Mohon tunggu...
Dewina Sugianto
Dewina Sugianto Mohon Tunggu... -

I am the sun. warm, light, burning. I am gold. stand out, precious and always bold. I am a rose. Barbed, hurtful, timelessly beautiful

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"Saya! Saya! Saya!"

10 September 2011   12:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:05 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di usianya yang mulai senja, Ibu saya tampak lelah dan kesepian. Sungguh berbeda dengan impian sebagian besar orang yang menginginkan masa tua yang sejahtera, tenang dan damai.

Ibu saya selalu mengawali ceritanya (yang biasanya akan berdurasi dua sampai tiga hari) dengan kisah "salah memilih suami". Ya, Bapak saya adalah kambing hitam terbesar Ibu. Semua awal keterpurukan beliau adalah akibat kesalahan Bapak. Setidaknya, begitulah menurut Ibu.

Saya telah menjadi pendengar setia keluh kesah Ibu semenjak duduk di Sekolah Dasar.  Bagaimana ia tertipu dengan sosok mahasiswa teladan, tampan, ramah, mandiri dan bergelar Cum Laude. Sepertinya pada zaman Ibu belum menikah dulu, itulah parameter calon suami idaman. Sebagaimana para gadis lain yang mengharapkan hidup makmur dan terhormat hingga akhir hayat, Ibu akhirnya menikah dengan Bapak dengan segudang cita-cita dan impian. Sayangnya, pada akhirnya impian Ibu kandas ke comberan.

Tiga puluh tahun sudah Ibu menikah dengan Bapak. Tujuh belas tahun diantaranya Bapak menganggur dan memaksa Ibu bekerja menafkahi keluarga. Tak ada rasa malu dari diri Bapak kepada kami keluarganya. Terutama kepada Ibu. Manalah Ibu sebelumnya menyangka akan mendapatkan suami macam demikian. Sungguh berbeda dengan citra Bapak sebelum mereka menikah dulu.

Sialnya, saya tidak hanya menjadi penonton. Seringkali saya menjadi bulan-bulanan, sasaran emosi Ibu. Saya tumbuh di lingkungan yang penuh aura negatif. Bapak menganggur dan Ibu yang kerap mencaci maki saya. Tak heran, saya juga tumbuh menjadi orang yang negatif. Lontaran kata-kata kasar seringkali dialamatkan Ibu kepada saya, sehingga belakangan saya tidak bisa membedakan mana hal yang pantas dan yang tidak. Sudah hilang batasan baik dan buruk dalam hidup saya. Seumur hidup saya mendengar Ibu berkeluh kesah, seakan berteriak "Saya! Saya! Saya!". Dampaknya, saya tumbuh dengan pandangan bahwa "Saya" adalah prioritas dalam segala hal. Tak peduli dengan orang lain. Bagaimanapun saya mencoba berempati, alam bawah sadar kembali menarik saya ke zona egosentris.

Dampak "Saya! Saya! Saya!" milik Ibu tidak hanya menyangkut hal kecil. Hal-hal besar di keluarga ini, Ibu lah yang menentukan. Saya dan adik-adik tak pernah belajar mengenai pilihan dan konsekuensi. Kami hanya menjalankan keputusan Ibu. Dibalik jargon "Mother knows the best -Ibu selalu tahu yang terbaik" Ibu saya berlindung. Keputusannya mutlak. Tidak boleh ada yang mengganggu, tidak juga Bapak. Tidak juga yang bersangkutan, siapapun itu.

Pada akhirnya kami anak-anaknya belajar mengenai pilihan dan konsekuensi pada waktu yang agak terlambat. Untuk kasus saya, SANGAT terlambat. Saya memilih menikah, dengan laki-laki yang tidak disukai Ibu. Sungguh menyakitkan kata-kata yang dialamatkan Ibu kepada suami saya. Sebagian benar, sebagian lebay.

Setelah menikah bukan berarti pengaruh Ibu lepas begitu saja. Kekuatan intervensi Ibu kerap kali mengundang badai Katrina dalam rumah tangga kami. Permasalahan yang terakhir membuat saya menangis tiga kali sehari, setiap hari.

Ibu meminta saya kembali ke Jakarta, bekerja menajdi kuli Ibukota. Sialnya, ia mengharuskan saya meninggalkan suami dan anak saya yang saat itu masih berumur dua bulan. Saya dihadapkan pada dilemma. Haruskah saya menuruti (lagi) perintah Ibu saya, menjadi anak yang berbakti dan meninggalkan kewajiban saya sebagai Ibu dan Istri? Atau memilih hidup sederhana bersama suami dan anak saya?

Dalih Ibu, "Kamu disana hidup miskin, serba kekurangan". Ada benarnya.
Suami bilang, "Toh tidak selamanya".
Dalih Ibu, "Kamu disini bisa bekerja. Sudah ada perusahaan yang mau terima kamu. Disana kamu belum dapat pekerjaan". Benar.
Suami bilang, "Kalau mau bekerja, disini juga bisa. Toh saya tidak melarang. Cobalah lamar pekerjaan lagi".

Akhirnya saya mencoba nego dengan Ibu. Minta izin untuk tetap berada di luar Jakarta, toh yang penting saya bekerja. Tanggapan Ibu persis seperti yang saya perkirakan. Cacian, amarah, dan (mungkin) sumpah serapah menghujani lewat telepon genggam saya.

Saya semakin bingung. Benarkah saya durhaka pada Ibu bila saya memilih tetap bersama suami dan anak-anak? Sahabat saya bilang, "Kamu sudah menikah. Secara agama kamu harus mendahulukan suamimu". Saya bertanya lagi pada kawan yang cukup dekat dengan Ibu, beliau bilang "Jika Ibumu menyuruh melakukan hal yang buruk, tak usah diikuti. Menurut saya menelantarkan anak adalah hal yang buruk."

Saya mencoba mendiskusikan lagi dengan Ibu saya. Bagaimanapun Ibu tetap orang tua saya, yang melahirkan dan menafkahi saya sejak kecil. Ibu kembali histeris, dan (katanya) Ibu masuk Rumah Sakit. Saya pun memutuskan untuk pulang, mengikuti kemauan Ibu.

Satu hal yang melekat di pikiran saya adalah ketika suami saya bilang, "Menurut kamu, dengan kamu pulang ke rumah Ibu, apakah Ibu akan berhenti marah? Apakah masalahnya akan selesai? Atau malah semakin menuntut yang tidak-tidak?"

Namun pertanyaan itu tidak menyurutkan niat saya. Saya harus bertemu Ibu. Ibu sakit.

Di Bandara Soekarno Hatta ternyata Ibu sudah menunggu saya. Cerah ceria, senyum selebar wajan nasi goreng. Saya bertanya, "Ibu sakit apa?" Jawab Ibu, "Sakit otak."

Saya tidak tahu apakah saya memilih pilihan yang salah. Belum dua puluh empat jam saya sampai di rumah Ibu, saya menerima kabar buruk. Perusahaan yang menerima saya bermasalah. Saya tidak jadi kerja. Saya kembali melamar pekerjaan di Jakarta, sampai sekarang belum ada yang terima. Panggilan interview pun belum satupun nyasar ke nomor kontak saya.

Saya tidak begitu mempermasalahkan urusan kerja itu. Alhamdulillah suami masih menunaikan kewajibannya menafkahi istrinya yang bandel ini meskipun saya memilih mendahulukan Ibu saya. Hal yang paling mengganggu saya adalah, saya rindu putra saya. Si kecil yang saya tinggalkan sembilan ratus kilometer dari Jakarta. Setiap malam si kecil menghantui saya dalam mimpi. Hampir setiap pagi saya terbangun dengan menangis.

Ironisnya hal itu tak sedikitpun menggoyahkan Ibu. Beliau masih berkeras agar saya tetap disini. Beliau juga masih berkeras tidak mau menerima kehadiran putra saya di Jakarta.

Apa yang dilontarkan Ibu masih seputar "Saya! Saya! Saya!". Setiap hari berkeluh mengenai Bapak yang kembali menganggur, adik yang masih sekolah, dan juga tentang saya yang kini hanya menambah daftar beban belanja bulanan. Lucunya, ketika bersama saya Ibu berkeluh mengenai Bapak. Ketika bersama Bapak, Ibu berkeluh mengenai saya. Seperti manusia dengan dua muka. Banyak muka. Namun mengenai hal itu, saya tak banyak ambil pusing. Hanya saja saya mengamati, di masa tuanya Ibu tak punya teman. Dengan saya tak selalu akur, dengan adik Ibu tak akrab, dengan Bapak... Kapan Bapak bisa diandalkan? Bapak hanya menurut pada Ibu agar tak ikutan jadi sasaran.

Kini setiap hari saya kembali mendengar "Saya! Saya! Saya!". Rasanya seperti kembali muda. Puluhan tahun saya hidup bersama Ibu, ternyata tak ada yang berubah. Suaranya tetap "Saya! Saya! Saya!".

Bedanya, sebelum menikah dulu saya kerap mendengarkan setiap keluh kesah Ibu, kini saya membalikkan badan. Menutup telinga dari suaranya. Ibu tak peduli bagaimana saya rindu buah hati saya, betapa saya ingin kembali ke rumah kecil kami di desa, dimana kami bisa berkumpul tertawa bertiga. Ibu tak peduli pada saya, saya pun tak lagi peduli dengan Ibu. Maaf, namun kali ini giliran saya berteriak "Saya! Saya! Saya!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun