Kami menata ayam di atas piring besar tepat saat keluarga masuk ke dapur. "Wah, ayam lado hijau!" seru Ayah dengan antusias, sambil mendekat. Namun sebelum ada yang sempat mencicipi, nenek mendekati kami.
Nenek menatap Bunda, lalu menatapku dengan raut wajah bingung. "Kenapa warnanya tidak seperti biasanya? Ini ayam lado hijau, kan?"
Aku terkejut, begitu juga Bunda. Kami menatap ayam itu, dan baru menyadari bahwa warna bumbunya lebih pucat dari biasanya. Rasanya cemas di dadaku semakin menjadi-jadi. Apa yang salah?
Bunda mencoba mencicipinya terlebih dahulu, lalu tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, rasanya masih enak kok," katanya mencoba menenangkan. Tapi aku merasa ada sesuatu yang kurang.
Ayah dan keluarga yang lain mulai mencicipi, wajah mereka tampak bingung. Namun, tiba-tiba Ayah tersenyum lebar. "Ini enak! Rasanya beda, tapi justru lebih segar. Saya suka!"
Aku tertegun. Ternyata meskipun warnanya berbeda, rasanya tetap lezat. Bahkan, keluargaku justru menyukainya karena ada sedikit perbedaan dari biasanya. Nenek pun tersenyum, "Mungkin ini variasi baru. Kamu membuat ayam lado hijau yang berbeda tapi tetap enak, Najwa."
Aku tersenyum lega. Meskipun awalnya penuh kesalahan, hasil akhir tetap memuaskan. Bunda menatapku bangga, dan berkata, "Lihat, Najwa. Masakan itu tidak harus sempurna, yang penting niat dan rasa. Kadang kesalahan kecil justru membawa sesuatu yang baru."
Aku tersenyum, merasakan kelegaan dan kebanggaan yang mendalam. Di balik ketidaksempurnaan, ternyata ada kejutan yang tak terduga. Hari itu, aku belajar bahwa dalam memasak, seperti dalam hidup, sering kali kejutan-kejutan kecil justru membawa kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H