AN merasa sedih dan kecewa ketika ekskul yang ingin diikuti tidak didukung oleh sekolah. "Jadi saya susah untuk berkembang," ujar AN. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan fasilitas atau dukungan lingkungan dapat menghambat perkembangan diri remaja.
Salah satu hambatan terbesar AN adalah kecanduan bermain game online. "Saya banyak bermain game online dan kecanduan. Itu mengakibatkan pelajaran saya tertunda," jelasnya. Kebiasaan ini menjadi faktor internal yang menghambat pencapaian akademik dan membentuk konsep diri negatif.
AN sering merasa ragu untuk menjawab pertanyaan di kelas karena merasa teman-temannya lebih pintar. "Jadinya saya ragu untuk menjawab," katanya. Rasa ragu ini merupakan manifestasi dari kurangnya kepercayaan diri, yang sering terjadi pada remaja.
AN mengaku sering merasa jenuh saat belajar, terutama ketika suasana hati buruk atau ada masalah keluarga. "Perasaan itu saat dibawa ke sekolah jadi jenuh dan tidak semangat belajar," ungkapnya. Faktor emosional dan lingkungan keluarga ini dapat memengaruhi motivasi belajar remaja.
Wawancara dengan AN menggambarkan bagaimana konsep diri positif dan negatif saling memengaruhi perkembangan remaja. Konsep diri positif, seperti kepercayaan diri, motivasi, dan strategi untuk mengatasi kekurangan, membantu AN menghadapi tantangan di sekolah. Namun, konsep diri negatif, seperti perasaan tidak mampu, kecanduan gadget, dan masalah emosional, juga menjadi hambatan yang perlu diatasi.
Menurut teori Hurlock, peran lingkungan, baik keluarga, sekolah, maupun teman sebaya, sangat penting dalam membentuk konsep diri remaja. Dukungan yang konsisten, metode pengajaran yang menarik, serta pengelolaan emosi yang baik dapat membantu remaja mengembangkan konsep diri yang lebih positif. Dengan memahami faktor-faktor ini, kita dapat membantu remaja seperti AN untuk mencapai potensi terbaiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H