Cukup masuk di akalnya.
Esoknya ia meminta ayahnya membelikan tempat sampah depan sekolahnya,
di mobil, di depan rumahnya, di dapur, teras ruang makan, kamar dan
wcnya.
Semua jalur yang selalu dilalui Charita. Ayahnya menyanggupi.
Toh tak ada salahnya.
Ayahnya kini yang baru saja pulang kantor langsung masuk ke kamar
anaknya, memastikan mereka pulang, sehat dan sudah makan.
Ia membopong charita yang tertidur duduk dengan sisir di genggaman
tangannya dan rambut yang menggumpal kemana2 setelah disisir.
Ia meletakkan Charita perlahan2 di tempat tidur sambil membisikkan
ucapan,
Selamat ulang tahun gadis kecilku....
sambil meletakkan kado berisi tempat sampah mungil buat kamarnya,..
Paket terakhir dari hadiah yang ia cicil setiap hari sebelum ulang tahun Charita.
Rangkaian tempat sampah permintaannya.
Satu lagi. Charita tak mau ulang tahunnya dirayakan atau digema2kan
selayaknya teman2nya.
Kata omanya dahulu, ulang tahun itu bukti bahwa usia kita semakin
berkurang, tak usah dirayakan.
Cukup ucap syukur pada yang di Atas, bahwa kita masih diberi hidup.
Dan keesokan harinya omanya masuk rumah sakit dan tak pernah kembali
lagi. Selamanya. Cerita itu terkubur di hatinya mengiringi kepergian
omanya.
Charita tersenyum dalam tidur setelah dicium ayahnya. Bukan kegelian
oleh kumis sang ayah.
Namun dalam mimpinya ia bertemu sang Oma sedang membawakan kado
sebesar tempat sampah di sekolahannya.
Kado itu bergambar Bumi yang tersenyum...
Ayahnya heran menatap ekspresi anaknya yang berubah sedetik...
Karena setelah itu ia kembali cemberut. Rupanya di akhir mimpinya,
Omanya menghampiri,...
mengikat rambutnya...
Fin
30 04 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H