Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan kesehatan global, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit menular. Menurut laporan Global Tuberculosis Report 2021 oleh World Health Organization (WHO), Indonesia berada di peringkat kedua dunia dalam jumlah kasus TBC. Data dari National Tuberculosis Control Program (NTP) 2021 memperkirakan terdapat 824.000 kasus TB di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 15.186 jiwa. Namun, hanya sekitar 443.235 kasus yang terdeteksi dan diobati, menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam penanganan penyakit ini. Angka ini menjadi bukti bahwa upaya pengendalian penyakit ini masih menghadapi berbagai hambatan, termasuk stigma dan diskriminasi terhadap penderita TBC.
Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Liverpool School of Tropical Medicine, UK, mengungkap bahwa stigma terhadap penderita TB meningkatkan risiko depresi dan menurunkan kualitas hidup mereka. Studi ini menemukan bahwa lebih dari setengah responden mengalami stigma sedang, terutama terkait dengan perasaan bersalah karena penyakit yang mereka derita. Selain itu, 42% partisipan menunjukkan gejala depresi yang signifikan berkaitan dengan stigma yang dialami.
Stigma dan diskriminasi tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental penderita TB tetapi juga berdampak pada upaya eliminasi TB secara keseluruhan. Hambatan sosial ini menyebabkan keterlambatan diagnosis, ketidakpatuhan dalam pengobatan, dan bahkan penghentian pengobatan sebelum waktunya. Akibatnya, penyebaran TB di masyarakat semakin tidak terkendali, dan upaya untuk mencapai target eliminasi TB pada tahun 2030 menjadi terhambat.
Diskriminasi terhadap penderita TBC adalah salah satu faktor tersembunyi yang berkontribusi pada lonjakan kasus positif. Stigma sosial yang melekat pada penyakit ini sering kali menyebabkan penderita enggan mencari pengobatan atau bahkan menyembunyikan kondisi mereka. Selain berdampak pada kualitas hidup individu, diskriminasi ini juga memengaruhi efektivitas program pengendalian TBC secara keseluruhan. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana diskriminasi terhadap penderita TBC menjadi salah satu penyebab utama lonjakan kasus positif dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya.
Diskriminasi dan Stigma
Diskriminasi terhadap penderita TBC sering kali berasal dari stigma sosial yang melekat pada penyakit ini. Banyak masyarakat yang masih mengaitkan TBC dengan kemiskinan, perilaku tidak sehat, atau kurangnya kebersihan. Persepsi ini menciptakan pandangan negatif terhadap penderita TBC, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan sosial dan psikologis mereka (Datiko et al., 2020).
Selain itu, stigma juga muncul dari kurangnya pemahaman tentang cara penularan TBC. Banyak orang yang salah mengira bahwa semua penderita TBC menular, padahal dengan pengobatan yang tepat, risiko penularan dapat diminimalkan. Ketakutan yang tidak berdasar ini membuat penderita sering kali dijauhi oleh keluarga, teman, bahkan tenaga medis.
Diskriminasi tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat tetapi juga di lingkungan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien melaporkan perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan, seperti kurangnya empati atau penggunaan bahasa yang merendahkan. Hal ini dapat mengurangi motivasi pasien untuk melanjutkan pengobatan, yang berdampak negatif pada upaya penyembuhan dan pencegahan penularan lebih lanjut (Creswell et al., 2019).
Dampak Diskriminasi terhadap Lonjakan Kasus Positif
Diskriminasi memiliki dampak yang luas terhadap epidemiologi TBC. Salah satu dampak utamanya adalah keterlambatan diagnosis. Ketakutan terhadap stigma sering kali membuat individu enggan memeriksakan diri meskipun sudah mengalami gejala TBC. Akibatnya, banyak kasus TBC tidak terdeteksi hingga berada pada tahap yang lebih parah, yang tidak hanya memperburuk kondisi pasien tetapi juga meningkatkan risiko penularan di komunitas (Tola et al., 2021).