Mohon tunggu...
Najwa Harlika
Najwa Harlika Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Stigma Tak Lagi Memahami Perjuangan Para Garda Terdepan Kami

18 Mei 2020   14:17 Diperbarui: 18 Mei 2020   14:21 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah hampir enam bulan berlalu, namun wabah penyakit Covid-19 atau virus corona belum juga mereda. Bahkan data WHO yang dilansir pada covid19.go.id menyebutkan bahwa hingga tanggal 17 Mei 2020 virus corona telah menjangkit 216 negara di seluruh dunia dengan pasien positif sebanyak 4.534.731 orang dan korban meninggal dunia sebanyak 307.537 orang.  

Sedangkan di Indonesia sendiri pasien positif covid-19 sudah mencapai 17.514 orang dengan pasien sembuh 4.129 dan pasien meninggal dunia sebanyak 1.148 orang menurut data terakhir tanggal 17 Mei 2020. 

Di Indonesia maupun dunia, penderita Covid-19 pun semakin bertambah setiap harinya. Seiring berjalannya waktu, pandemi viris corona melahirkan stigma masyarakat yang lebih mengerikan  dari virus itu sendiri. 

Stigma adalah musuh yang menakutkan sekaligus mengiris hati para tenaga kesehatan. Stigma dapat mengikis kebersamaan yang mengancam kemanusiaan di tengah pandemi yang mengerikan. 

Stigma ini membanjiri tenaga kesehatan khususnya dokter dan perawat yang menjadi garda terdepan melawan wabah virus corona. Stigma ini pun juga membajiri pasien positif Covid-19 serta keluarganya.

Stigma atau pandangan negatif virus corona ini mengakibatkan kita tak lagi asing mendengar penolakan atau pengusiran tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 dari tempat tinggalnya hingga penolakan penguburan jenazah. Disisi lain, hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat kita mulai sadar dan menyadari akan bahaya Covid-19. 

Masyarakat mulai menyadari bahwa penyakit ini bukanlah penyakit yang dapat disepelekan. Namun, rasa kekhawatiran yang berlebihan tersebut dapat mengikis nilai kemanusiaan. Rasa ketakutan itu menghilangkan rasa solidaritas antar manusia. 

Etika dan moral yang selalu diterapkan dan diajarkan seakan lenyap begitu saja. Virus corona memang harus dihindari dan ditakuti, namun jangan sampai membiarkan stigma sosial yang dapat memperburuk keadaan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa stigma dapat memperburuk keadaan, seperti halnya stigma sosial di tengah wabah virus corona kali ini.

Banyak sekali laporan peristiwa-peristiwa stigmatisasi yang terjadi antar masyarakat belakangan ini. Contohnya seperti kasus penolakan jenazah PDP Covid-19 di Kalimantan Tengah yang menimbulkan kontroversi. Sekelompok warga berkumpul seraya melakukan aksi penolakan pemakaman jenazah tersebut dengan alasan takut adanya penularan virus Covid-19. 

Padahal keluarga korban dan petugas medis telah mengikuti protokol keamanan pemakaman yang sesuai. Seperti komentar yang dituliskan akun instagram osianikma pada kolom komentar mata najwa, dia mengatakan bahwa di daerahnya terdapat jenazah yang sudah ditolak di dua tempat, kemudian dikebumikan di tempat lain. 

Ketika warga mengetahui bahwa jenazah tersebut adalah pasien Covid-19, warga meminta untuk dibongkar kuburannya. Sungguh miris keadaan stigma yang sedang terjadi di tengah masyarakat ini.

Tidak hanya penolakan  jenazah, masyarakat pun tak jarang mengusir perawat-perawat dari tempat tinggalnya. Seperti yang dikatakan narasumber pada acara mata najwa, setidaknya ada sekitar empat orang perawat RS Persahabatan yang diusir dari kosnya karena dianggap membawa dan dapat menyebarkan virus corona. 

Sehingga para perawat ini terpaksa untuk tetap tinggal di rumah sakit. Selain itu, Tiga perawat RSUD Bung Karno Solo pun diusir oleh pemilik kos yang diusir dari tempat kos. Lagi-lagi pengusiran ini disebabkan karena para perawat tersebut dianggap membawa virus corona dan meresahkan warga sekitar kos. 

Bahkan tak jarang perawat dan dokter yang bekerja melawan virus corona di garda terdepan malah dikucilkan warga di tempat tinggalnya. Tidak hanya perawat yang mendapat perlakuan tidak mengenakan oleh warga. Pasien ODP dan PDP pun menjadi cibiran bahkan diusir di tengah masyarakat.

Jaga jarak memang harus diterapkan untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, jaga jarak tersebut jangan sampai keterlaluan hingga mengusir dan menolak jenazah, perawat, serta pasien ODP.

Misalnya perawat-perawat yang sudah mempertaruhkan nyawa demi bekerja merawat orang-orang sakit dengan peralatan seadanya. Perawat-perawat tersebut sudah berjuang hingga rela meninggalkan keluarganya di rumah demi menyelesaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. 

Apakah hati kalian tidak terketuk ketika melihat perawat menggunakan pakaian APD yang sangat menyesakkan agar mereka tetap dapat merawat orang-orang yang butuh pertolongan, tapi ketika mereka ingin pulang untuk mengistirahatkan tubuhnya malah penolakan yang mereka dapatkan. 

Jaga jarak dengan perawat memang harus dilakukan, sama seperti halnya jaga jarak yang harus dilakukan kepada siapa pun. Tapi kalau sampai mengusir perawat dari tempat tinggalnya itu sudah sangat keterlaluan.

Pasien PDP, ODP, bahkan pasien yang positif Covid-19 adalah korban, tidak pantas jika kita malah mengusir dan mengucilkan mereka. Yang harus kita lakukan adalah membantu mereka untuk isolasi diri di rumah masing-masing. Bahkan kita perlu membantu dalam memenuhi kebutuhanya agar mereka tetap berada dirumah dan tidak terpaksa untuk keluar rumah. 

Bukan malah pengusiran yang dilakukan, justru itu akan membahayakan orang lain ketika mereka berinteraksi dengan orang luar yang tidak mengetahui bahwa mereka adalah pasien ODP dan PDP. Begitupun dengan jenazah, pasti rumah sakit sudah memberlakukan jenazah Covid-19 sesuai dengan standar SOP yang berlaku. 

Bahkan virus tersebut tidak dapat ditularkan melalui jenazah. Seperi yang dikatakan Kepala Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU dr Soetomo Surabaya, dr Edi Suryanto SpF, SH, MH. "Secara ilmiah ilmu kedokteran, jenazah kemungkinan menularkan virus sudah tidak ada, apalagi virus corona. Virus corona harus hidup pada inangnya. Jika inangnya mati maka virusnya juga akan mati". Jelas jenazah korban corona tidak akan menularkan.

Menstigmatisasi siapapun selama pandemi menimbulkan ancaman bagi semua orang. Akibatnya orang-orang yang memiliki gejala, justru enggan untuk memeriksakan dirinya karena takut jika dia positif akan dikucilkan dan diusir oleh warga. Hal ini dapat membahayakan semua orang dan dapat memperluas penyebaran virus corona. 

Jika hal ini tetap dibiarkan, maka penyebaran Covid-19 akan terus berjalan. Stigma ini menyebabkan masyarakat melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan etika dan moral. Rasa kemanusiaan pun luntur karena lebih memikirkan ego yang justru dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang orang di sekitarnya.

Edukasi adalah salah satu cara ampuh untuk menghentikan stigma corona. Edukasi sangat diperlukan untuk membuka jalan pikiran masyarakat. Salah satunya adalah mengedukasi tantang etika dan moral yang seharusnya diterapkan dalam menghadapi masalah yang krusial ini. Edukasi juga dapat dilakukan melalui media sosial yang meceritakan pengalaman dari pasien positif Covid-19 yang berhasil sembuh. 

Serta berita-berita positif juga harus diberikan kepada masyarakat, sehingga membuktikan bahwa wabah penyakit Covid-19 juga dapat membawa hal yang positif. Edukasi dilakukan untuk mengajak masyarakat turut andil mendukung upaya pemerintah dan meringankan kerja tenaga kesehatan dengan cara jaga jarak dan saling peduli sesama.

Menurut SMA Don Bosco (1971), etika adalah norma-norma yang menentukan baik buruknya tingkah laku manusia  baik sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup kita kearah tujuannya. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Krisna Yetti, S.Kp., M.App.Sc pada kuliah umum mata kuliah profesionalisme dalam keperawatan, beliau mengatakan bahwa yang menentukan baik buruknya suatu tindakan adalah hati nurani. 

Apakah kalian tidak menyadari bahwa menolak bahkan mengusir mereka yang menjadi korban Covid-19 serta para pejuang di garda terdepan sangatlah tidak sesuai dengan hati nurani manusia. Kita seharusnya memanusiakan mereka dengan cara mendukung bukannya mengucilkan.

Wabah corona memang meresahkan dan menjadi ketakutan kita semua. Namun, jangan sampai virus ini merenggut cara kita untuk memanusiakan sesama. 

Selain mengedepankan upaya jaga jarak dan menjaga perilaku hidup sehat, namun aspek etika sosial juga perlu dipelihara terhadap sesama dengan cara rasa saling peduli, saling mendukung, saling memberikan semangat dan saling pengertian satu sama lain terhadap lingkungan sosial kita. 

Menjaga jarak bukan berarti memutuskan kontak dengan orang lain secara sosial, melaikan jaga jarak yang kita butuhkan sekarang adalah menjaga jarak secara fisik. 

Komunikasi dan kegiatan tetap dapat dilakukan, namun tidak secara fisik melainkan memanfaatkan media elektronik. Jarak fisik memang harus direnggangkan tetapi ikatan sosial harus diperkuat. Kita tidak dapat melawan virus ini sendirian, justru kita harus bersama-sama melawan Covid-19 dengan memperkuat rasa solidaritas.

Hal yang dapat saya simpulkan adalah pandemi virus corona yang tak kunjung usai menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat. Kekhawatiran yang berlebihan ini justru melahirkan stigma sosial yang jauh lebih mengerikan dari virus itu sendiri. Stigma sosial ini dapat mengakibatkan luka batin yang dirasakan oleh tenaga kesehatan, korban, jenazah corona, hingga keluarga koban yang dibanjiri oleh stigma sosial. Bahkan stigma sosial ini jika dibiarkan dapat mempurburuk penyebaran Covid-19. 

Edukasi adalah salah satu cara ampuh untuk melawan stigma corona. Salah satunya adalah mengedukasi tentang etika dan moral yang seharusnya diterapkan dalam menghadapi masalah yang krusial ini. Kita harus saling mendukung satu sama lain dan menjadi solid untuk bersama-sama melawan virus corona. Kita harus ingat bahwa yang menjadi musuh kita adalah Covid-19, bukan penderitanya. Seperti slogan yang sempat beredar di masyarakat "Jauhi penyakitnya, bukan orangnya" demikian pula yang dapat kita lakukan di masa pandemi ini, yaitu dengan mencegah dan melawan Covid-19 bukan semata-mata mengusir dan mengucilkan orangnya.

Daftar Pustaka

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020). Diambil dari https://covid19.go.id/

Shihab, Najwa. (2020). Melawan Stigma Corona. Diambil dari https://www.instagram.com/tv/B-pKBQ6hhG4/?igshid=rcwxjqo3btdr

Fathiariani, Liza. Melawan Stigma Covid-19. (2020).  Diambil dari https://aceh.tribunnews.com/2020/04/16/melawan-stigma-covid-19

Tim PRNM. (2020). Kronologi Kasus Penolakan Jenazah PDP COVID-19, Kini di Kalimantan Tenah. Diambil dari https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01382575/kronologi-kasus-penolakan-jenazah-pdp-covid-19-kini-di-kalimantan-tengah

CNN Indonesia. (2020).  3 Perawat Diusir dari Kos, RS Solo Jemput Pakai Ambulans. Diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200427164601-20-497756/3-perawat-diusir-dari-kos-rs-di-solo-jemput-pakai-ambulans

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun