Mohon tunggu...
Najwa Salsabila
Najwa Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahkamah Konstitusi Disetir Politik?

10 Desember 2023   17:13 Diperbarui: 10 Desember 2023   17:13 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menjelang Pemilu 2024, belum lama ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan baru terkait Batas Usia Pencalonan Capres-Cawapres yakni di bawah usia 40 tahun asal Capres-Cawapres pernah atau sedang dalam masa jabatan menjadi Kepala Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan "Berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan ini menimbulkan kericuhan oleh beberapa pihak yang tidak setuju atas putusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi yang dinilai hanya menguntungkan satu pihak saja. Pasalnya, Ketua Mahkamah Konstitusi memiliki hubungan kekeluargaan dengan pihak yang diuntungkan atas putusan tersebut. 

Jika Mahkamah Konstitusi berubah karena suatu kepentingan tertentu itu berbahaya. Sebab, tujuan dasar dibentuknya Mahkamah Konstitusi itu kan untuk memberikan solusi hukum atas isu-isu politik. Tetapi, sekarang justru bertolak belakang dengan tujuan dasarnya. Yakni, politiklah yang menunjukkan betapa kuatnya mempengaruhi Mahkamah Konstitusi. Lantas, dimana sistem demokrasi dari putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Kontroversi atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat Capres-Cawapres terus berlanjut. Hal ini berkaitan dengan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Anwar Usman, hakim yang sering terlapor dengan dugaan konflik kepentingan. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan pertanyaan mengenai campur tangan kepala negara dan kepentingan keluarga. Juga, jika melihat kaitan hubungan putusan Mahkamah Konstitusi dengan paslon (pasangan calon), ketua Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan pamannya. Hal ini memperkuat kecurigaan adanya politik dinasti dan oligarki dalam politik Indonesia. 

Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor menegaskan, ada upaya untuk meloloskan seseorang untuk menjadi Capres-Cawapres dengan membajak sistem mekanisme demokrasi yang ada. Dampak yang akan timbul ialah demokrasi yang tidak adil dan tidak objektif. 

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi ini menolak gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait batas usia Capres-Cawapres. Mahkamah Konstitusi juga menjelaskan beberapa petimbangan hukum, termasuk batas usia Capres-Cawapres berada ditangan pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR dan pemerintah. 

Mahkamah Konstitusi membantah pendapat yang diajukan PSI bahwa usia batas usia 40 tahun itu bertolak belakang dengan moralitas, rasionalitas, dan memunculkan ketidakadilan beberapa pihak. Putusan soal batas usia ini akan berdampak sekali dengan tatanan demokrasi Indonesia. Dugaan terhadap eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak hukum akan dipertanyakan. Hal ini mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. 

KPU diharapkan agar mengawasi secara teliti alasan hukum yang mendasari putusan mengenai batas usia Capres-Cawapres, karena putusan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Proses pelaksanaan secara legislatif putusan Mahkamah Konstitusi memakan waktu yang lama. Sebab, perlu adanya cara untuk melaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum. Hal ini lebih layak dilakukan karena beberapa alasan, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi lain yang terdapat kebutuhan hukum yang mendesak. Konstitusi akan segera berlaku dan putusan Mahkamah Konstitusi akan menimbulkan kekosongan hukum.

Terkait poin-poin yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan putusan tersebut, ia mengatakan Mahkamah Konstitusi telah menelusuri syarat usia Capres-Cawapres sejak pemilu pada masa kemerdekaan, berakhirnya pemerintahan orde lama, dan masa orde baru. Selanjutnya, ketika membahas perubahan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga mengikuti berita acara perdebatan, khususnya terkait dengan tuntutan presiden yang tertuang dalam instrumen Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal yang memuat batasan usia minimum namun membuka kemungkinan dikesampingkannya batasan tersebut pada peraturan lain dapat menimbulkan konflik hukum. Kasus tersebut bertujuan untuk menunjukkan kuatnya kepentingan politik di balik peraturan pemilu yang selalu berubah setiap lima tahun sekali.

Dalam permohonannya ke Mahkamah Konstitusi, PSI meminta Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia Capres-Cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Permohonan ini dianggap politis karena PSI berniat mengusungkan salah satu paslon (pasangan calon). Sejumlah pakar Hukum mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak seharusnya mengabulkan permohonan tersebut. Karena, akan menimbulkan konflik kepentingan. Dengan adanya konflik kepentingan maka bisa dikatakan dapat menimbulkan oligarki politik.

Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dapat dianggap sebagai instrumen politik dari kekuasaan. Seharusnya, palu hukum tetap tegak di depan politik, tetapi menjadi patah karena kepentingan pribadi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap menghidupkan kembali praktik nepotisme di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun