Selain itu, diskriminasi juga memengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan. Pengobatan TBC membutuhkan waktu yang panjang, dengan regimen obat yang harus diikuti selama minimal enam bulan. Namun, stigma sosial sering kali membuat pasien merasa malu atau takut untuk mengambil obat secara teratur, terutama jika mereka harus melakukannya di fasilitas kesehatan. Ketidakpatuhan ini dapat menyebabkan pengembangan resistensi obat, seperti multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), yang lebih sulit dan mahal untuk diobati (Lestari et al., 2020).
Dampak diskriminasi juga terlihat dalam aspek psikososial. Banyak penderita TBC yang mengalami isolasi sosial dan tekanan psikologis akibat stigma. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka tetapi juga kemampuan mereka untuk mencari pengobatan dan dukungan. Sebagai hasilnya, diskriminasi berkontribusi pada siklus penularan TBC yang terus berlanjut.
Faktor-Faktor yang Mendorong Diskriminasi
Diskriminasi terhadap penderita TBC tidak muncul begitu saja. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini antara lain:
1. Kurangnya Edukasi Masyarakat
Banyak masyarakat yang masih belum memahami penyebab, gejala, dan cara penularan TBC. Minimnya informasi ini menciptakan kesalahpahaman yang memperkuat stigma terhadap penderita.
2. Norma Sosial yang Negatif
Dalam beberapa budaya, penyakit sering kali dianggap sebagai bentuk kelemahan atau aib. Hal ini membuat penderita TBC merasa malu untuk mengungkapkan kondisi mereka atau mencari bantuan.
3. Kurangnya Dukungan Sistem Kesehatan
Sistem kesehatan yang tidak inklusif dan ramah terhadap penderita TBC juga berperan dalam menciptakan diskriminasi. Misalnya, kurangnya pelatihan bagi tenaga medis tentang cara menangani stigma dapat memperburuk situasi.
4. Media yang Tidak Sensitif