Mohon tunggu...
Dewina Sugianto
Dewina Sugianto Mohon Tunggu... -

I am the sun. warm, light, burning. I am gold. stand out, precious and always bold. I am a rose. Barbed, hurtful, timelessly beautiful

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"Saya! Saya! Saya!"

10 September 2011   12:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:05 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya semakin bingung. Benarkah saya durhaka pada Ibu bila saya memilih tetap bersama suami dan anak-anak? Sahabat saya bilang, "Kamu sudah menikah. Secara agama kamu harus mendahulukan suamimu". Saya bertanya lagi pada kawan yang cukup dekat dengan Ibu, beliau bilang "Jika Ibumu menyuruh melakukan hal yang buruk, tak usah diikuti. Menurut saya menelantarkan anak adalah hal yang buruk."

Saya mencoba mendiskusikan lagi dengan Ibu saya. Bagaimanapun Ibu tetap orang tua saya, yang melahirkan dan menafkahi saya sejak kecil. Ibu kembali histeris, dan (katanya) Ibu masuk Rumah Sakit. Saya pun memutuskan untuk pulang, mengikuti kemauan Ibu.

Satu hal yang melekat di pikiran saya adalah ketika suami saya bilang, "Menurut kamu, dengan kamu pulang ke rumah Ibu, apakah Ibu akan berhenti marah? Apakah masalahnya akan selesai? Atau malah semakin menuntut yang tidak-tidak?"

Namun pertanyaan itu tidak menyurutkan niat saya. Saya harus bertemu Ibu. Ibu sakit.

Di Bandara Soekarno Hatta ternyata Ibu sudah menunggu saya. Cerah ceria, senyum selebar wajan nasi goreng. Saya bertanya, "Ibu sakit apa?" Jawab Ibu, "Sakit otak."

Saya tidak tahu apakah saya memilih pilihan yang salah. Belum dua puluh empat jam saya sampai di rumah Ibu, saya menerima kabar buruk. Perusahaan yang menerima saya bermasalah. Saya tidak jadi kerja. Saya kembali melamar pekerjaan di Jakarta, sampai sekarang belum ada yang terima. Panggilan interview pun belum satupun nyasar ke nomor kontak saya.

Saya tidak begitu mempermasalahkan urusan kerja itu. Alhamdulillah suami masih menunaikan kewajibannya menafkahi istrinya yang bandel ini meskipun saya memilih mendahulukan Ibu saya. Hal yang paling mengganggu saya adalah, saya rindu putra saya. Si kecil yang saya tinggalkan sembilan ratus kilometer dari Jakarta. Setiap malam si kecil menghantui saya dalam mimpi. Hampir setiap pagi saya terbangun dengan menangis.

Ironisnya hal itu tak sedikitpun menggoyahkan Ibu. Beliau masih berkeras agar saya tetap disini. Beliau juga masih berkeras tidak mau menerima kehadiran putra saya di Jakarta.

Apa yang dilontarkan Ibu masih seputar "Saya! Saya! Saya!". Setiap hari berkeluh mengenai Bapak yang kembali menganggur, adik yang masih sekolah, dan juga tentang saya yang kini hanya menambah daftar beban belanja bulanan. Lucunya, ketika bersama saya Ibu berkeluh mengenai Bapak. Ketika bersama Bapak, Ibu berkeluh mengenai saya. Seperti manusia dengan dua muka. Banyak muka. Namun mengenai hal itu, saya tak banyak ambil pusing. Hanya saja saya mengamati, di masa tuanya Ibu tak punya teman. Dengan saya tak selalu akur, dengan adik Ibu tak akrab, dengan Bapak... Kapan Bapak bisa diandalkan? Bapak hanya menurut pada Ibu agar tak ikutan jadi sasaran.

Kini setiap hari saya kembali mendengar "Saya! Saya! Saya!". Rasanya seperti kembali muda. Puluhan tahun saya hidup bersama Ibu, ternyata tak ada yang berubah. Suaranya tetap "Saya! Saya! Saya!".

Bedanya, sebelum menikah dulu saya kerap mendengarkan setiap keluh kesah Ibu, kini saya membalikkan badan. Menutup telinga dari suaranya. Ibu tak peduli bagaimana saya rindu buah hati saya, betapa saya ingin kembali ke rumah kecil kami di desa, dimana kami bisa berkumpul tertawa bertiga. Ibu tak peduli pada saya, saya pun tak lagi peduli dengan Ibu. Maaf, namun kali ini giliran saya berteriak "Saya! Saya! Saya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun