenang dokter kan nggak jelas dan nggak rinci mana yang harus wewenang dokter dan bidan. Jadi sebenarnya kami di puskesmas ini baik para dokter dan bidan sudah cukup faham apa yang harus kami lakukan untuk pemberian obat-obatan mana saja yang harus diberikan. Jadi di lapangan kami ini yang lebih tahu harus bagaimana. Para bidan yang juga membantu kami ini juga nggak mungkin memberikan obat-obatan yang berbahaya dong….,” tegasnya dengan sedikit kesal.

Benarkah kini pemerintah perlu merinci dengan jelas dalam undang-undang, mana yang seharusnya diperbolehkan oleh para bidan itu dalam meresepkan obat?

Namun perlu diketahui bahwa bidan atau perawat dapat melakukan di luar kewenangannya karena mendapat pelimpahan wewenang. Hal ini disebut dalam Pasal 65 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan yang berbunyi:

Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.”

Adapun yang dimaksud dengan tenaga medis dalam Pasal 11 ayat (2) UU Tenaga Kesehatanadalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Kemudian yang dimaksud tenaga kesehatan yang disebut dalam penjelasan pasal di atas antara lain adalah bidan dan perawat.

Ini artinya, jika memang tindakan medis berupa pemberian obat atau suntikan itu di luar wewenang bidan atau perawat namun mereka diberikan pelimpahan itu, maka hal tersebut tidaklah dilarang. Namun dengan ketentuan (lihat Pasal 65 ayat (3) UU Tenaga Kesehatan) yang antara lain berbunyi:

a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;

b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;

c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan

Mengenai tenaga kesehatan (bidan dan perawat) dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya juga diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan:

Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.”

Dalam penjelasan Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatandikatakan bahwa yang dimaksud "keadaan tertentu" yakni suatu kondisi tidak adanya tenaga kesehatan yang  memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, serta tidak dimungkinkan untuk dirujuk.

Maka merujuk pada penjelasan undang-undang yang tertera tersebut dan dengan mempertimbangkan segala kondisi yang dialami oleh para pasien, para bidan dan perawat, juga para dokter, tentu akan lebih bijak jika pemerintah turut serta mempermudah langkah-langkah peran mereka dengan menuangkannya kedalam undang-undang yang lebih rinci dan fleksibel. Tentu dengan mengingat segala kondisi yang telah dialami oleh mereka di lapangan. Bagaimanapun tak sedikit para dokter yang merasakan beban mereka terbantukan dengan adanya peran bidan yang hingga kini diberi kepercayaan untuk meresepkan obatnya tanpa perlu berkonsultasi dulu dengan para dokternya.

Sebagai contoh di puskesmas sendiri yang setiap harinya selalu dipenuhi pasien, tentu kondisi tersebut menuntut para dokter dan bidan bekerja denga gerak cepat mengejar waktu. Secara otomatis para bidan akan meresepkan obat yang telah biasa dikonsumsi pasiennya tanpa perlu berkosultasi lagi dengan dokternya. Inilah kepercayaan dari para dokter di puskesmas kepada mereka.

Mereka menganggap para bidan dipuskesmasnya sudah cukup faham dengan tindakan mereka yang sebenarnya masih dapat dikategorikan untuk pemberian obat-obatan ringan. Namun karena secara rinci jenis obat-obatan ringan atau berat tak tertera dalam undang-undang tersebut, maka hal ini seringkali menjadi perdebatan dikalangan masyarakat sendiri, para bidan dan para dokter termasuk diluar puskesmas.

Belum lagi para bidan yang dituntut harus memberikan obat bagi pasiennya yang sakit di daerah atau pelosok, dengan keterbatasan jumlah dokter. Sehingga sebenarnya tak cukup hanya melayangkan tuntutan atas peran mereka, namun mencari jalan keluar yang memudahkan peran mereka dan para pasien akan jauh lebih bermanfaat. Hal ini tentu saja melalui undang-undang yang lebih rinci dan fleksibel dalam pengaturan peran mereka. Karena tanpa rincian tentu makna bias akan selalu mengundang perdebatan yang tak ada habisnya. Bagaimanapun tak bisa dipungkiri suara mereka yang bekerja dilapangan harus didengar sebagai alasan. Begitu juga suara para dokter yang tentu juga mengkhawatirkan akan peran para bidan perawat dan apoteker yang bisa bias melebihi batas dan membahayakan para pasien.

Menyeimbangakan kedua arah suara yang saling berkontradiksi tentu akan terasa lebih melapangkan peran mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun