Mohon tunggu...
Najwa Filzah Faiza
Najwa Filzah Faiza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa rantau di Kota Pahlawan

Suka nulis, travelling, baca novel fiksi, juga tidak ketinggalan scrolling medsos

Selanjutnya

Tutup

Surabaya Pilihan

Seni Memahami Orang Surabaya: Kalo Marah Kayak Kerasukan Setan, Tapi Kalo Lagi Baik Malaikat Pun Kalah Telak

13 November 2024   12:34 Diperbarui: 13 November 2024   12:52 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sudah bukan hal yang aneh lagi ketika mendengar atau membaca sekilas tentang orang Surabaya yang gampang tersulut emosi, judes, suka misuh, dan hal-hal negatif lainnya, bukan? Tapi di balik semua hal negatif tersebut, sebenarnya ada satu sisi spesial dan istimewa yang hanya dimiliki oleh orang Surabaya. Apa itu? Mau tau atau mau tau banget?

Orang Surabaya adalah Orang Paling Jujur Sedunia

Merantau selama satu setengah tahun dengan menyandang gelar sebagai "mahasiswa" di Kota Pahlawan ini membuat saya mengamati dan melewati banyak hal bersama warlok (warga lokal) dengan segala karakteristiknya. Memang benar apa kata banyak orang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Surabaya itu gampang marah, nada bicaranya tinggi, judes, dan kalo lagi marah pasti dibumbui topping misuh yang beragam varian rasanya.

Namun, setelah saya mengesampingkan semua stereotipe tersebut, ternyata saya menemukan satu jawaban paling krusial. Pernahkah kalian berpikir bahwa orang Surabaya adalah orang paling jujur sedunia? Iya benar, paling jujur. 

Kenapa demikian? Berdasarkan pengamatan kecil-kecilan yang saya lakukan secara diam-diam, saya menyimpulkan bahwa orang Surabaya itu sangat jujur sekali, tidak pernah menyembunyikan atau bahkan menutup-nutupi segala sesuatu. Orang Surabaya adalah orang yang tidak bisa berbohong, bahkan berbohong pada diri sendiri sekali pun, saking jujurnya ketika meluapkan emosi.

Ketika orang Surabaya marah, maka mereka akan mengekspresikan kemarahannya dengan amat sangat mengerikan bagaikan orang kerasukan setan. Sebaliknya, ketika mereka merasa aman dan nyaman, maka mereka juga akan mengungkapkan perasaan bahagianya secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling. 

Pada dasarnya, orang Surabaya itu simple, nggak muluk-muluk, apa adanya, jujur, dan berani mengekpresikan segala bentuk emosi jadi prinsip utama kehidupan mereka. Mereka ini ibarat juri di Indonesian Idol yang abis denger nyanyian para finalis langsung ngomong "kalo aku sih yes/no" tanpa imbuhan janji-janji manis seperti yang sering diucapkan doi.

Bukan Tipikal Pendendam, Cukup Luapkan Emosi dan Langsung Lupakan

Selain jujur, orang Surabaya juga bukan tipe pendendam dan pengingat kesalahan lawan. Jika kebanyakan orang akan terus-menerus membahas dan membicarakan keburukan orang lain, maka tidak dengan orang Surabaya. Mereka lebih memilih untuk meluapkan emosi semaksimal mungkin, lalu beberapa detik kemudian akan kembali ke setelan pabrik alias bersikap biasa-biasa saja layaknya tidak pernah terjadi apa-apa.

Sebagaimana pengalaman saya beberapa hari yang lalu ketika sedang dibonceng ojol, tiba-tiba ada kendaraan beroda empat yang mengerem mendadak di depan saya. Otomatis driver ojol ikut-ikutan mengerem mendadak, hanya sepersekian centimeter sebelum menubruk bagian belakang mobil. Belum usai kaget yang saya alami, driver ojol pun langsung maju ke depan menyejajari pengendara mobil sambil ngamuk-ngamuk. 

