Najwa Sahara Ramadhan
Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Email: najwasraaaa@gmail.com
Adat dan tradisi adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena mencerminkan norma, nilai, dan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam banyak komunitas, adat tidak hanya menjadi simbol identitas budaya, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman sosial untuk mengatur perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, adat memiliki peran yang signifikan karena sering kali berinteraksi dengan dan memengaruhi pelaksanaan syariat di masyarakat. Prinsip fiqh "al- 'adah muhakkamah" yang berarti "adat kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum" menunjukkan bahwa hukum Islam memberikan ruang untuk mengadopsi adat selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.
Sebagai sistem hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, hukum Islam memiliki fleksibilitas dalam penerapannya. Fleksibilitas ini memungkinkan hukum Islam untuk beradaptasi dengan berbagai konteks budaya yang beragam. Di Indonesia, pengaruh adat istiadat terhadap penerapan hukum Islam sangat kuat, mengingat negara ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Hal ini membuat hukum Islam di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang sering dipengaruhi oleh tradisi lokal masyarakat.
Dalam era globalisasi, pengaruh budaya luar juga menjadi tantangan baru dalam menjaga integrasi antara adat dan hukum Islam. Masyarakat lokal tidak hanya berhadapan dengan pengaruh adat mereka sendiri tetapi juga dengan nilai-nilai global yang mungkin bertentangan dengan tradisi dan hukum Islam. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang strategis untuk menjaga keaslian adat sekaligus mempertahankan relevansi hukum Islam.
Hukum adat sebagai hokum yang asli yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sangat mempengaruhi proses berlakunya hukum di Indonesia, dan hukum adat ini sangat beragam di Indonesia. Sehingga, dalam penerapan secara umum akan menghadapi kendala tetapi cukup efsien untuk masyarakat setempat yang memberlakukannya. Bahkan, apabila di kalkulasikan, lebih banyak masyarakat yang patuh dan tunduk pada hukum adat daripada hukum negara. Cornelis van Vollenhoven sebagai ahli pertama yang menggagas pembagian hukum adat, mengklasifkasikan 23 lingkungan adat di Nusantara yakni: Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/ Makassar), Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa Mataraman, dan Jawa Barat (Sunda). Sementara itu, menurut Gerzt orang Amerika menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki 350 budaya, 250 bahasa dan seluruh keyakinan dan Agama di dunia ada di Indonesia (Zaka, 2019)
Hukum Islam juga mempengaruhi corak hukum di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia menganut agama Islam yang memungkinkan hukum Islam menjadi bagian yang pentng dan berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Adanya peraturan perundang- undangan yang bernafaskan Syariah Islam sepert dalam UU enyelengaraan Haji, UU Â Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) telah cukup membuktkan bahwa negara Indonesia tidak melepaskan tanggung jawab urusan beragama dengan urusan negara/ pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia dipengaruhi oleh warna hukum kontnental, hukum adat dan hukum Islam yang pada kenyataannya masing-masing mempunyai pengaruh yang besar dalam system hukum di Indonesia.
Pengaruh Hukum Adat Terhadap Pernikahan
Intervensi hukum adat dalam praktik hukum Islam dapat memiliki beberapa implikasi, yaitu: pertama, pengaruh dalam penyelesaian sengketa. Intervensi hukum adat Minangkabau dapat mempengaruhi cara penyelesaian sengketa dalam konteks hukum Islam. Masyarakat Minangkabau cenderung menggunakan mekanisme adat dalam menyelesaikan konflik dan mencari keadilan (Zaka, 2019)
Praktik-praktik penyelesaian sengketa berbasis hukum adat seperti musyawarah, mediasi, atau pengadilan adat dapat diintegrasikan dengan prinsip-prinsip hukum Islam untuk mencapai penyelesaian yang adil dan sesuai dengan nilai nilai Islam. Kedua, pengaruh dalam hukum keluarga. Hukum adat juga memiliki pengaruh dalam praktik hukum keluarga dalam Islam. Misalnya, dalam perkawinan, hukum adat Minangkabau mengatur tata cara pernikahan, pembagian harta, dan hak dan kewajiban suami istri. Praktik-praktik ini dapat disesuaikan dengan prinsip prinsip hukum Islam seperti ketentuan mahar, nafkah, hak waris, dan hak-hak keluarga lainnya (Sidiq, Endri, 2023)
Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus dilakukan. Dalam Undang- Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan. Sebab, pernikahan akan menyebabkan manusia mempunyai keturunan. Pernikahan atau perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki--laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai keluarga yang sah untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah ridha Allah SWT.
Hal ini sudah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur'an: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui." (QS. Al Nuur/24: 32). Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasul-Nya bernilai ibadah yaitu membina keluarga sejahtera yang mendatangkan kemaslahatan bagi para pelaku perkawinan, anak keturunan juga kerabat. Perkawinan sebagai suatu ikatan yang kokoh, dituntut untuk membuat kemaslahatan bagi masyarakat juga bangsa pada umumnya (Aisyah, 2020)
Sistem pernikahan dalam Islam adalah proses ikatan suci antara laki-laki dan perempuan berdasarkan syariat dengan tujuan membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Berikut poin-poin singkatnya:
Rukun Nikah:
- Calon suami dan calon istri yang memenuhi syarat (Muslim, baligh, berakal, dan tanpa halangan syar'i).
- Wali nikah bagi mempelai perempuan.
- Dua saksi yang adil.
- Ijab dan kabul, yaitu pernyataan wali dan persetujuan mempelai pria.
- Mahar (mas kawin) yang diberikan oleh suami kepada istri.
Tujuan Pernikahan:
- Memenuhi fitrah manusia.
- Mencegah perbuatan zina.
- Membangun keluarga harmonis sesuai ajaran Islam.
- Melanjutkan keturunan yang bertakwa.
Syarat Pernikahan:
- Pernikahan harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak.
- Tidak boleh ada hubungan darah yang dilarang (mahram).
- Memenuhi syarat dan rukun pernikahan sesuai syariat
Hukum adat sangat memengaruhi pernikahan dalam aspek hukum, sosial, budaya, dan spiritual. Meskipun beberapa tradisi adat mungkin mengalami perubahan karena modernisasi dan hukum nasional, pengaruhnya tetap kuat dalam membentuk struktur dan nilai-nilai pernikahan di masyarakat adat. Berikut adalah beberapa pengaruh hokum adat terhadap pernikahan:
- Ketentuan dan tata cara perkawinan
Pernikahan adat sering kali mensyaratkan restu dari orang tua atau keluarga besar. Tanpa restu, pernikahan dianggap tidak sah secara adat. Proses pernikahan adat biasanya terdiri dari beberapa tahapan, seperti lamaran, pemberian mahar adat (belis, mas kawin), hingga upacara resepsi yang melibatkan ritual tertentu sesuai tradisi. Beberapa adat memiliki ketentuan khusus tentang kapan dan di mana pernikahan dapat dilangsungkan, misalnya waktu yang dianggap baik menurut kepercayaan lokal.
- Pembayaran Mahar
Dalam banyak masyarakat adat, mahar atau belis menjadi syarat utama pernikahan. Mahar ini tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga simbolis. Contoh: Di Nusa Tenggara Timur, belis berupa hewan ternak menjadi simbol penghormatanÂ
kepada keluarga mempelai perempuan. Besarnya mahar dapat mencerminkan status sosial mempelai pria dan keluarga.
- Larangan dan pembatasan dalam perkawinan
Hukum adat sering kali mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh dinikahi. Contohnya Hukum adat melarang pernikahan antar kerabat dekat untuk menjaga kemurnian garis keturunan. Dalam beberapa adat, pernikahan antara kasta yang berbeda atau klan tertentu dilarang.
- Hak dan kewajiban suami istri
Hukum adat sering menentukan peran dan tanggung jawab suami istri, yang biasanya mencerminkan struktur patriarki. Suami sering dianggap sebagai kepala rumah tangga, sedangkan istri bertanggung jawab pada urusan domestik. Namun, peran ini bisa bervariasi tergantung adat masing-masing.
- Warisan dan Keturunan
Status pernikahan menurut adat memengaruhi hak-hak warisan dan pengakuan keturunan dalam masyarakat. Dalam beberapa adat, anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah menurut adat mungkin tidak mendapatkan hak penuh sebagai anggota keluarga.
Hukum adat sangat memengaruhi pernikahan dalam aspek hukum, sosial, budaya, dan spiritual. Meskipun beberapa tradisi adat mungkin mengalami perubahan karena modernisasi dan hukum nasional, pengaruhnya tetap kuat dalam membentuk struktur dan nilai-nilai pernikahan di masyarakat adat.
Pengaruh Hukum Adat Terhadap Sistem Waris
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.Para ahli hukum Indonesia masih memiliki perbedaan pendapat terkait istilah "hukum kewarisan"; Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah hukum warisan,  Haziran  menggunakan hukum waris, dan lain sebagainya (Gica, 2020).
Sistem waris adalah mekanisme normative yang mengatur perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan Faraid artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya (Beni, 2024). Hukum adat memiliki pengaruh besar terhadap sistem waris, terutama di masyarakat yang masih mempraktikkan adat istiadat sebagai pedoman hukum. Sistem waris adat di Indonesia mencerminkan keragaman budaya yang kaya, dengan aturan yang berbeda- beda di setiap suku atau daerah.
Waris merupakan salah satu bagian dari pengaturan hukum Islam yang bersumber sebagaimana sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam tersebut adalah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Ijtihad.Al-Quran adalah suatu kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad S.A.W. Salah satu perihal yang diatur dalam Al- Qur'anadalah mengenai hukum waris. Terdapat cukup banyak ayat-ayat Al-Qur'anyang menunjuk hukum kewarisan, diantarnya yaitu Q.S. An-Nisa ayat11, Q.S. Al-Anfal Ayat 8, Q.S.Â
Al-Ahzab Ayat 5, dan lain-lain. Sunnah bersumber dari hadist, yaitu petunjuk atau anjuran yang pernah disampaikan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad. Imam al-Bukhari menghimpun tidak kurang dari 46 hadis yang memberi ketentuan mengenai kewarisan, sementara Imam Muslim menyebut hadist-hadist kewarisan yang diriwayatkan sejumlah kurang lebih 20 hadist (Gisca, 2020).
Sistem pembagian waris menurut Islam diatur berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur'an, hadis, dan ijma' ulama, yang bertujuan untuk memastikan keadilan.
- Prinsip Pembagian:
Anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan (QS An-Nisa: 11). Suami mendapatkan 1/2 jika tidak ada anak, atau 1/4 jika ada anak. Istri mendapatkan 1/4 jika tidak ada anak, atau 1/8 jika ada anak (QS An-Nisa: 12). Orang tua mendapatkan bagian tetap: 1/6 masing-masing jika almarhum memiliki anak (QS An-Nisa: 11).
- Golongan Ahli Waris:
- Ashabul Furudh: Ahli waris dengan bagian tetap, seperti pasangan, orang tua, dan anak.
- 'Asabah: Ahli waris yang mendapatkan sisa setelah pembagian kepada ashabul furudh, seperti saudara atau kerabat laki-laki.
- Proses Pembagian:
Harta dibagi setelah melunasi utang, wasiat (maksimal 1/3 harta), dan biaya pemakaman. Sisa harta dibagi sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Hukum adat memiliki pengaruh besar terhadap sistem waris, terutama di masyarakat yang masih mempraktikkan adat istiadat sebagai pedoman hukum. Sistem waris adat di Indonesia mencerminkan keragaman budaya yang kaya, dengan aturan yang berbeda-beda di setiap suku atau daerah.
Berikut adalah beberapa contoh pengaruh hukum adat terhadap siste waris:
Jenis sistem kekerabatan dalam hukum adat
- Partineal, yaitu harta warisan umumnya jatuh kepada anak laki laki contohnya seperti suku batak
- Matrilineal, yaitu harta warisan diteruskan kepada anak perempuan atau anggota keluarga dari pihak ibu contohnya seperti suku Minangkabau.
- Bilateral atau parental, yaitu harta dibagi secara merata antara anak laki laki dan perempuan contohnya seperti suku jawa dan bali.
Jenis Harta dalam warisan adat
- Harta Pusaka, yaitu harta yang diwariskan secara turun menurun dalam keluarga. Biasanya berupa tanah atau rumah keluarga besar. Dalam sistem Matrilineal harta pusaka sering tidak boleh dijual dan hanya diwariskan kepada keturunan ibu.
- Harta Perolehan, yaitu harta yang diperoleh oleh individu selama hidup, baik dari hasil keja atau usaha sendiri, harta perolehan seringkalu lebih bebas untuk dibagi antara ahli waris tanpa Batasan adat terlalu ketat.
Hak ahli waris
- Peran gender, Dalam masyarakat adat patrilineal, anak laki-laki sering kali menjadi penerima utama warisan, sementara anak perempuan mendapatkan hak yang lebih sedikit atau hanya menerima sebagian kecil harta (atau mahar dalam bentuk pernikahan).
- Peran anak sulung, Anak sulung, khususnya laki-laki, sering mendapat porsi lebih besar sebagai penerus garis keluarga dan pemegang tanggung jawab atas harta keluarga.
- Hak istri dan janda, Dalam beberapa adat, seorang istri atau janda memiliki hak terbatas terhadap harta suami dan hanya berfungsi sebagai penjaga sementara harta sebelum diwariskan kepada anak laki-laki.
Aditya, Z. F. (2019). Romantisme sistem hukum Di Indonesia: kajian atas konstribusi hukum adat dan hukum islam terhadap pembangunan hukum Di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(1), 37-54.
Assyafira, G. N. (2020). Waris Berdasarkan Hukum Islam Di Indonesia. Al-Mashlahah jurnal hukum islam dan pranata sosial, 8(01), 68-81.
Beni Ahmad Saebani. (2024). Sosiologi Hukum Islam. CV Pustaka Setia.
Musyafah,  A.   A.   (2020).  Perkawinan  Dalam  Perspektif  Filosofis  Hukum           Islam.
Crepido, 2(2), 111-122.
Siadio, S., & Yenti, E. (2023). Pengaruh Intervensi Hukum Adat Minangkabau Terhadap Prinsip Dan Praktik Hukum Islam. JISRAH: Jurnal Integrasi Ilmu Syariah, 4(2), 207- 214.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H