Sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional biasanya bersifat tetap dan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari saldo yang disimpan. Bunga ini diberikan secara periodik (misalnya bulanan atau tahunan) sebagai kompensasi atas uang yang disimpan di bank. Dari sudut pandang hukum Islam, bunga ini dianggap sebagai riba nasiah, karena:
- Penambahan tersebut terjadi hanya karena penundaan dalam penggunaan uang (disimpan dalam bank).
- Tidak ada aktivitas produktif atau resiko nyata yang menyertainya.
3. Perspektif Fiqih
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa bunga yang diterima dari tabungan di bank konvensional adalah riba. Argumentasi mereka didasarkan pada prinsip bahwa keuntungan finansial yang diperoleh tanpa adanya usaha, resiko nyata, atau transaksi yang produktif adalah bentuk penambahan yang tidak adil dan dilarang.
Namun, beberapa ulama modern mengakui bahwa dalam situasi darurat, ketika tidak ada alternatif syariah, penggunaan layanan bank konvensional dengan bunga bisa dianggap sebagai pengecualian. Akan tetapi, kondisi ini tetap dipandang sebagai situasi khusus yang tidak dapat dijadikan standar umum.
Untuk menghindari riba, kini banyak tersedia bank syariah yang menawarkan produk-produk tabungan yang sesuai dengan syariat. Contoh utama adalah:
- Tabungan Mudharabah: Dalam produk ini, nasabah bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sementara bank bertindak sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan yang diperoleh dari investasi dana nasabah dibagi berdasarkan nisbah atau rasio yang telah disepakati di awal, dan tidak ada jaminan pengembalian modal dengan tambahan bunga.
- Tabungan Wadiah: Jenis tabungan yang berbasis titipan, di mana bank menjaga uang nasabah dan nasabah tidak mendapatkan bunga. Namun, bank bisa memberikan bonus sukarela (hibah) yang tidak mengikat.
Contoh Kasus:
Tabungan Konvensional di Bank X: Nasabah menyimpan Rp 10.000.000 dalam rekening tabungan. Bank menawarkan bunga sebesar 4% per tahun, sehingga dalam satu tahun, nasabah akan menerima Rp 400.000 sebagai bunga. Dalam hukum Islam, tambahan Rp 400.000 ini dianggap riba karena merupakan tambahan yang tidak didasarkan pada usaha atau kegiatan ekonomi nyata.
Dalam hukum syariah, emas termasuk dalam barang ribawi, sehingga transaksi yang melibatkan emas harus mematuhi aturan-aturan khusus, seperti transaksi tunai dan langsung (yadan bi-yad). Dalam konsep riba nasi'ah, tambahan biaya karena penundaan pembayaran dianggap sebagai bentuk riba yang dilarang dalam Islam.
Jual beli emas secara kredit atau cicilan dengan harga lebih tinggi dari harga tunainya mengandung risiko riba, karena kenaikan harga tersebut bisa dianggap sebagai imbalan atas waktu, mirip dengan bunga dalam transaksi konvensional. Oleh karena itu, agar terhindar dari riba, jual beli emas harus dilakukan dengan pembayaran penuh pada saat akad, tanpa ada penundaan dalam pembayaran atau penyerahan barang. Ini sesuai dengan prinsip syariah yang mengharuskan keadilan dalam transaksi dan menghindari eksploitasi finansial.
Contoh Kasus :