Ketika marah, orang Surabaya tidak pernah mempertimbangkan faktor U (usia). Kebetulan saat itu driver ojol yang saya tumpangi mungkin berusia kisaran 30 tahun, sedangkan pengendara mobil sudah memasuki usia lanjut. Tapi, ketika marah langsung keluar segala jenis topping misuh berbagai varian rasa ditambah gestur tangan yang menunjuk-nunjuk lawan, tanda benar-benar ngamuk tak tertahankan.

Saya yang berada di jok belakang hanya bisa istighfar sambil terus berdoa semoga "tawuran" ini nggak memakan korban. Ngeri sekali melihat dua orang asli Surabaya saling beradu misuh dan bersikeras siapa yang salah. Keduanya sama-sama lihai dan fasih ketika mengucap kata-kata penuh emosi.

 Meski saya sendiri tidak bisa menirukan, tapi saya tau bahwa misuh yang diucapkan mereka berdua benar-benar sesuai "tajwid" nya, tidak lebih dan tidak kurang. Nada tinggi tentu mengiringi tawuran singkat itu, namun saya tetap diam, jadi saksi bisu orang tawuran di tengah jalan sembari berusaha mengamankan detak jantung yang rasanya sudah nggak karuan.

Driver ojol pun terpaksa menghentikan tawuran yang mungkin hasilnya kurang memuaskan baginya karena ingat kalo lagi bawa customer, cewek pula. Saya menghembuskan napas panjang, lega karena tawuran tidak memakan korban. 10 detik hening, kemudian driver ojol pun tiba-tiba buka suara.

"Kak maaf banget ya, saya nggak berniat misuh-misuh tadi. Tapi orangnya malah mancing emosi, jadinya kebablasan. Maaf banget ya kak."

Dengan polosnya saya tertawa kecil tapi sepertinya terdengar sangat garing sambil menjawab, "Iya gapapa kok, Pak. Memang orangnya yang salah."

Hingga sampai di tujuan akhir, driver ojol yang saya tumpangi ini tetap menyampaikan beribu maaf sembari menjelaskan situasi yang terjadi. Lihat, bukan? Orang Surabaya memang gampang marah, namun gampang juga menghilangkan dendam sambil meminta maaf sesegera mungkin. Dalam hitungan menit, emosi yang berapi-api bisa langsung berubah jadi permintaan maaf yang tulus. Tentu tidak mudah untuk meminta maaf setelah ngamuk hebat, akan tetapi orang Surabaya bisa mengontrol itu semua.

Kalo Nggak Diganggu, Orang Surabaya Itu Manusia Berhati Malaikat

Pasti pada nggak percaya ya kalo ada yang bilang orang Surabaya itu berhati malaikat? Iya, sama. Awalnya, saya juga nggak percaya. Mana mungkin orang yang sering marah-marah punya hati bak malaikat? Tapi, setelah menjalin pertemanan dengan warlok yang benar-benar Surabaya banget karena sejak berada di dalam kandungan sudah merasakan kerasnya kehidupan di Surabaya, saya jadi 100% percaya dan berani mengambil kesimpulan. 

Kesimpulannya adalah; orang Surabaya memang keras, gampang marah, gampang misuh, dan hal-hal lain yang bisa bikin bulu roma berdiri sendiri. Namun, hal itu hanya terjadi jika mereka merasa diganggu, diancam, diintimidasi, dan diperlakukan semena-mena. 

Orang Surabaya juga manusia biasa yang punya sisi "malaikat" di dalam dirinya. Bahkan kalo boleh jujur, orang Surabaya lebih sopan, lebih punya etika, dan lebih menghargai lawan bicara ketika mereka merasa nyaman dan tidak terancam dibandingkan saya sendiri yang bukan orang asli Surabaya. 

Jika ada penghargaan dengan nominasi "manusia berhati malaikat" maka sudah pasti pemenangnya adalah orang Surabaya. Mereka mudah mengekspresikan perasaan, meluapkan emosi, dan tetap memiliki kontrol diri menyesuaikan situasi dan kondisi. 

Benar-benar bentuk regulasi emosi yang baik. Saya rasa, orang asli Surabaya harus buka kursus, pelatihan, atau webinar tentang cara meregulasi emosi dengan tepat. Dijamin ilmunya akan bermanfaat untuk menghadapi kehidupan di dunia ini yang kadang kidding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun