Charita
Gadis kecil ini berambut unik.
Sebenarnya panjangnya sampai pinggang, tapi karena gen yang kuat dari
ibunya yang berambut keriting dan ayahnya yang lurus agak kaku, maka
rambutnya yang menggumpal berantakan lucu itu, hanya sampai sebahu.
Ia masuk ke ruangan dengan wajah cemberut.
Aku tak suka guruku hari ini.
Ibunya yang sedang menggoreng sagu yang menjadi makanan sore kesukaan
keluarga bernama Ongol, menampakkan wajah rindunya pada anak bungsunya
ini.
Jangan begitu Chita.. Panggilan kesayangannya, tak baik berkata begitu
tentang bu guru.
"Ibu salah"
Lho kenapa lagi?
"Salah, bukan bu Guru, tapi pak guru.
"Iya maksud ibu itu."
Ibunya mengalah.
Ia mencium ibunya sekilas lalu duduk di pangkuan sang ibu yang
menggoreng. Ia menatap pada penggorengan dengan wajah penuh minat.
"Chitaa ganti baju dulu yaa baru kembali ke sini?!" Ibunya membelai
rambutnya. Dalam kurung merapihkan.
"Tak usah, Chita mau makan ongol". Ujarnya tanpa menawar.
"Iyaa sebentar kalau jadi,ibu simpankan yang baaanyaak. Iya sayang..?!"
Ia menjentik hidung bangir anak kecilnya.
"Oh iya tadi belum dijelaskan, kenapaa ya sama bapak gurunya..?!
Hmm?"
"Bapak guru bilang rambut chita sebaiknya diikat, biar manis seperti
kakak."
Ia melengos masuk.
"Aku tak suka ikat rambut!" mulutnya maju dua centi.
Ia menatap cermin dan mengatakan,
Aku gadis paling cantik!
Mamanya mengiyakan dari dapur. Rupanya Charita berteriak...
"Aku mau jadi presiden!"
"Aamin.." Kali ini kakak wanitanya yang manis itu menggoda.
Kakak satu2nya yang kini menginjak sma.
Mereka beda 10 tahun.
Charita yang masih 6 tahun dan pikirannya terkadang melampaui usianya.
Selang 10 menit suara si kecil Charita sudah berganti dengkuran.
Ia tertidur dengan pakaian sekolah di kursi hadapan cermin.
Ia memang sering tertidur dengan mendadak.
Tak ada basa basi dan
semuanya berjalan sesuai keinginanx.
Ngantuk ya tidur.
Rupanya tadi omelan karena kantuk sangat.
Charita.
Ayahnya nurut padanya, ibunya tak berkutik dengan keinginannya.
Apa yang ia inginkan menjadi titah bagi seluruh keluarga.
Ia tak manja, juga tak pembangkang. Hanya keras kepala.
Karena keinginannya tak
terbantahkan oleh logika, maka tak ada alasan untuk menyalahkannya.
Koleris sejati.
Namun sangat lembut pada kucing piaraannya.
Ia selalu tak lupa menyisihkan ikannya buat si Kutang, kucing
kesayanganx. Kenapa namanya Kutang, karena warnanya kuning hitam dan
orange.
Percuma diganti. Karena Charita tak mengubah panggilannya pada
Kutang.
Makanan yang ia simpankan bukan tulang atau sisa, tapi irisan ikan
utuh, seperti jatahnya.
Ayah ibunya tak protes lagi sejak tegurannya yang terakhir.
Mereka waktu itu menegur charita, lalu besoknya gadis ini tak memakan
ikannya, jatahnya diberikan pada kucingnya.
Mereka pun mengalah. Selalu membuat jatah yang sama buat Charita dan
kucingnya. Di usia yang masih kecil ketajaman otak dan prinsipnya udah
terasah jelas.
Ia pernah mendapat didikan sekilas dari omanya sampai usia 4 tahun.
Pelajaran yang merasuki otak dini nya.
Bahwa bumi ini punya hati juga.
Ketika kau buang sampah di atasx maka bumi sedih dan menangis. Hujan
sampai banjir akibatx.
Lebih baik tas kecil kita menolong sang bumi yang sudah tua.
Sejak itu charita tak lagi membuang sampah sembarang.
Dan ketika ibunya membereskan mainan dan bukunya dalam tas, di
dalamnya acak2an karena bercampur sampah2 plastik dan bungkus permen.
Rupanya bukan hanya dari buangan charita, setiap sampah yang ia
temukan tergeletak di jalan ia masukkan ke dalam tasnya.
Ibunya pun memoles cerita sang Oma dengan mengatakan kalau tempat
sampah itu seperti celengan.
Semakin banyak sampah yang masuk ke dalam semakin banyak tabungan yang
dikumpulkan buat bapak pemulung.
Maka sampah2 yang Charita kumpulkan sebaiknya diteruskan ke tempat
sampah terdekat. Biar tabungan pak pemulung juga bisa tersenyum.....
Cukup masuk di akalnya.
Esoknya ia meminta ayahnya membelikan tempat sampah depan sekolahnya,
di mobil, di depan rumahnya, di dapur, teras ruang makan, kamar dan
wcnya.
Semua jalur yang selalu dilalui Charita. Ayahnya menyanggupi.
Toh tak ada salahnya.
Ayahnya kini yang baru saja pulang kantor langsung masuk ke kamar
anaknya, memastikan mereka pulang, sehat dan sudah makan.
Ia membopong charita yang tertidur duduk dengan sisir di genggaman
tangannya dan rambut yang menggumpal kemana2 setelah disisir.
Ia meletakkan Charita perlahan2 di tempat tidur sambil membisikkan
ucapan,
Selamat ulang tahun gadis kecilku....
sambil meletakkan kado berisi tempat sampah mungil buat kamarnya,..
Paket terakhir dari hadiah yang ia cicil setiap hari sebelum ulang tahun Charita.
Rangkaian tempat sampah permintaannya.
Satu lagi. Charita tak mau ulang tahunnya dirayakan atau digema2kan
selayaknya teman2nya.
Kata omanya dahulu, ulang tahun itu bukti bahwa usia kita semakin
berkurang, tak usah dirayakan.
Cukup ucap syukur pada yang di Atas, bahwa kita masih diberi hidup.
Dan keesokan harinya omanya masuk rumah sakit dan tak pernah kembali
lagi. Selamanya. Cerita itu terkubur di hatinya mengiringi kepergian
omanya.
Charita tersenyum dalam tidur setelah dicium ayahnya. Bukan kegelian
oleh kumis sang ayah.
Namun dalam mimpinya ia bertemu sang Oma sedang membawakan kado
sebesar tempat sampah di sekolahannya.
Kado itu bergambar Bumi yang tersenyum...
Ayahnya heran menatap ekspresi anaknya yang berubah sedetik...
Karena setelah itu ia kembali cemberut. Rupanya di akhir mimpinya,
Omanya menghampiri,...
mengikat rambutnya...
Fin
30 04 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H