Terlangitkan untuk mereka itu...
Ia yang menjadi pejuang subuh, bahkan bangun lebih dulu dari kokok dan surya,
Ia yang ada di seberang jalan memegang peluit bertopi usang,
Ia yang duduk sambil mengipas peluh di tumpukan muatan truk,
Ia yang memanggul bak angkat beban, berisi penggorengan, membawa lonceng kecil,
Ia yang masuk sungai dan keluar lagi dengan pasir di pundaknya,
Ia yang membawa karung berisi botol plastik dan menghela napas,
Ia yang lari tunggang langgang demi makanan kecil di pundaknya bisa masuk bus antar kota,
Ia yang rela bertopi ember besar dan berteriak teriak,
Ia yang berlumpur, berkerbau, berpadi, dan seulas senyum,
Ia yang memacu pedal, melawan kemacetan demi mudahkan penumpang,
Ia yang menghibur saat pelupuk mata menghangat oleh air mata,
Ia yang menyandang senjata di daerah perbatasan,
Ia yang mengobati luka tubuh, dengan sabar bersahajanya,
Ia yang mengubah lautan tinta menjadi abjad terbaca dan menambah wawasan,
Ia yang dengan tampan wibawanya menjadikan buta huruf segan dan tak mau mendekati anak-anaknya,
Mereka semua adalah Ayah.
Yang berpeluh, yang berteduh di bawah mentari, yang menunggu penumpang, yang menjajakan dagangan, yang gagah, yang berwibawa, yang baik hati.
Bisikkan perlahan, mereka semua adalah Ayah.
Terima Kasih, Ayah...
Dan di suatu hari nanti yang ada dalam pusara itu....
Tanpa mengurangi rasa ta'zhim ku,
Selamat Hari Ayah, Abah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H