Mohon tunggu...
Na Lesmana
Na Lesmana Mohon Tunggu... -

Bocah Penghafal Nama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Belajar Menulis Cerpen

7 Juli 2011   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310027305160803843

Pada saat saya 'duduk' di kelas 1 SMK, saya mulai intens menulis puisi dan prosa. Maksud saya, lebih sering dari sebelumnya. Saya belajar dari banyak teman tentang bagaimana cara menulis yang baik, lebih jauh lagi belajar menilai mana tulisan-tulisan yang baik untuk saya baca. Salahsatu prosa yang pernah saya buat pada masa itu adalah cerpen yang saya publish kali ini. Dengan segala kekurangan yang ada, saya ucapkan  selamat menikmati!

UNGGUN

Oleh: NA LESMANA

Senja telah pulang ke pangkuan Tuhan. Dan kini, Tuhan mengirim malam kepada kamimalam tanpa bulan dan bintang: malam gulita. Malam seperti ini sudah biasa kami dapati, sehingga ketika benda-benda kehilangan bentuk (termasuk tubuh kami), keadaan samasekali tak menegangkan. Kami menyadari bahwa malam seperti ini akan menelan segala sesuatu yang sebelumnya bergantung pada sang suryapada cahayanya. Selama berabad-abad kami hanya bisa pasrah. Kami biarkan malam gulita itu datang dan pergi, dikirim dan dipulangkan lagi. Namun, lama-kelamaan hal ini membuat kami gusar. Kami merasa Tuhan mempermainkan kami. Dan sekarang, kami perlahan-lahan membuat perlawanan. Kami akan menciptakan cahaya untuk menampakkan lagi bentuk dari segala, membuat perhitungan dengan malam gulita yang kurang-ajar itu.

1

Pagi ini, setelah direncanakan, kami berkumpul di dalam hutan pinus. Kami membuat lingkaran yang mengurung seekor harimausebagai simbol keberanian kami. Saat ini, kami sama-sama memikirkan cara untuk melawan malam gulita yang nanti akan datang lagi. Beberapa usulan mengemuka bersama udara yang menggenang di sekitar kami. Ada getar dari dalam hati kami: kemarahan yang menggoyahkan tiang-tiang gedung yang entah apa. Kami akan melahirkan hening untuk memperoleh jawaban. Dengan duduk bersila, kami menyerap kekuatan yang berhembus dari batang-batang pinus, cahaya sang surya dan suara burung camar.Ada semacam perintah terdengar dari dalam tanah: “Ranting-ranting kering. Keliling suling. Hoi, saling taring!” Seketika, kami berdiri dan memandangi tanah yang kian lama kian menghijau.

“Apa?” Tanya Paksokepala peradabankepada semuanya.

“Apa?” Semuanya malah balik bertanya.

“Hoi! Aku tahu!” Seorang bocah tiba-tiba berteriak. Dia melangkah ke tengah-tengah lingkaran, mencium mulut harimau. “UPACARA!” Katanya dengan wajah yang serius.

“Upacara?” Pakso memperhatikan bocah itu benar-benar.

“Ya, upacara. UPACARA UNGGUN!” Bocah itu menarik nafas, “Membakar ranting-ranting kering, berkelilinglah para pemain suling dan Hehehe, kita akan saling menggigit dengan taring!”

Mekarlah hening. Kami berpencar ke segala penjuru dunia; mencari ranting-ranting kering, menemui para pemain suling. “Kembalilah ketika surya diambang tenggelam!” Kata Pakso.

2

Kami mengikuti arah angin kami masing-masing. Adhwaseorang penyairpergi keluar-masuk gua. Dia mencari ranting-ranting kering di dalam gua, tapi yang ada hanya lumut di tubuh batu. Dia mencari-cari pemain suling di desa di dekat gua, tapi yang ada hanya penari bertubuh sintal.Ah, Adhwa mengeluh. Dia berhenti mencari dan berharap apa yang dicarinya datang sendiri.

Sadhwaseorang pengkhutbahpergi ke hutan-hutan lain di negeri utara. Dia mencari ranting yang benar-benar kering, tapi dia begitu sulit merasa yakin pada ranting yang ada. Sekali dia pernah merasa yakin, sehingga merasa pantas beristirahat dan menikmati bahwa dia sedang di utaradi atas selatan, timur dan barat. Dan seketika itulah, ranting-ranting yang dia yakini benar-benar kering menghilang. Duh, Sadhwa menangis. Tiba-tiba telinganya mendengar suara suling. Dia mencari-cari sumbernyasi pemain sulingtapi dia sama sekali tak menemukannya. Dia malah memanjat sebuah pohon dan berteriak dari atas: “Hei, aku di utara!”

Nahdwaseorang gadispergi ke banyak air terjun. Dia yakin akan menemukan ranting kering di sekitar air terjun, tapi keyakinannya benar-benar sesat, dia samasekali tak menemukan ranting; boro-boro yang kering, yang basah pun tak ada. Nahdwa mencoba mencari suara suling, tapi suara air terjun yang menampar batu lebih menguasai telinganya, bahkan hatinya. Nahdwa benar-benar berada pada kegamangan.

Beberapa orang pergi ke negeri sahara, negeri kanguru, negeri paman, negeri menara dan negeri-negeri lainnya. Tapi, seperti Adhwa, Sadhwa dan Nahdwa, mereka pun kesulitan untuk mencari ranting-ranting kering dan pemain suling. Kami mulai khawatir, surya perlahan-lahan bergeser dari garis tengahnya.

3

“Kita belum menemukan ranting-ranting kering dan pemain suling untuk upacara unggun itu. Bagaimana ini, Kurdhwa?” Pakso bertanya kepada Kurdhwabocah yang tadi memberikan jawaban. Mereka berdua sedang berada di atas bukit, di dekat bunga edelwish yang bosan hidup abadi.

“Hehehe, Pakso. Perintahkan mereka untuk pulang dan berkumpul di gurun Syaikh. Upacara mesti dimulai. Kita akan melawan malam gulita dengan kekuatan yang ada.” Jawab Kurdhwa, sambil mengemut Losa (semacam permen), “Biarkan mereka membawa apa dan siapa yang mereka temukan ketika burung-burung mengumandangkan Dzen.”

“Baiklah, Kurdhwa.” Pakso menurut saja. Setelah mengamati dengan benar-benar, Pakso meyakini bahwa Kurdhwa adalah seoarang bocah ajaib titisan alam. Karena itulah, Pakso mempercayai semua yang dikatakan Kurdhwa.

“Hai. Kalau sampai burung-burung mengumandangkan panggilan suci, kita belum benar-benar menemukan apa yang kita cari, berkumpullah di gurun Syaikh. Kita akan memulai upacara unggun dan melawan malam gulita dengan kekuatan yang ada.” Kata Pakso dari bukit. Suaranya menggema ke seluruh dunia. Semua orang mendengarnya.

4

Mari menuju bukit angkasa!

Mari menuju kemeriahannya!”

Burung-burung sudah mengumandangkan Dzenpanggilan untuk membuat orang-orang melangkahkan kaki, menghindari berdiam diri. Kami kebingungan karena kami belum benar-benar menemukan ranting-ranting kering dan pemain suling. Tapi, karena Pakso sudah memerintahkan untuk berkumpul di gurun Syaikh, maka kami membawa apa saja yang kami temukan dan mengajak siapa saja yang kami temui.

Beberapa di antara kami membawa rumput dan mengajak penggembala. Beberapa lagi membawa daun-daun gugur dan mengajak penjaga taman. Beberapa lagi membawa sesuatu yang entah apa dan mengajak seseorang yang entah siapa.

Dalam hitungan sekedip surya, kami sampai di gurun Syaikh. Gurun Syaikh tak mempunyai batas, gurun Syaikh tak mempunyai atap. Kami membuat lingkaran seluas kehidupan. Segala yang kami bawa kami tumpukkan di tengah lingkaran kami dan semua orang yang kami ajak sudah bersiap dengan sulingyang akan mereka tiup nanti. Kami bersiap-siap menghadapi malam gulita.

“Hai. Bersiaplah untuk menghadapi malam gulita. Ketika gelap perlahan-lahan merayap dari dalam tanah, lemparkanlah api ke dalam tumpukan di tengah itu. Biar nyala api tetap menjaga bentuk kita. Dan berkelilinglah, hai para pemain suling, buat telinga malam gulita itu pecah dan akhirnya mati!” Kata Pakso. Wajahnya merah-padam.

5

Upacara unggun.

Ning!

Sepi meraja. Tanah bergetar dan perlahan-lahan meretak. Dari retakan tanah yang berkelok, kegelapan muncrat. Kami bersiap-siap untuk melemparkan api ke tumpukkan di tengah lingkaran. Para pemain suling sudah menarik nafas panjangnafas sealam raya. Ada ketakutan yang membuat kaki kami bergetar dan seolah-olah loncer.

Kegelapan yang munrat dari retakan tanah dengan cepat berpencar memenuhi udara. Sebelum sempurna, kami dengan cepat pula melemparkan api ke tumpukkan di tengah lingkaran dan para pemain suling meniupkan sulingnya sambil berkeliling di sekitar kami. Kian lama kami kian sesak dan lemas. Kegelapan itu kian dahsyat: malam gulita datang!

“Lawanlah!” Pakso berteriak. Suaranya parau.

6

Dapatkah kau membayangkan keadaan ini, kawan? Kegelapan telah menelan sebagian bentuk tubuh dan api unggun kami, bahkan tanah yang kami pijak. Dada kami seperti ditekan dan udara di dalamnya seolah membeku. Dengan kekuatan yang tersisa, kami terus melemparkan api dari tangan kami. O, mengapakah malam gulita begitu kuat dan kami begitu lemah untuk melawannya?

Kurdhwa berdiri di samping Pakso. Sebagian tubuhnya, dari kaki hingga pinggang, telah hilang dan mulutnya bergerak pelan. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Dan akhirnya, dengan menarik nafas panjang terlebih dulu, Dia mencoba berteriak.

“Saling taring! Adhwa, gigitlah jari Sadhwa dan dada Nahdwa: hisap darah mereka dan semburkanlah ke api unggun itu!” Kurdhwa berhasil meneriakkannya. Namun, tubuhnya yang tinggal sebagian perlahan-lahan mencair. O, Kurdhwa ditelan gelap malam gulita.

Lalu Adhwa dengan cepat menghampiri Sadhwa dan Nahdwa: melakukan apa yang diperintahkan Kurdhwa. Setelah mulutnya dipenuhi darah, Dia berlari ke tengah lingkaran dan menyemburkan darah di mulutnya. Kemudian api unggun bergelora dan memberikan cahaya penuh ke gurun Syaikh. Kami dapat melihat lagi bentuk segala.

Kalian tak akan pernah dapat membunuhku. Aku akan tetap hidup dan datang kepada kalian, selama ruang di dalam dunia ini masih terbuka: waktu!” Ada suara yang menggema. Kami meyakini itu adalah Nohsahati sang malam gulita.

“Pergilah kau, malam gulita!” Kata Pakso.

“DIAM!” Aku berteriak. Seketika segalanya diam; orang-orang tak berkata apa-apa, malam gulita diam dan kegelapannya hanya menggenang: berhenti memakan bentuk-bentuk.

“Malam gulita henti memakan bentuk. Unggun usah berniat jahat pula: membunuh malam gulita!” Kata-kata itu keluar dari mulutku.

Namun, sungguh, bukan aku yang menginginkan untuk mengatakannya!(#)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun