Burung-burung sudah mengumandangkan Dzen─panggilan untuk membuat orang-orang melangkahkan kaki, menghindari berdiam diri. Kami kebingungan karena kami belum benar-benar menemukan ranting-ranting kering dan pemain suling. Tapi, karena Pakso sudah memerintahkan untuk berkumpul di gurun Syaikh, maka kami membawa apa saja yang kami temukan dan mengajak siapa saja yang kami temui.
Beberapa di antara kami membawa rumput dan mengajak penggembala. Beberapa lagi membawa daun-daun gugur dan mengajak penjaga taman. Beberapa lagi membawa sesuatu yang entah apa dan mengajak seseorang yang entah siapa.
Dalam hitungan sekedip surya, kami sampai di gurun Syaikh. Gurun Syaikh tak mempunyai batas, gurun Syaikh tak mempunyai atap. Kami membuat lingkaran seluas kehidupan. Segala yang kami bawa kami tumpukkan di tengah lingkaran kami dan semua orang yang kami ajak sudah bersiap dengan suling─yang akan mereka tiup nanti. Kami bersiap-siap menghadapi malam gulita.
“Hai. Bersiaplah untuk menghadapi malam gulita. Ketika gelap perlahan-lahan merayap dari dalam tanah, lemparkanlah api ke dalam tumpukan di tengah itu. Biar nyala api tetap menjaga bentuk kita. Dan berkelilinglah, hai para pemain suling, buat telinga malam gulita itu pecah dan akhirnya mati!” Kata Pakso. Wajahnya merah-padam.
5
Upacara unggun.
Ning!
Sepi meraja. Tanah bergetar dan perlahan-lahan meretak. Dari retakan tanah yang berkelok, kegelapan muncrat. Kami bersiap-siap untuk melemparkan api ke tumpukkan di tengah lingkaran. Para pemain suling sudah menarik nafas panjang─nafas sealam raya. Ada ketakutan yang membuat kaki kami bergetar dan seolah-olah loncer.
Kegelapan yang munrat dari retakan tanah dengan cepat berpencar memenuhi udara. Sebelum sempurna, kami dengan cepat pula melemparkan api ke tumpukkan di tengah lingkaran dan para pemain suling meniupkan sulingnya sambil berkeliling di sekitar kami. Kian lama kami kian sesak dan lemas. Kegelapan itu kian dahsyat: malam gulita datang!
“Lawanlah!” Pakso berteriak. Suaranya parau.
6
Dapatkah kau membayangkan keadaan ini, kawan? Kegelapan telah menelan sebagian bentuk tubuh dan api unggun kami, bahkan tanah yang kami pijak. Dada kami seperti ditekan dan udara di dalamnya seolah membeku. Dengan kekuatan yang tersisa, kami terus melemparkan api dari tangan kami. O, mengapakah malam gulita begitu kuat dan kami begitu lemah untuk melawannya?
Kurdhwa berdiri di samping Pakso. Sebagian tubuhnya, dari kaki hingga pinggang, telah hilang dan mulutnya bergerak pelan. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Dan akhirnya, dengan menarik nafas panjang terlebih dulu, Dia mencoba berteriak.
“Saling taring! Adhwa, gigitlah jari Sadhwa dan dada Nahdwa: hisap darah mereka dan semburkanlah ke api unggun itu!” Kurdhwa berhasil meneriakkannya. Namun, tubuhnya yang tinggal sebagian perlahan-lahan mencair. O, Kurdhwa ditelan gelap malam gulita.
Lalu Adhwa dengan cepat menghampiri Sadhwa dan Nahdwa: melakukan apa yang diperintahkan Kurdhwa. Setelah mulutnya dipenuhi darah, Dia berlari ke tengah lingkaran dan menyemburkan darah di mulutnya. Kemudian api unggun bergelora dan memberikan cahaya penuh ke gurun Syaikh. Kami dapat melihat lagi bentuk segala.
“Kalian tak akan pernah dapat membunuhku. Aku akan tetap hidup dan datang kepada kalian, selama ruang di dalam dunia ini masih terbuka: waktu!” Ada suara yang menggema. Kami meyakini itu adalah Nohsa─hati sang malam gulita.
“Pergilah kau, malam gulita!” Kata Pakso.
“DIAM!” Aku berteriak. Seketika segalanya diam; orang-orang tak berkata apa-apa, malam gulita diam dan kegelapannya hanya menggenang: berhenti memakan bentuk-bentuk.
“Malam gulita henti memakan bentuk. Unggun usah berniat jahat pula: membunuh malam gulita!” Kata-kata itu keluar dari mulutku.
Namun, sungguh, bukan aku yang menginginkan untuk mengatakannya!(#)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H