Mohon tunggu...
najwa sahara
najwa sahara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Seorang mahasiswa hukum, dengan minat mendalam pada dunia kecantikan. Selain aktif mempelajari berbagai aspek hukum, juga gemar mengeksplorasi tren skincare, makeup, dan perawatan diri sebagai bentuk ekspresi kreativitas dan self-care. Sering meluangkan waktu untuk membaca buku—baik yang berkaitan dengan studi hukumnya maupun berbagai genre lainnya, seperti sastra, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pengaruh Adat Dan Istiadat Terhadap Praktik Hukum Islam

17 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:32 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hukum adat sering kali mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh dinikahi. Contohnya Hukum adat melarang pernikahan antar kerabat dekat untuk menjaga kemurnian garis keturunan. Dalam beberapa adat, pernikahan antara kasta yang berbeda atau klan tertentu dilarang.

  • Hak dan kewajiban suami istri

Hukum adat sering menentukan peran dan tanggung jawab suami istri, yang biasanya mencerminkan struktur patriarki. Suami sering dianggap sebagai kepala rumah tangga, sedangkan istri bertanggung jawab pada urusan domestik. Namun, peran ini bisa bervariasi tergantung adat masing-masing.

  • Warisan dan Keturunan

Status pernikahan menurut adat memengaruhi hak-hak warisan dan pengakuan keturunan dalam masyarakat. Dalam beberapa adat, anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah menurut adat mungkin tidak mendapatkan hak penuh sebagai anggota keluarga.

Hukum adat sangat memengaruhi pernikahan dalam aspek hukum, sosial, budaya, dan spiritual. Meskipun beberapa tradisi adat mungkin mengalami perubahan karena modernisasi dan hukum nasional, pengaruhnya tetap kuat dalam membentuk struktur dan nilai-nilai pernikahan di masyarakat adat.

Pengaruh Hukum Adat Terhadap Sistem Waris

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.Para ahli hukum Indonesia masih memiliki perbedaan pendapat terkait istilah "hukum kewarisan"; Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah hukum warisan,  Haziran  menggunakan hukum waris, dan lain sebagainya (Gica, 2020).

Sistem waris adalah mekanisme normative yang mengatur perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan Faraid artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya (Beni, 2024). Hukum adat memiliki pengaruh besar terhadap sistem waris, terutama di masyarakat yang masih mempraktikkan adat istiadat sebagai pedoman hukum. Sistem waris adat di Indonesia mencerminkan keragaman budaya yang kaya, dengan aturan yang berbeda- beda di setiap suku atau daerah.

Waris merupakan salah satu bagian dari pengaturan hukum Islam yang bersumber sebagaimana sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam tersebut adalah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Ijtihad.Al-Quran adalah suatu kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad S.A.W. Salah satu perihal yang diatur dalam Al- Qur'anadalah mengenai hukum waris. Terdapat cukup banyak ayat-ayat Al-Qur'anyang menunjuk hukum kewarisan, diantarnya yaitu Q.S. An-Nisa ayat11, Q.S. Al-Anfal Ayat 8, Q.S. 

Al-Ahzab Ayat 5, dan lain-lain. Sunnah bersumber dari hadist, yaitu petunjuk atau anjuran yang pernah disampaikan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad. Imam al-Bukhari menghimpun tidak kurang dari 46 hadis yang memberi ketentuan mengenai kewarisan, sementara Imam Muslim menyebut hadist-hadist kewarisan yang diriwayatkan sejumlah kurang lebih 20 hadist (Gisca, 2020).

Sistem pembagian waris menurut Islam diatur berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur'an, hadis, dan ijma' ulama, yang bertujuan untuk memastikan keadilan.

  • Prinsip Pembagian:

Anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan (QS An-Nisa: 11). Suami mendapatkan 1/2 jika tidak ada anak, atau 1/4 jika ada anak. Istri mendapatkan 1/4 jika tidak ada anak, atau 1/8 jika ada anak (QS An-Nisa: 12). Orang tua mendapatkan bagian tetap: 1/6 masing-masing jika almarhum memiliki anak (QS An-Nisa: 11).

  • Golongan Ahli Waris:
  • Ashabul Furudh: Ahli waris dengan bagian tetap, seperti pasangan, orang tua, dan anak.
  • 'Asabah: Ahli waris yang mendapatkan sisa setelah pembagian kepada ashabul furudh, seperti saudara atau kerabat laki-laki.
  • Proses Pembagian:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun