Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus dilakukan. Dalam Undang- Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan. Sebab, pernikahan akan menyebabkan manusia mempunyai keturunan. Pernikahan atau perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki--laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai keluarga yang sah untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah ridha Allah SWT.
Hal ini sudah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur'an: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui." (QS. Al Nuur/24: 32). Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasul-Nya bernilai ibadah yaitu membina keluarga sejahtera yang mendatangkan kemaslahatan bagi para pelaku perkawinan, anak keturunan juga kerabat. Perkawinan sebagai suatu ikatan yang kokoh, dituntut untuk membuat kemaslahatan bagi masyarakat juga bangsa pada umumnya (Aisyah, 2020)
Sistem pernikahan dalam Islam adalah proses ikatan suci antara laki-laki dan perempuan berdasarkan syariat dengan tujuan membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Berikut poin-poin singkatnya:
Rukun Nikah:
- Calon suami dan calon istri yang memenuhi syarat (Muslim, baligh, berakal, dan tanpa halangan syar'i).
- Wali nikah bagi mempelai perempuan.
- Dua saksi yang adil.
- Ijab dan kabul, yaitu pernyataan wali dan persetujuan mempelai pria.
- Mahar (mas kawin) yang diberikan oleh suami kepada istri.
Tujuan Pernikahan:
- Memenuhi fitrah manusia.
- Mencegah perbuatan zina.
- Membangun keluarga harmonis sesuai ajaran Islam.
- Melanjutkan keturunan yang bertakwa.
Syarat Pernikahan:
- Pernikahan harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak.
- Tidak boleh ada hubungan darah yang dilarang (mahram).
- Memenuhi syarat dan rukun pernikahan sesuai syariat
Hukum adat sangat memengaruhi pernikahan dalam aspek hukum, sosial, budaya, dan spiritual. Meskipun beberapa tradisi adat mungkin mengalami perubahan karena modernisasi dan hukum nasional, pengaruhnya tetap kuat dalam membentuk struktur dan nilai-nilai pernikahan di masyarakat adat. Berikut adalah beberapa pengaruh hokum adat terhadap pernikahan:
- Ketentuan dan tata cara perkawinan
Pernikahan adat sering kali mensyaratkan restu dari orang tua atau keluarga besar. Tanpa restu, pernikahan dianggap tidak sah secara adat. Proses pernikahan adat biasanya terdiri dari beberapa tahapan, seperti lamaran, pemberian mahar adat (belis, mas kawin), hingga upacara resepsi yang melibatkan ritual tertentu sesuai tradisi. Beberapa adat memiliki ketentuan khusus tentang kapan dan di mana pernikahan dapat dilangsungkan, misalnya waktu yang dianggap baik menurut kepercayaan lokal.
- Pembayaran Mahar
Dalam banyak masyarakat adat, mahar atau belis menjadi syarat utama pernikahan. Mahar ini tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga simbolis. Contoh: Di Nusa Tenggara Timur, belis berupa hewan ternak menjadi simbol penghormatanÂ
kepada keluarga mempelai perempuan. Besarnya mahar dapat mencerminkan status sosial mempelai pria dan keluarga.
- Larangan dan pembatasan dalam perkawinan