Masyarakat tentu tak asing dengan istilah bullying yang saat ini kerap muncul dalam sejumlah pemberitaan dan media sosial. Bullying atau Perundungan didefinisikan sebagai tindakan agresif disengaja dan berulang dengan tujuan untuk menyakiti, merendahkan, dan mengintimidasi seseorang secara fisik, emosional, dan mental. Terdapat beberapa  jenis bullying antara lain: Â
1. Perundungan secara fisik seperti memukul, menendang, mencakar, dan menampar;Â
2. Perundungan  non-fisik seperti mengancam, meremehkan, menuduh, dan mencela;Â
3. Kekerasan seksual seperti menggoda atau melanggar batas privasi tubuh seseorang;
4. Perundungan relasional seperti pengucilan; dan
5. Cyberbullying seperti komentar negatif terhadap postingan di media sosial.
Kasus perundungan di Indonesia saat ini menjadi perhatian karena nilainya  selalu mendapat rapor merah. Bagaimana tidak, menurut data dari Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat sejumlah kasus bullying yang terjadi selama periode Januari-Agustus 2023 meliputi 2.325 kasus dalam bentuk tindakan fisik, 2.618 kasus terhadap psikis, dan 6.316 kekerasan seksual terhadap anak.Â
Mirisnya kebanyakan kasus perundungan justru terjadi di lingkungan sekolah. Hal tersebut diperkuat dengan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) yang memaparkan bahwa sebanyak 50% kasus perundungan terjadi di lingkungan sekolah utamanya tingkat SD dan SMP.Â
Lebih lanjut maraknya kasus bullying juga dilakukan oleh sesama peserta didik dengan persentase korban peserta didik sebanyak 95,4% dan pelaku perundungan peserta didik sebesar 92,5%.Â
Dalam beberapa kasus yang muncul, kasus perundungan ini sangat mengkhawatirkan. Seringkali perundungan yang dilakukan sampai berakibat fatal bagi si korban. Seperti berita yang terjadi pada September 2023 ketika seorang siswi SD di Gresik, Jawa Timur mengalami kebutaan akibat matanya ditusuk menggunakan tusuk bakso oleh kakak kelasnya.Â
Kejadian tersebut bermula karena korban menolak memberikan uang saat dipalak oleh kakak kelas, lantas si pelaku menusuk mata kanan korban hingga mengalami kebutaan. Selain berakibat pada fisik, korban juga mengalami trauma sehingga menolak untuk berangkat sekolah.
Ditinjau dari konstitusi diatur dalam Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Lebih rinci diatur dalam Pasal 9 ayat (1a) Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi "Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain." Adapun sanksi yang dapat mengancam diatur dalam Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meliputi hukuman pidana penjara dan/atau denda. Namun apabila yang terjadi dalam kasusnya bahwa pelaku tindakan bullying merupakan anak di bawah umur maka diberlakukan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang menyatakan bahwa:
1. Wajib diupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) pada  tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.
2. Diversi yang dilaksanakan dalam hal apabila tindak pidana yang dilakukan:
   a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun
   b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Serangkaian regulasi tersebut sejatinya dilakukan sebagai upaya represif untuk menindak apabila terjadi kasus perundungan. Namun seperti kata pepatah "Lebih baik mencegah daripada mengobati" benar juga adanya. Bahwa perlu adanya upaya preventif yang serius dalam mencegah terjadinya kasus perundungan.Â
Upaya preventif yang wajib dilakukan ialah muncul dari peran pendidikan, karena pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai penyalur ilmu tetapi juga pengembangan sikap dan tata laku seseorang dalam upaya mendewasakan. Adapun peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mencegah kasus perundungan pada anak antara lain:
1. Menjalin pola komunikasi yang baik antara pihak sekolah dengan wali murid dalam mengomunikasikan perilaku peserta didik;
2. Pembekalan paham toleransi, kemanusiaan, dan saling menghormati pada peserta didik;
3. Sekolah mengembangkan budaya pertemanan yang positif pada peserta didik;
4. Sekolah mengawasi perilaku dan sikap peserta didik;
5. Sekolah aktif dan partisipatif dalam serangkaian kegiatan pelatihan sekolah ramah anak;
6. Sekolah membentuk organisasi peserta didik yang mengampanyekan anti-perundungan (stop bullying); dan
7. Sekolah membangun komitmen untuk menghapus segala bentuk perundungan di lingkungan sekolah serta membentuk siswa yang berilmu dan beradab.
Kasus perundungan pada anak menjadi masalah bersama yang harus diselesaikan. Upaya preventif dan represif harus terus dilanggengkan untuk menciptakan iklim lingkungan sosial yang baik dan ramah bagi anak. Tekad tersebut dapat terwujud dengan membangun komitmen dari berbagai pihak untuk bersama, mencegah, menangani, dan mengawasi segala bentuk perundungan pada anak. Dengan demikian, pastilah angka perundungan pada anak akan dapat ditekan dan pendidikan akan kembali pada muruah untuk membentuk generasi yang cerdas dan bermoral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H