Mohon tunggu...
Astin Soekanto
Astin Soekanto Mohon Tunggu... -

pecinta travel. museum. seni. sejarah. adat. ritual. budaya. etnik. tradisional. indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ragam Budaya di Tanah Seribu Kampung, Sumba, NTT

23 Desember 2014   12:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasola merupakan perayaan atau tradisi yang diselenggarakan hanya setahun sekali saja. Biasanya di bulan Februari atau Maret, yaitu pada awal musim tanam. Para peserta Pasola harus memiliki dua kemampuan dasar, yaitu menunggang kuda dalam kecepatan penuh tanpa menggunakan pelana dan dalam waktu yang sama mereka harus bisa melempar tombak ke arah lawan mereka. Warga di sini masih meyakini, semakin banyak darah yang keluar dari para penunggang kuda saat upacara berlangsung, maka akan semakin melimpah hasil panen. Mereka meyakini, percikan darah itu mempunyai kekuatan magis menyuburkan hasil tanam nantinya.

Begitu kaki ini menjejakkan diri di Kampung Adat Rategaro, saya kembali dibuat takjub dengan keindahan dan keunikan rumah adat di sini. Rumah-rumah adat itu memang mirip-mirip dengan rumah adat yang ada di Kampung Tarung tadi. Bedanya, atap rumah di Rategaro lebih tinggi menjulang dan warnanya lebih terang. Saat berada di sana, beberapa penduduk sedang melakukan berbagai kesibukan untuk kelancaran acara Pasola.

Matahari mulai berada di tengah, acara Pasola belum juga dimulai. Akhirnya, kami memutuskan untuk menikmati pantai yang lokasinya tidak jauh dari kampung adat. Sebenarnya, pantai Rategaro lumayan cantik lho! Pasirnya putih, airnya biru, dan batu karang di sana-sini. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Dan dari posisi pantai itu, kita bisa melihat atap rumah merah bata yang menjulang tinggi dari perkampungan adat Ratenggaro. Sejumlah kuburan batu peninggalan zaman megalitikum juga melengkapi keindahan pantai tersebut.

Selang beberapa saat, terdengar tanda bahwa acara Pasola sudah dimulai. Kamipun segera bergegas ke sebuah lapangan yang berada di samping kampung adat, tempat diselenggarakannya Pasola. Sampai di sana, banyak kendaraan yang sudah memenuhi arena parkir, dan lapangan sudah dipenuhi manusia. Sebagian warga setempat, sebagian awak media TV serta perlengkapannya, dan ada juga personil dari kepolisian. Menurut cerita Kak Andy yang juga anggota polisi, tidak jarang terjadi perkelahian dalam acara Pasola. Ngeri juga ya? Makanya, dia berpesan, nanti kalau kondisi dan situasi di acara itu tampak mengkuatirkan, sebaiknya kita segera menjauh saja. Sayapun mengiyakan pesan itu.

Saat acara berlangsung, saya menyaksikan dengan penuh antusias. Saya ketawa-ketawa sendiri saat melihat beberapa yang mengeluarkan nyanyian dalam bahasa adat mereka sambil menari-nari dengan unik. Gerakan itu reflek mereka lakukan saat penunggang kuda dari pihak lawan terjatuh terkena tombak. Saking antusiasnya, kadang sampai tidak sadar kalau saya sudah terlalu dekat dengan ‘area perang.’ Mas Andy sampai berkali-kali mengingatkan agar saya tidak terlalu dekat. Habis gimana ya? Kalau terlalu jauh, tombak yang saling dilemparkan itu tidak begitu kelihatan sih.. Apalagi kalau ada orang yang berdiri di depan saya. Wah… tapi ya daripada saya yang kena tombak, memang lebih baik saya agak mundur dikit. Dikiiit saja sih.. Hehehe…

Meskipun saya masih penasaran dan antusias, kami tak sampai selesai menyaksikan acara Pasola, mengingat saat itu sempat terjadi keributan. Menurut informasi, ada pihak yang merasa dicurangi dan gak terima. Neng nong! Bel tanda bahaya seolah berbunyi. Mempertimbangkan efek buruknya, mas Andy memaksa kami untuk segera pergi dari area itu.

Kampung adat Prailiu merupakan lokasi terakhir yang akan kami kunjungi. Mengingat lokasinya di Sumba Timur, sementara saat itu posisi kami di Sumba Barat, maka kami memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali. Butuh waktu sekitar 5-6 jam. Tapi jangan salah, tak sedikitpun saya merasa bosan selama dalam perjalanan. Selama dalam perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang begitu mempesona, hutan yang masih perawan, dinding tebing yang putih, danau yang biru, serta padang savannah yang hijau. Sesekali kami berhenti untuk mencoba menikmati semua pesona itu.

1419286582215810279
1419286582215810279

Setelah melewati Tugu Waingapu yang merupakan perbatasan antara Sumba Tengah dengan Sumba Timur, kamipun sampai di Kampung Adat Prailiu. Dulunya, kampung ini merupakan ibukota Kerajaan Lewa Kambera. Kami langsung menuju ke rumah kediaman Mama Rambu yang menyambut dengan ramah. Beliau adalah isteri almarhum Tamu Umbu Jaka, keturunan ketujuh dari Kerajaan Lewa Kambera.

Memasuki Kampung Adat Prailiu, kita akan menyaksikan pemandangan kain-kain tenun yang indah yang dipajang di depan rumah warga. Sama seperti kampung adat=-kampung Sumba lainnya, di Prailiu kita juga akan menjumpai banyak sekali kubur batu tua.

Berbeda dengan rumah adat di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, rumah adat di Sumba Timur (dan Sumba Tengah), atapnya tidak terbuat dari alang-alang melainkan terbuat dari seng. Menurut penjelasan Mama Rambu, hal itu disebabkan karena wilayah mereka pernah terserang virus belalang yang memakan alang-alang atap rumah, sementara sangat sulit mencari alang-alang di wilayah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun