Pagi itu, aroma rempah dan cabai memenuhi dapur rumahku. Suara gemericik air dan dentingan alat masak terdengar beriringan. Hari ini istimewa, karena keluargaku yang sudah lama tinggal di Jakarta akan pulang kampung. Kami ingin menyambut mereka dengan masakan ayam lado hijau---hidangan khas yang selalu disajikan saat keluarga berkumpul. Namun kali ini, Bunda tidak hanya memasak sendiri. Dia mengajakku untuk belajar bagaimana cara membuat masakan ini.
"Najwa, sini bantu Bunda. Hari ini kita buat ayam lado hijau, masakan kebanggaan keluarga," kata Bunda sambil tersenyum lembut. Aku dengan antusias maju ke meja dapur, siap belajar.
Pertama-tama, Bunda menjelaskan cara mempersiapkan bahan-bahan utama. Di atas meja sudah tersedia cabai hijau, bawang merah, bawang putih, dan potongan ayam segar. "Kita mulai dengan merebus ayam dulu, Najwa. Ini penting untuk menghilangkan bau amisnya," ujar Bunda. Aku memperhatikan dengan cermat, berusaha menghafal setiap langkah.
Setelah ayam direbus, Bunda memintaku menyiapkan bumbu lado hijaunya. "Cabai hijau besar dan cabai rawit ini kita rebus sebentar biar lunak dan gampang diulek. Bawang merah, bawang putih, dan tomat hijaunya juga ikut kita rebus," jelas Bunda. Aku mengikuti instruksi dengan baik, meskipun sedikit gugup.
Namun, saat aku mulai mengulek bumbu, sesuatu terjadi. Aku tidak sengaja menjatuhkan ulek-ulek dari genggamanku. Bunyi keras terdengar, dan bumbu yang sudah kami siapkan berantakan ke lantai.
Wajahku memerah, "Maaf, Bunda..." kataku dengan suara lirih.
Bunda menghela napas panjang, terlihat kaget namun tetap berusaha tenang. "Tidak apa-apa, Najwa. Kita masih punya waktu sedikit sebelum keluarga tiba. Mari kita bersihkan ini dulu dan mulai lagi," ujarnya dengan sabar, meski aku tahu dalam hatinya pasti kecewa.
Perasaanku campur aduk antara malu dan panik. Kami segera membersihkan kekacauan itu dan memulai ulang pembuatan bumbu. Waktu semakin mendesak, dan aku khawatir ayam lado hijau ini tak akan siap saat keluarga tiba. Bunda tampak lebih terburu-buru dari sebelumnya, tetapi ia tetap memastikan setiap langkah dikerjakan dengan benar.
Aku berusaha lebih berhati-hati. Saat bumbu akhirnya selesai, kami menumisnya dan memasukkan ayam yang sudah direbus. Aroma harum mulai menyebar di dapur, membuatku sedikit lega. "Sudah hampir selesai, Najwa," ujar Bunda, sambil menambahkan bumbu terakhir. Namun, dalam hatiku, rasa bersalah masih menghantui karena waktu kami yang tersisa semakin sedikit.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu dibuka. Keluarga kami yang dari Jakarta sudah tiba, lebih cepat dari yang kami kira. Aku merasa jantungku berhenti sesaat. "Bun, mereka sudah datang!" kataku panik.
"Cepat, Najwa. Aduk ayamnya agar bumbunya meresap dengan cepat!" perintah Bunda. Kami bekerja sama dengan kecepatan ekstra, dan akhirnya ayam lado hijau siap dihidangkan.
Kami menata ayam di atas piring besar tepat saat keluarga masuk ke dapur. "Wah, ayam lado hijau!" seru Ayah dengan antusias, sambil mendekat. Namun sebelum ada yang sempat mencicipi, nenek mendekati kami.
Nenek menatap Bunda, lalu menatapku dengan raut wajah bingung. "Kenapa warnanya tidak seperti biasanya? Ini ayam lado hijau, kan?"
Aku terkejut, begitu juga Bunda. Kami menatap ayam itu, dan baru menyadari bahwa warna bumbunya lebih pucat dari biasanya. Rasanya cemas di dadaku semakin menjadi-jadi. Apa yang salah?
Bunda mencoba mencicipinya terlebih dahulu, lalu tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, rasanya masih enak kok," katanya mencoba menenangkan. Tapi aku merasa ada sesuatu yang kurang.
Ayah dan keluarga yang lain mulai mencicipi, wajah mereka tampak bingung. Namun, tiba-tiba Ayah tersenyum lebar. "Ini enak! Rasanya beda, tapi justru lebih segar. Saya suka!"
Aku tertegun. Ternyata meskipun warnanya berbeda, rasanya tetap lezat. Bahkan, keluargaku justru menyukainya karena ada sedikit perbedaan dari biasanya. Nenek pun tersenyum, "Mungkin ini variasi baru. Kamu membuat ayam lado hijau yang berbeda tapi tetap enak, Najwa."
Aku tersenyum lega. Meskipun awalnya penuh kesalahan, hasil akhir tetap memuaskan. Bunda menatapku bangga, dan berkata, "Lihat, Najwa. Masakan itu tidak harus sempurna, yang penting niat dan rasa. Kadang kesalahan kecil justru membawa sesuatu yang baru."
Aku tersenyum, merasakan kelegaan dan kebanggaan yang mendalam. Di balik ketidaksempurnaan, ternyata ada kejutan yang tak terduga. Hari itu, aku belajar bahwa dalam memasak, seperti dalam hidup, sering kali kejutan-kejutan kecil justru membawa kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H